Oleh: Hikmatullah[1]
Pendahuluan
Islam berasal dari bahasa Arab “salima” yang artinya selamat, damai, tunduk, pasrah dan berserah diri. Dalam Al-Qur’an surah Ali-Imran ayat 19 dikatakan bahwa: “Sesungguhnya agama (yang di ridhoi) disisi Allah adalah Islam…,”
Islam dikatakan sebagai agama rahmatan lil ‘alamin (rahmat bagi seluruh alam). Islam dikatakan juga sebagai way of life, karena dalam ajarannya, Islam telah mengatur dan membimbing seluruh aspek kehidupan manusia. Mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya, mengatur hubungan manusia dengan sesama manusia, bahkan Islam juga sudah mengatur hubungan manusia dengan makhluk lainnya.
Lalu, bagaimana upaya Islam dalam menjawab persoalan-persoalan duniawi seperti sosial, politik, ekonomi, dan lain-lain?
Sudah begitu banyak cendekiawan muslim yang mencoba memberikan edukasi terhadap permasalahan-permasalahan kontemporer ini.
- Hasan Hanafi, yang dikenal dengan “Islam Kiri” nya ini menganjurkan agar Islam menjadi agama yang transformatif dan memiliki manfaat secara praksis bagi peradaban umat manusia. Menurutnya, Islam bukan saja sebagai institusi penyerahan diri yang membuat kaum muslimin menjadi tidak berdaya dalam menghadapi kekuatan arus global, tetapi Islam juga merupakan sebuah basis gerakan ideologis populistik yang mampu membebaskan manusia dari belenggu-belenggu penindasan.
- Ali Syari’ati, yang merupakan arsitek dari konteks revolusi Iran juga memiliki pandangan yang sama bahwa agama (Islam) mestinya menjadi pemantik kesadaran kritis dan semangat solidaritas antar sesama manusia. Selain itu, ia juga tidak hanya focus pada bagaimana agama seharusnya berpihak pada agama, tetapi juga kritis terhadap kekuasaan yang opresif.
- Asghar Ali Engineer, merupakan aktivis sekaligus pemikir yang terkenal dengan kontribusinya pada studi Islam dan gerakan progresif. Salah satu karya besar yang dihadirkan oleh Asghar adalah pemikirannya tentang “Islam dan Teologi Pembebasan,” yang selanjutnya akan dibahas pada tulisan ini.
Pembahasan
Konsepsi tentang Islam dilandasi dengan basis ketauhidan yang dilabelkan sebagai agama samawi atau monoteisme. Ketauhidan merupakan cara pandang untuk melihat seluruh dunia sebagai sistem yang utuh, menyeluruh dan harmonis, yang melampaui batas-batas dikotomi, lalu diorientasikan pada tujuan Ilahi yang sama.
Menurut Asghar Ali Engineer, ajaran Islam sebagaimana yang disampaikan dalam Al-Qur’an, akan mengutus seorang pembimbing atau seorang pemberi peringatan ketika suatu masyarakat menghadapi krisis sosial dan krisis moral.[2] Nabi Muhammad SAW, dipilih sebagai instrumen ke-maha bijaksana-an Tuhan untuk membimbing dan membebaskan rakyat Arabia dari krisis moral dan sosial yang lahir dari penumpukan kekayaan yang berlebihan (berfoya) menyebabkan kebangkrutan sosial.
Islam bangkit dalam setting sosial Mekkah, bukan saja sebagai sebuah gerakan keagamaan, tetapi juga ia merupakan gerakan transformasi dengan implikasi sosial ekonomi yang sangat mendalam. Seperti yang disampaikan Asghar Ali, Islam menjadi tantangan serius bagi kaum monopolis Mekkah.[3]
Istilah teologi pembebasan sendiri lahir setelah munculnya wacana Marxis sebagai bentuk perjuangan kelas kaum proletar dari sistem yang dibangun oleh kaum borjuis. Meskipun banyak dipengaruhi oleh Karl Marx, ia tidak serta merta menjadi dogmatis dalam mengikuti ajaran Marx. Justru Asghar sangat kritis dalam mengimplementasikan teori-teori Marx terutama materialism historisnya.[4]
Menurut Asghar, kedatangan Islam di jazirah Arab merupakan sebuah momen yang revolusioner dan bersifat egalitarian. Seruan atas tatanan sosial yang egaliter baik dalam tatanan ritual (shalat dan zakat), kehidupan sosial (penghapusan perbudakan secara perlahan-lahan), ekonomi politik (penentangan atas kekayaan dan monopoli ekonomi oleh sejumlah pedagang besar yang bersifat eksploitatif), dan hubungan antar agama (dengan para penganut agama lain).
Pembahasan atas sejarah Islam ini kemudian mempengaruhi Asghar untuk merumuskan teologi pembebasan. Awalnya Asghar mengkritik teologi klasik yang berkembang pada saat itu karena tidak sesuai dengan realitas sosial. Titik sentral pergulatan teologi Islam klasik pada saat itu bukanlah pada persoalan keduniaan atau realitas sosial, tetapi mereka hanya berkonsentrasi pada aspek-aspek kehidupan akhirat. Amin Abdullah dalam Muhaemin Latif mengatakan literature teologi Islam klasik pada waktu itu belum beranjak dari persoalan jabariah dan qadariah, sifat dua puluh Tuhan, hakikat Al-Qur’an kekal abadi seperti Tuhan atau tidak dan lain sebagainya yang masih bersifat transcendental-spekulatif.[5]
Hal inilah yang dikritik oleh Asghar Ali, menariknya lagi adalah ia tidak hanya membahas bagaimana pemikiran dari berbagai aliran teologis dalam Islam, akan tetapi ia juga mengaitkannya dengan konteks sosial-politik yang terjadi. Sebagaimana ia mengkritisi teologi atau aliran Jabariyah yang tidak memberikan kebebasan berkehendak (pilihan) atau secara tidak langsung telah membunuh kreativitas manusia dalam menentukan pilihan-pilihnnya.[6]
Selain aliran Jabariyah, aliran-aliran atau mazhab lain yang di singgung oleh Asghar Ali Engineer dalam merumuskan teologi pembebasan antara lain:[7]
- Aliran Mu’tazilah
Aliran Mu’tazilah muncul pada masa awal kekhalifahan Abbasiyah yang pada saat itu menentang kekhalifahan Umayyah yang dianggap mulai bersifat eksploitatif dan opresif. Kekhalifahan Abbasiyah mendapat dukungan dari barisan grass root, terutama kelompok-kelompok non-Arab. Selain itu, mereka juga mendapat dukungan dari golongan elit atas, terutama kelompok elit Persia.
Karena di dukung oleh kelompok elit Persia dan masyarakat non-arab, pada awal perkembangan Kekhalifahan Abbasiyah ini iklim pemerintahannya cenderung lebih terbuka dan inklusif. Cendekiawan-cendekiawan Persia diakomodir dalam kekuasaan, penerjemah karya-karya sains dan filsafat dari Yunani dan India dipromosikan dan hak-hak masyarakat non-Arab lebih di jamin dan dilindungi.
Dalam konteks inilah, aliran Mu’tazilah yang mempromosikan teologi rasional dan peranan usaha (Ikhtiyar) serta kebebasan manusia dalam menentukan nasibnya (Qadariyah) muncul. Ironisnya, ketika kekhalifahan Abbasiyah mulai bersifat opersif dan memperkusi lawan-lawan politiknya, aliran Mu’tazilah kemudian dijadikan sebagai dogma. Aliran ini dijadikan sebagai paham teologi resmi negara oleh Khalifah Al-Ma’mun, dan mereka yang menolak atau mengkritisi bebrapa ajaran dari Mu’tazilah tidak hanya dicap ‘sesat’ tetapi juga ‘pembangkang’ terhadap pemerintah dan hukum. Bahkan Imam Hambali pun tidak luput dari hukuman ini.
- Aliran Qaramitah
Aliran ini juga muncul atas konteks penentangan terhadap kekhalifahan Umayyah. Aliran Qaramitah berasal dari tradisi Ismaili dalam Islam Syiah, yang juga terpengaruh oleh ide-ide kebebasan manusia ala Mu’tazilah dan filsafat Yunani dalam perlawanannya atas kekhalifahan Umayyah. Kelompok Isma’ili bahkan tetap melanjutkan perlawanannya di masa kekhalifahan Abbasiyah yang mulai menampakan tendesi opersifnya.
Dalam perkembangannya, kelompok Isma’ili mendirikan kekhalifannya sendiri, kekhalifahan Fatimiyah dengan memberi justifikasi terhadap politik ekspansi imperium. Aliran Qaramitah adalah ‘pecahan’ dari kelompok Isma’ili yang tetap berkomitmen terhadap politik revolusioner dan terus melawan baik kekhalifahan Abbasiyah maupun kekhalifahan Fatimiyah. Bahkan aliran Qaramitah berusaha untuk menghapus kepemilikan pribadi dan mengorganisir berbagai komune. Salah satu tokoh sufi terkemuka, Al Hallaj, juga merupakan anggota dari aliran Qaramitah yang kemudian dihukum mati oleh Kekhalifahan Abbasiyah dengan tuduhan konspirasi untuk menjatuhkan rezim.
- Aliran Khawarij
Aliran Khawarij awalnya adalah pendukung Khalifah Ali bin Abi Thalib (khalifah ke empat dalam Islam). Kemudian kelompok ini membangkang, doktrinnya yang terkenal ialah “tidak ada hukum kecuali hukum Tuhan”, memiliki kebiasaan untuk mengkafirkan kelompok Islam lain di luar mereka dengan aksi-aksi terornya.
Terlepas dari perkembangannya dikemudian hari, menurut Ashgar aliran Khawarij sesungguhnya merupakan ekspresi politik dari kelompok Arab badui, kaum proletariat internal dalam Islam. Toynbee bahkan menulis bahwa aliran Khawarij sesungguhnya merupakan semangat keadilan kolektif yang terpinggirkan di tengah pertarungan politik seputar kepemimpinan atas masyarakat Muslim.[8]
Dalam eksplorasinya terhadap sejarah awal Islam yang kemudian menjadi rumusan dalam teologi pembebasan ini, Ashgar berusaha menunjukan beberapa hal:[9]
- Ada tradisi dan kesinambungan sejarah teologi pembebasan dari masa awal Islam hingga sekarang.
- Pembacaan sejarah sosial atas masyarakat Islam dapat membantu untuk lebih memahami potensi ide-ide egalitarian dan relevansinya bagi masyarakat modern.
- Rumusan teologi pembebasan dalam Islam sejatinya adalah pertentangan antara kaum Mustakbirin (Penindas) dan kaum Mustadh’afin (tertindas). Maka agama harus berpihak kepada mereka yang tertindas demi mewujudkan tatanan sosial yang egaliter dan bebas dari eksploitasi.
Selain membahas dalam sejarah awal Islam, rumusan teologi pembebasan juga tidak terlepas dari persoalan-persoalan kontemporer. Seperti ekonomi, kemiskinan, keindustrian, membahas tentang kapitalis dan komunis yang juga dua ideologi besar ekonomi dunia yang sempat berbenturan dan memperluas pengaruhnya di berbagai negara.
Dalam pembahasannya tentang ini, Asghar coba masuk kedalam dua kolam ini dan menjelaskan bahwa pada konsep kedua ideologi ini ada titik dimana bersesuaian dengan Islam, dan yang ditentang oleh Islam. Seperti kepemilikan pribadi diakui dalam Islam. Kepemilikan tanah yang juga diatur dalam Islam. Secara umum yang pertama adalah konsep kapitalis yang sangat ditentang oleh kaum komunis. Yang kedua adalah konsep komunis bahwa tidak ada kepemilikan pribadi, negara mengelola sumber daya alam. Pada bagian ini sangat menarik karena Asghar mencoba mencari benang merahnya dan melihat bagaimana Islam berdiri pada pentas sistem ekonomi dunia hari ini.
Meskipun wacana teologi pembebasan ini identik dengan konsep Marxis, perjuangan kelas antara keduanya berbeda, karena bagaimanapun juga, teologi pembebasan berpegang pada Tauhid, sementara marxisme tidak mengenal Tauhid.
Asghar menempatkan tauhid sebagai core dan jantung Islam. Dalam teologi pembebasan, tauhid dimaknai tidak hanya sebagai mengesakan Allah. Tetapi tauhid juga bermakna kesatuan manusia dalam berbagai hal. Tauhid merupakan iman kepada Allah yang tidak bisa ditawar di satu sisi, dan konsekuensinya adalah menciptakan struktur masyarakat yang bebas dari tindakan eksploitatif di sisi lain. Dengan kata lain, tauhid tidak bisa dipisahkan dari dua hal bagi manusia, pertama mengesakan Allah dan kedua mengharuskan kesatuan masyarakat (unity of mankind) dengan sempurna.[10]
Selanjutnya, teologi pembebasan juga hadir untuk merombak paradigma berfikir mayoritas muslim yang selalu menempatkan tuntutan syar’i dalam teks nash yang hanya dijadikan sebagai rutinitas agama (sebatas aturan fiqih), bukan menjadi suatu sistem keyakinan (tauhid/akidah) yang dapat menginspirasi umat Islam dalam kehidupan sehari-hari. Dalam tataran amr ma’ruf nahi munkar misalnya, selama ini landasan tersebut hanya diimplementasikan dalam tatanan fiqih (Sholat, Puasa, Zakat, Shadaqah, dan sebagainya). Sementara, esensial dari tatanan fiqih tersebut tidak terimplementasikan dalam ranah sosial.
Padahal, dalam teologi pembebasan yang dimaksud Asghar adalah mengambil peran dalam membela kelompok tertindas, baik ketertindasan dalam hal religius atau politik maupun penindasan dalam tatanan sosial (stratifikasi kelas) dan juga penindasan dalam ekonomi. Asghar mengatakan, tidak akan terjadi solidaritas iman yang sejati, kecuali segala bentuk perbedaan suku, agama, kelas dan ras harus dihilangkan.[11]
Salah satu contoh yang kemudian coba di sampaikan dalam teologi pembebasan adalah bahwa masih adanya tindakan diskriminasi dan marginalisasi terhadap hak-hak perempuan dalam Islam.[12] Sistem patriarki dan pengekangan atas hak-hak perempuan bukanlah sesuatu yang unik yang melekat pada masyarakat Islam. Dengan kata lain, bukan Islamnya melainkan patriarkinya yang bermasalah. Sistem ini terjadi karena adanya kenyataan sosiologis dan dalam perkembangannya seringkali dianggap sebagai konsep ataupun doktrin teologis.
Islam dan Teologi Pembebasan sebagaimana ditulis oleh Asghar Ali Engineer merupakan bentuk perlawanan atas status quo,[13] status quo atas pemahaman terhadap Islam itu sendiri. Seperti penyempitan makna ekonomi Islam yang hanya pada ruang lingkup perbankan saja. Padahal keadilan ekonomi, kesamaan kesempatan, penimbunan kekayaan serta berbagai penjualan aset-aset pada pihak asing juga harus dikaji dalam studi ekonomi Islam.
Selain itu, dalam tatanan politik juga bagaimana hubungan antara agama dan negara. Asghar mengatakan bahwa institusi keagamaan bukanlah institusi yang serta merta suci; ia tidak terlepas dari berbagai kepentingan duniawi, maka disitulah pentingnya mengembangkan kritik yang jujur atas otoritarianisme.[14] Meskipun, nilai-nilai agama itu harus dipromosikan dalam bentuknya yang paling spiritual sekaligus progresif, ia juga harus mampu mengkritik atas berbagai bentuk politisasi dan fundamentalisme negara. Dengan kata lain, berpartisipasi dalam ranah politik dan pemerintahan adalah salah satu cara untuk melawan kezholiman pada penguasa dan negara yang lalai terhadap persoalan rakyat.
Kesimpulan
Dengan melihat penjelasan diatas, maka selayaknya Islam harus mentransformasikan dirinya untuk perubahan sosial. Islam tidak hanya menekan pada formalitas ibadah ritual semata tanpa menghiraukan tatanan sosial seperti keadilan dan kemanusiaan. Islam juga harus menjadi ideologi yang revolusioner sebagai wujud pembelaan diri dari berbagai bentuk penindasan.
Meskipun banyak mengadopsi konsep pembebasan ala Karl Marx, namun yang perlu kita sadari adalah kegagalan konsep Marx yang diterapkan oleh Lenin dan Stalin di Unisoviet menjadi sebuah bahan pertimbangan dalam merumuskan gerakan pembebasan baru. Disinilah wajah Islam seperti yang ditawarkan oleh Asghar Ali Engineer mereformulasi makna teologi menjadi satu gerakan Islam dan Teologi Pembebasan.
Sudah menjadi keharusan bagi Islam untuk menjadi sebuah sistem keyakinan (tauhid) yang menjiwai setiap muslim untuk melawan berbagai bentuk penindasan dan membebaskan umat manusia dari belenggu keterasingan dengan menjadikan teologi pembebasan sebagai metode gerakannya.
Namun, konsep ini akan melahirkan sebuah gerakan yang sia-sia apabila tidak bersinergi dengan disiplin ilmu lain seperti sosiologi, antropologi, manajemen dan lain-lain. Dengan kata lain, pendekatan multi dimensi akan menentukan arah dan orientasi dari konsep Islam dan teologi pembebasan ini.
“Ketika nasib rakyat makin mengenaskan, penguasa makin lalai dan para intelektual hanya doyan berdiskusi tanpa aksi, maka tunggulah waktu kematian mu sendiri.”
Daftar Pustaka:
Engineer, Asghar Ali. (1999). Islam Dan Teologi Pembebasan. Terj. Agung Prihantoro. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
[1] Aktivis IMM DKI Jakarta, Penulis buku Nafas Cendekiawan Muslim (2019)
[2] Asghar Ali Engineer, Islam dan Pembebasan. Terj. Hairus Salim, Imam Baihaqy (LKiS, Yogyakarta: 2007)
[3] Asghar Ali Engineer, Islam dan Pembebasan. ……….
[4] Muhaemin Latif, Teologi Pembebasan Dalam Islam: Asghar Ali Engineer (Orbit Publishing, Jakarta: 2017)
[5] Muhaemin Latif, Teologi……………….
[6] Asghar Ali Engineer, Islam dan Pembebasan. Terj. Hairus Salim, Imam Baihaqy (LKiS, Yogyakarta: 2007)
[7] Muhaemin Latif, Teologi Pembebasan Dalam Islam. (Orbit Publishing, Jakarta: 2017)
[8] Asghar Ali Engineer, Islam Dan Teologi Pembebasan. Terj. Agung Prihantoro, (Pustaka Pelajar, Yogyakarta: 1999)
[9] https://indoprogress.com/2013/07/islam-dan-pembebasan-menurut-asghar-ali-engineer/
[10] Asghar Ali Engineer, Islam Dan Teologi Pembebasan. Terj. Agung Prihantoro, (Pustaka Pelajar, Yogyakarta: 1999)
[11] Asghar Ali Engineer, Islam dan Pembebasan. Terj. Hairus Salim, Imam Baihaqy (LKiS, Yogyakarta: 2007)
[12] Asghar Ali Engineer, Islam Dan Teologi. ……………………
[13] Asghar Ali Engineer, Islam Dan Teologi. ……………………
[14] Asghar Ali Engineer, Islam Dan Teologi. ……………………