MADRASAHDIGITAL.CO – Oleh: Ahmad Soleh*
“Ilmu telah mengungkapkan bahwa berbicara tentang kebebasan dan martabat adalah ilusi.” Ungkapan ini dilontarkan Noam Chomsky untuk mengkritik gagasan yang ia sebut sebagai “generalisasi ilmu gadungan”. Ia tampak begitu kesal dengan gagasan Burrhus Frederic Skinner yang dinilai berusaha untuk totaliter dengan menghendaki adanya pengendalian perilaku manusia. Seolah-olah, apa yang diungkapkan Skinner dengan berbagai hipotesisnya tentang ilmu telah “menyerang nilai-nilai fundamental manusia”.
Dalam pandangan Skinner, apa yang dilakukan oleh seseorang itu sepenuhnya ditentukan oleh bakat genetiknya dan sejarah penguatannya (history of reinforcement). Pemikiran ini didasarkan pada sifat naluriah manusia atau bakat genetiknya, sehingga perlu ada pengendalian perilaku manusia dalam lingkup kehidupan sosial. “Kita harus menggunakan teknologi behaviorial terbaik untuk membentuk dan mengendalikan perilaku demi kepentingan bersama.”
Kekesalan Chomsky tampaknya bermula dari pandangan-pandangan Skinner yang menganggap sifat manusia yang mudah dibentuk, sementara pandangan publik adalah soal kepentingan tertentu. Pandangan Skinner ini seolah menghalalkan praktik kamp konsentrasi, yaitu lingkungan sosial yang dikendalikan oleh otoritas, untuk mengendalikan perilaku masyarakat. Frasa “mengendalikan” di sini bisa bermakna begitu intimidatif dan menindas. “Ada sedikit keraguan bahwa teori tentang malleability (mudahnya dibentuk) manusia dapat dipakai untuk melayani doktrin totaliter,” sebut Chomsky.
Sebab itulah, menurut Chomsky, asumsi dan spekulasi Skinner itu menyesatkan sekaligus berbahaya. Sebab, pandangan Skinner tentang “pengendalian sepenuhnya dilakukan oleh lingkungan” sebetulnya berangkat dari hipotesis yang spekulatif. Seperti diungkapkan Chomsky, pendekatan semacam ini cenderung menafikan pendekatan ilmiah dan malah memusuhi “ilmu” itu sendiri. Hal ini berakibat pada pengungkapan fenomena hanya berdasar pada spekulasi dan harapan.
Teori Pengendalian Perilaku
Konsep teori yang dicetuskan dan dikembangkan oleh Skinner tentang pengendalian perilaku manusia, dalam pandangan Chomsky, “benar-benar hampa, sehaluan dengan kaum libertarian dan fasis”. Besar kemungkinan, pandangan Skinner yang berpusat pada lingkungan yang membentuk manusia, menyebabkan pengendalian itu perlu dilakukan untuk mengendalikan perilaku manusia. Pertanyaannya, siapa yang merekayasa pengendalian itu? Inilah yang tampaknya menjadi kekhawatiran Chomsky.
Dalam teori (pengendalian) perilaku, atau yang lebih kita kenal dengan pendekatan behaviorisme, perilaku manusia sangat dipengaruhi oleh lingkungan. Yakni dengan adanya stimulus dan respons. Lingkungan dalam konsep teori perilaku ini merupakan penguatan (reinforcement), yang menurutnya juga faktor penting dalam pengendalian perilaku manusia. Sebab itulah pendekatan ini menekankan adanya stimulus. Stimulus bisa saja berupa sesuatu yang terjadi secara alamiah, bisa pula sebaliknya, hasil rekayasa.
Maka, bentuk “penguatan” itu sejatinya telah kabur secara maknawi. Chomsky berpandangan istilah penguatan (reinforcement) yang digunakan oleh Skinner justru tampak begitu kabur. Dalam kasus bahasa persuasif, misalnya, seseorang dapat diubah pola pikirnya. Bahasa persuasi memang digunakan untuk mengajak. Untuk dapat membuat orang menerima ajakan tersebut, kalimat-kalimat yang digunakan pun harus dapat membuat orang itu yakin. Sebab, untuk mengubah perilaku seseorang, lebih dulu harus diubah adalah pola pikirnya.
Pada tahap inilah, teori pengendalian perilaku itu terbantahkan dengan sendirinya. Skinner sendiri meyakini pola persuasi adalah pengendalian yang lemah. “Bahwa dengan menggunakan metode pengendalian yang lemah kita hanya mengalihkan kendali ke kondisi-kondisi lingkungan yang lain, bukan kepada orangnya,” ujar Skinner.
Ini menjadi alasan kuat mengapa “penguatan” ala Skinner ini dianggap hanya menghasilkan kepura-puraan dan palsu. Artinya, seseorang yang disebut mendapat “penguatan” justru bukan diperkuat, melainkan diperdaya dan dijerumuskan agar “mengubah pikiran” dan bahkan diharapkan “mengubah perilaku”. Manusia pun tak lagi otonom bila begitu adanya.
Metode pengendalian perilaku ini tampak begitu menafikan peran manusia dalam kehendak dan keputusan. Menurut Skinner, seseorang akan melakukan sesuatu hanya jika ada kesempatan-kesempatan dan konsekuensi-konsekuensi yang telah disadari. Bukan didasari oleh kehendak, keinginan, atau kemampuannya, tetapi kesempatan dan konsekuensi yang tersaji di hadapannya. Logika yang agaknya tidak dapat diterima begitu saja.
Dengan logika ini bisa dikatakan bahwa “seseorang akan berperilaku berani jika kondisi lingkungan memaksanya untuk melakukannya”. Keberanian bukanlah lahir dari dalam diri, melainkan karena lingkungannya yang “mengharuskan”. Bagi Skinner, lingkungan adalah “stimulus penguat” yang membuat seseorang berperilaku tertentu dan melakukan sesuatu. Lalu di mana peran manusia itu sendiri? Hampir tak dianggap.
Perbedaan Pandangan, Bagaimana Kita?
Kritik Chomsky terhadap pemikiran Skinner ini memberikan kita pelajaran berharga bahwa perbedaan pandangan itu memang ada. Dialektika itulah yang membuat teori atau pendekatan terhadap fenomena perilaku manusia selalu berkembang seiring berkembangnya ilmu pengetahuan. Pengamatan Skinner mungkin hanya terbatas pada perlaku verbal yang tentu membutuhkan pandangan lain untuk mendapatkan keseimbangan.
Beberapa pandangan Skinner yang dianggap Chomsky berbahaya pun demikian yang terjadi. Sejumlah otoritas di suatu belahan bumi melakukan “pengendalian perilaku” itu dengan tangan besinya. Ya, pemaksaan, intimidasi, dan penindasan pun tak terhindarkan. Martabat manusia dan kebebasan pun kian jelas terdegradasi.
Persuasi tak ubahnya cuci otak yang kini makin masif dengan pemanfaatan berbagai medium rupa-rupa wahana. Kita tidak tahu betul, apakah pengendalian perilaku itu juga sedang menimpa kita atau tidak. Kita tak tahu pasti, apakah kita sedang berada dalam situasi yang alamiah atau direkayasa. Semoga saja tidak.
*Penulis merupakan mahasiswa Pascasarjana Uhamka