MADRASAHDIGITAL.CO – Oleh Ahmad Soleh
“… di era koran, setiap pagi kita membaca koran sambil minum kopi dan mengenakan sarung. Bisa tuntas dua puluh halaman koran pagi itu sebelum berangkat kerja … Kini dengan jumlah berita hingga ribuan dan di-update setiap beberapa detik, kita tak mungkin membaca seluruh berita.” Nasihin Masha (2020: 50).
Dunia mengalami perubahan signifikan semenjak kian berkembangnya teknologi informasi digital. Hal itu merupakan fakta yang tak terbantahkan. Lebih-lebih, setelah media massa online dan media sosial (medsos) mulai begitu karib dengan hari-hari kita. Pers atau media massa adalah salah satu bagian yang mengalami arus perubahan itu. Media massa dituntut untuk beradaptasi, bahkan berinovasi, untuk bisa tetap hidup, eksis, dan tetap relevan di era banjir informasi ini. Tak ayal, mereka harus jungkir balik untuk mencapai, setidaknya bisa tetap bertahan dan tidak gulung tikar ataupun digulung tsunami peradaban.
Fenomena jungkir balik media massa di era digital ini diulas secara tajam dan cermat oleh Nasihin Masha dalam bukunya, Jungkir Balik Pers; Masa Depan Pers dalam Pergumulan Internet of Things dan Konglomerasi Bisnis Media (Republika, 2020). Nasihin Masha merupakan jurnalis senior yang pernah menjabat sebagai pemimpin redaksi Harian Republika. Sepak terjangnya sebagai wartawan sudah dijalani sejak masih mahasiswa—tergabung dalam IPMI (Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia).
Bagi Nasihin, menjadi wartawan merupakan panggilan hidup. Ia mulai menjadi wartawan Republika sejak Desember 1992, di sana ia berhasil mencapai puncak kariernya sebagai pemimpin redaksi dan rutin mengisi kolom “Resonansi”. Buku Jungkir Balik Pers ini semacam repihan pemikiran yang tidak hanya berdasar pada teori dan pengamatan, melainkan ditata berdasarkan pengalaman dan keterlibatannya jungkir balik dalam dunia pers.
Apalagi, Nasihin mengalami masa transisi media massa sejak awal berdirinya Harian Republika (yang resmi berdiri 14 Januari 1993) hingga era munculnya medsos. Pada rentang tersebut, transisi media massa cetak ke ranah digital pun berlangsung—termasuk media tempatnya bernaung, yang menggagas Republika Online (ROL) pada 1995 dan menjadi koran online (berbasis website) pertama di Indonesia—dan terus berkembang hingga detik ini. Inilah yang disebut para pakar komunikasi sebagai era baru media (new media).
Meskipun telah beradaptasi dan melakukan reragam inovasi dalam melakukan kerja-kerja jurnalismenya, bukan berarti media massa—khususnya media cetak—tidak mengalami kerugian dan beragam kendala. Dalam satu dekade terakhir, misalnya, banyak media massa gulung tikar. Di antaranya, Tabloid Bola, Majalah HAI (beralih ke digital), Majalah Kawanku, Sinar Harapan, Koran Tempo Minggu, Jurnal Nasional, Pikiran Rakyat Minggu (PRM), Pos Kota, dan masih banyak lagi. Sebagian memang bermunculan dalam format digital, sebagian lagi benar-benar tutup.
Ditambah lagi, pada akhir 2019, pandemi mulai menyerang. Media massa, tidak hanya dihantam dengan kemunculan media online dan medsos, yang membuatnya harus bekerja berkali-kali lipat menyajikan informasi yang jernih dan menjernihkan keruhnya informasi yang bertebaran, tetapi juga harus bertahan hidup di tengah ketidakpastian akibat pandemi.
Pandemi Covid-19, yang muncul di wilayah Indonesia pada Maret 2020, bak hujan es batu yang menghantam bertubi-tubi. “Pendemi ini memperhebat penderitaan media massa. Jika hantaman media online, media sosial, dan media jejaring masih membuat koran, majalah, televisi, dan radio yang memiliki ceruk tersegmentasi yang berkedalaman masih bisa bertahan, maka wabah ini membuat media-media seperti Republika dan Rakyat Merdeka ikut terdampak.” (2020: 33).
Dampak paling terasa ialah adanya pengurangan halaman. Media mainstream seperti Republika, Rakyat Merdeka, Kompas, dan Media Indonesia rata-rata terbit hanya 16 halaman dari yang sebelumnya terbit 20-32 halaman. “The Jakarta Post bahkan mulai menghentikan koresponden/kontributor serta tenaga kontraknya. Efisiensi juga dilakukan dengan mengurangi halaman. Semula terbit 12 halaman, kini terbit 8 halaman,” ujar Nasihin (2020: 34).
Saat ini, memang kita tengah berada di masa pemulihan pascapandemi. Namun, kondisi bisnis media, juga bisnis lainnya, ternyata masih belum benar-benar pulih. Putut EA dalam obrolan bersama Iksan Skuter di konten Youtube-nya berujar, “Bisa bertahan saja sudah hebat di masa seperti ini.”
Paradoks New Media
Era new media, tentu menghadirkan sejumlah paradoks. Di antaranya, kita semakin mudah mengakses dan menyebarkan informasi, hal ini bisa disebut juga demokratisasi informasi. Di mana informasi tidak hanya bisa disebarkan pihak-pihak tertentu yang berkewenangan. Orang biasa pun dapat membuat dan menyebarkan informasi dengan mudah, cepat, dan murah. Tidak perlu membayar notaris untuk mendirikan PT atau CV media massa. Contohnya, Youtube yang mulai menggeser televisi.
Namun, di sisi lain, kemudahan ini membuat jagat informasi kita semakin kacau balau. Kebohongan bercampur baur dengan informasi yang tak bisa dipertanggungjawabkan, yang saban hari kita konsumsi. Inilah sebabnya era new media bisa kita sebut sebagai zaman kacau. Satu kebohongan dengan satu kebenaran, dalam konteks tertentu dapat bernilai sama. Bahkan, kebohongan lebih heboh dan laku dibandingkan informasi benar. Semua pada akhirnya bermuara pada sentimen kelompok, golongan, dan pilihan politik.
Sehingga, banyak di antara kita sudah pernah termakan kabar bohong alias hoaks. Sementara, di sisi lain, kita tidak punya banyak waktu untuk melakukan verifikasi dan validasi atas isi informasi itu. Sekalipun dapat dilakukan, membutuhkan tekad dan usaha yang keras, dan publik sudah terlampau malas melakukan hal itu. Sebab, itulah berita bohong dengan judul yang klikbait dan heboh bisa dengan mudah viral dibandingkan berita yang benar-benar melalui proses jurnalistik. Publik, menurut Nasihin Masha, tak sempat diberi napas dan diberi waktu jeda untuk berpikir. Dengan demikian, kata dia, publik terus-menerus dijejali dan harus menelan begitu saja. (2020: 36).
Di era inilah media sosial kian mendominasi. Influencer (pemengaruh) dan buzzer (pendengung) berperan signifikan membangun paradoks di jagat informasi. Tak jarang, bahkan, media massa atau bahkan media mainstream mengutip pendapat, pernyataan, dan berbagai informasi dari unggahan media sosial. Nasihin mengutip pendapat Bill Kovach dan Tom Rosenstiel dalam buku Blur, Bagaimana Mengetahui Kebenaran di Era Banjir Informasi (2020: 36), “Di era banjir informasi ini bagi cyber troops, atau sebutan singkatnya sebagai buzzer (pendengung), merupakan momen terbaik untuk terus membangun sentimen demi sentimen.” Suatu hal yang amat berbahaya dan inilah paradoks yang nyata. Informasi tidak lagi jernih, diproduksi berdasarkan kepentingan, dikonsumsi dan disebarkan berlandaskan sentimen.
Dari yang seharusnya kita makin cerdas dan berwawasan dengan adanya demokratisasi informasi, justru malah terjerumus dalam jurang informasi yang menyesatkan. Menurut Nasihin, hal ini tidak lepas dari adanya konsolidasi dan konsentrasi yang berujung pada konglomerasi media. Seperti dipaparkan Ross Tapsell dalam buku Kuasa Media di Indonesia. Menurut Nasihin, anak judul buku tersebut, Kaum Oligarki, Warga, dan Revolusi Digital menggambarkan dengan gamblang fenomena media yang terjadi di era post-truth ini. “Anak judul ini menjelaskan variabel-variabelnya dengan tepat: ada oligarki, ada warga, dan ada faktor revolusi digital,” ujarnya (2020: 42).
Era Big Data: Kita Dipandu Algoritma
Peran teknologi digital begitu besar memengaruhi perkembangan jagat informasi. Bahkan, demokratisasi informasi melalui media sosial pun seolah hanya menjadi ilusi. Sebab, pada kenyataannya, akun kita dipandu dan disekat oleh algoritma. Nasihin mengungkapkan, melalui big data, komputer mampu mengolah semua data yang ada di internet menjadi algoritma. “Tak hanya membaca berita, tapi juga membaca percakapan di media sosial. Big data menangkap psikografi dan demografinya, dan melakukan interkonektivitas.” (2020: 50). Dengan bahasa lain, sebetulnya publik sedang dikendalikan, diawasi, dan dipantau terus-menerus lewat data digital itu.
Alasannya jelas, dengan pemetaan terkomputerisasi seperti itu, kita dipaksa menerima rekomendasi bacaan, informasi, produk, dan segala macam yang sesuai dengan minat kita, berdasarkan algoritma yang terbaca dari media sosial kita. “Komputer mampu menangkap semua data dalam suatu rekomendasi yang jauh lebih akurat dibandingkan kemampuan otak manusia,” ungkap Nasihin (2020: 50). Dalam buku ini, Nasihin memberikan pandangan, era disrupsi ini membuat kita, setiap orang, tidak lepas dari pengawasan. “Dengan handphone di tangan, tak ada lagi rahasia. Kita berada di mana dan sedang apa bisa diketahui oleh orang atau institusi yang memiliki alatnya.” (2020: 51).
Lalu, bagaimana posisi pers dalam kondisi seperti di atas? Melalui buku ini, Nasihin mencoba menegaskan bahwa pers akan, sedang, dan selalu beradaptasi dan berevolusi (mungkin tidak semuanya karena banyak juga lembaga pers yang tersingkir dan gulung tikar). Sebab, “Tak ada waktu jeda untuk merenung dan berpikir. Perubahan itu begitu cepat, seperti cepatnya perubahan di dunia digital.” Ungkapan ini sebetulnya semacam sikap optimistis yang coba dimunculkan agar pers kian sadar pada posisinya. Diam tergerus atau bergerak melawan arus.
Lebih-lebih, jagat informasi kita hari ini berada di bawah rezim algoritma yang makin memperuncing paradoks dan kerancuan informasi. “Ketika semua hanya soal algoritma, maka pers, dan tentu saja berita, hanyalah soal algoritma dalam sebuah kolam big data.” Kerancuan dalam hal ini, tentu saja karena dalam sistem algoritma kita akan diarahkan berdasarkan “minat”, di antaranya hal-hal yang sering dilihat dan disukai. Kita pada akhirnya akan terjebak dalam echo chamber atau ruang gema, yang setiap saat membatasi kita dari informasi dua arah.
Sehingga, pada akhirnya, kita membutuhkan pers yang baru. Pers yang tidak terjebak dalam rutinitas pemberitaan yang kaku dan gaya lama, tetapi juga mampu beradaptasi menghadirkan wajah lebih segar dan ruang-ruang yang lebih mudah dikunjungi. Lebih lagi menjadi penyeimbang dan penjernih informasi di tengah kacaunya jagat informasi hari ini.
Identitas Buku
Judul: Jungkir Balik Pers; Masa Depan Pers dalam Pergumulan Internet of Things dan Konglomerasi Bisnis MediaPenulis: Nasihin Masha
Penerbit: Republika Penerbit
ISBN: 978-623-279-082-7
Tebal: xxiv + 187
Tahun terbit: 2020