MADRASAHDIGITAL.CO- Oleh: Rendy Nanda Saputra (Alumni SILAM IMM FAI UMY)
Beberapa orang sering mengatakan bahwa laki-laki adalah superior atau orang yang berhak tampil di ranah publik sedangkan wanita adalah seorang yang dibawah laki-laki, lemah, kurang memiliki kecerdasan, bahkan sering mendapat stigma makhluk yang tak berguna. Wanita seringkali dianggap remeh oleh beberapa kalangan pria maupun sesamanya. Ada yang mengatakan bahwa wanita adalah sumber dosa atau sumber kemaksiatan, tak jarang juga yang menyatakan bahwa wanita adalah sosok yang tidak bisa keluar dari ranah domestik ke publik maksudnya ialah wanita hanya boleh bekerja dalam rumah saja seperti memasak untuk kebutuhan keluarga nya, mencuci pakaian dari anak-anak dan suaminya, dan sebagai pemuas birahi akan pasangan hidup nya.
Kata pasangan rasanya lebih cocok daripada lawan jenis sebagaimana pasangan memiliki makna yang selalu bersama baik suka maupun duka, melarat atau kaya, bahkan selalu bersama saat keadaan apapun, sedangkan lawan jenis memiliki konotasi yang sedikit abstrak jika seseorang dalam pertandingan sepakbola misalnya lawan adalah seseorang yang ingin mereka kalahkan dalam sebuah pertandingan dengan berbagai strategi yang ia mainkan. Akan Tetapi pasangan itu bukan saling menyalahkan melainkan saling melengkapi dari berbagai dinamika aspek kelebihan dan kekurangan didalamnya.
Nah pada pernyataan diatas benang merahnya adalah beberapa hal/kajian yang membahas seputar feminisme. Apa yang dimaksud feminisme? Bagaimana Sejarah Feminisme di Indonesia? Apakah feminisme hanya membahas seputar persoalan perempuan? Maka dari itu penulis ini sedikit menjelaskan mengenai beberapa hal tersebut.
Apa Itu Feminisme
Nadiya Karimah dalam bukunya membicarakan Feminisme menjelaskan bahwa feminisme adalah sebuah paradigma, pemahaman komprehensif tentang keadilan/kesetaraan berbasis gender yang bisa menjadi pijakan untuk pemikiran, gerakan, maupun kebijakan. Ia juga diartikan sebagai gerakan yang memperjuangkan hak yang sebelumnya didapatkan oleh perempuan. Disebut demikian karena berhubungan dengan gender perempuan yang dalam bahasa Inggris adalah female. Kesetaraan gender dan perjuangan kembali atas hak-hak dan kebebasan perempuan menjadi salah satu fokus feminisme.
Feminisme sebenarnya berasal dari bahasa Prancis dari kata feminin atau femininitas. Femininine merupakan sebuah kata adjektif atau kata sifat yang artinya adalah kewanitaan atau menunjukan sifat perempuan. Sehingga dapat dimaknai, bahwa feminisme merupakan sebuah aliran pergerakan wanita yang memperjuangkan hak perempuan. Gerakan feminisme adalah sebuah upaya untuk menjawab ketidakadilan perlakuan, persepsi, maupun pandangan yang tidak setara antara laki-laki dan perempuan dimana perempuan sering dianggap sebagai golongan klaster 2 dan laki-laki adalah golongan klaster 1 dalam bersosial.
Patriarki adalah alasan lahirnya feminisme. Patriarki didefinisikan sebagai garis vertikal lurus dengan jenis kelamin laki-laki atau laki-laki di ujung garis. Jadi semuanya harus disetujui oleh pihak berwenang terlebih dahulu, yaitu kapitalisme yang didominasi laki-laki. Patriarki dianggap selalu beraliansi dengan sistem kapitalis. Sebuah sistem yang dianggap terhubung dianggap berbahaya. Kapitalisme terlihat diuntungkan dari diskriminasi gender melalui tenaga kerja atau upah murah. Sistem kapitalis dapat menindas tidak hanya perempuan tetapi juga laki-laki.
Tak jarang orang menganggap bahwa feminisme adalah usaha untuk merebut kekuasaan laki-laki, dimana laki-laki adalah seseorang yang sering tampil di ranah publik seperti menjadi pemimpin sebuah organisasi, pemerintahan, kelompok yang dianggap berpengaruh terhadap perubahan sosial masyarakat. Padahal feminisme adalah pengejawantahan daripada suara seseorang yang merasa dirinya diperlakukan tidak baik/semena-mena oleh seseorang lainnya, tetapi seseorang yang ditindas ataupun dilecehkan tersebut juga mempunyai hak yang sama dalam hidup, mempunyai hak yang sama dalam bersosial, dan mempunyai hak yang sama soal kebebasan berekspresi.
Sejarah Feminisme di Indonesia
Ketika melihat sejarah feminisme di Indonesia perlu beberapa hal yang digaris bawahi dan diperhatikan dalam perkembangannya diantaranya yang pertama, Arus politik nasional dimana pada masa itu sangat berpengaruh terhadap berkembangnnya ideologi gender dimana dampak yang nyata adalah politik bahasa atau penggunaan kata untuk menyebut gerakan feminisme. Pada masa awal perjuangan kata istri/emansipasi populer, kemudian pada masa orba kata feminisme diganti dengan kata feminisme dan perempuan, akan tetapi lebih banyak menggunakan kata wanita dan kata perempuan baru di rekonsiliasi kembali pada masa reformasi.
Yang kedua adalah periodisasi. Perjuangan tiap organisasi feminis mengalami pasang surut dengan berbagai macam persoalan yang ada dalam melawan ideologi gender yang mengerucutkan perempuan hanya sebatas pada organ reproduksi nya. Nadya Karima Melati dalam bukunya membagi beberapa periodisasi pergerakan perempuan di Indonesia, yakni Pergerakan perempuan masa Kemerdekaan (1920), Feminisme awal emansipasi (1950), Feminisme lanjutan (1970), puncak Gerakan Feminisme (1999) dan feminisme kontemporer(2010).
Identitas perempuan dalam perjuangan Kemerdekaan (1920)
Gerakan feminisme pada masa ini berawal dari seorang pahlawan pertiwi yakni R A Kartini ketika beliau ngobrol dengan feminis sosialis, Stella Zeehandelaar. Kesadaran perempuan sebagai identitas gender muncul akibat dibandingkan dengan gender laki-laki. Isu yang ramai diperbincangkan pada saat itu adalah perkawinan anak dan poligami menjadi perundingan yang sangat serius di samping pengawasan Hindia Belanda. Kemudian pad fase ini pun pergerakan perempuan di Hindia Belanda/Indonesia, landasan perjuangan politik dan perempuan masih terbatas pada peran reproduksi dan pengasuhan.
Feminisme Awal kesadaran Kewarganegaraan (1950)
Pandangan feminis kala ini diawali dengan Soekarno dimana beliau memandang perempuan hanya sebatas entitas politik berdasarkan fungsinya sebagai simbol kesuburan dan reproduksi. Feminisme sebagai istilah diapresiasi di Indonesia ketika perempuan mulai masuk ke babak politik dunia, Seperti pada akhir depresi besar dan perang dunia. Sejak 1930-an Gerakan istri sedar dan PPII semakin memasuki isu-isu politik khas sosialisme, seperti kondisi buruh dan pedagang perempuan. Disini terlihat bagaimana gerakan perempuan semakin terintegrasi menjadi gerakan politik.
Soekarno sangat mendukung adanya gerakan perempuan agar kebanyakan dari mereka ikut berorganisasi, Namun saat setelah kemerdekaan Soekarno dengan lantang mengkritik gerakan perempuan yang semakin progresif. Soekarno cenderung memanfaatkan gerakan perempuan sebagai kepentingan politiknya. Sikap yang seperti itu tampak meninggi ketika Soekarno melakukan poligami alih-alih meresmikan UU perkawinan yang sudah lama dituntut perempuan. Kongres perempuan Indonesia III pada 1993 di Bandung kemudian menetapkan 22 Desember sebagai “Hari Ibu”. Keputusan ini kemudian dikukuhkan dengan keputusan Presiden RI No. 316 pada 16 Desember 1959 tentang “Hari Ibu” sebagai hari nasional tetapi bukan hari libur.
Feminisme Lanjutan (1996)
Kekuasaan otoriter Soekarno beralih ke Soeharto memaksa feminisme untuk mati. Pembantaian Partai Komunis Indonesia dilakukan secara bersamaan dengan fitnah kepada Gerwani yang secara hubungan politik dekat dengan PKI. Saat itu kata perempuan ditarik dengan kata ganti “konco wingking” dalam ideologi jawa dan kata perempuan yang gagah pada zaman sebelum nya kini mengerut seakan-akan musnah akibat rezim yang menggantinya dengan sebutan Wanita.
Ideologi ibuisme dikampanyekan melalui perubahan makna hari Ibu pada 22 Desember menjadi Mother Days. Dan hari Kartini pada 21 April menjadi selebrasi beban ganda perempuan yang dibalut dengan budaya jawa melalui “hari berkebaya nasional”. Kata “inget kodrat” dipopulerkan melalui kedua hari raya yang berbasis identitas gender ini. Di era rezim yang otoriter dengan nahkoda Soeharto gerakan feminisme hanya bisa bernafas di ruang akademik/ ruang kampus yang terbatas, perjuangan feminisme berkolaborasi dengan lembaga swadaya masyarakat lewat penyebaran beberapa bacaan feminisme di akar rumput. Feminisme disebarkan melalui literasi dan semangat melawan rezim.
Puncak Kebangkitan Feminisme (1990)
Berawal dari krisis ekonomi yang berdampak ke krisis politik, hadirlah pemikir feminis yang menjadi aktivis dan giat berkampanye menurunkan rezim. Babak ini membuat gagasan tentang pembebasan perempuan tidak lagi berlandaskan pada fungsi reproduksi melainkan menyangkut Hak Asasi Manusia sebab Hak Asasi Manusia adalah salah satu hal yang sering diabaikan. Koalisi perempuan di Indonesia menjadi organisasi yang merumuskan gerakan feminisme baru dan kebangkitan kembali feminis pada era pasca reformasi. Setelah reformasi gerakan feminis melakukan musyawarah besar untuk membangun kembali negara yang sedang diselubungi konflik daerah seperti, konflik sampit yang menjalar ke seluruh provinsi yang berada di Kalimantan, Konflik Ambon-maluku, dan pemberontakan di Aceh. Hal ini didukung langsung oleh Gus Dur pada zaman itu beliau menjadi presiden, beliau mendorong kebijakan pengarusutamaan gender pada tahun 2001.
Feminisme Kontemporer (2010-sekarang)
Keberhasilan gerakan Feminisme pada masa peralihan demokrasi adalah jalan panjang yang ditempuh para aktivis feminis sejak 1980-an di bawah pembredelan,penangkapan aktivis dan pembunuhan perempuan. Reformasi yang dilahirkan oleh gerakan perempuan dikooptasi oleh pasar bebas dan neoliberalisme, menjadikan perempuan semata-mata konsumen dan tenaga kerja yang diupah seadanya. Feminisme urban setelah 2010 berdansa dengan kemajuan teknologi informasi dan menggunakannya sebagai sarana penyebaran ide. Beberapa kanal media yang membahas feminisme pun muncul sehingga permasalahan feminisme yang berada di kota bisa diketahui orang di desa, begitupun sebaliknya permasalahan yang berada di desa bisa diketahui para aktivis feminis di kota. Kemajuan teknologi juga mendorong pengetahuan seks dan gender yang meluas ke ranah publik.
Feminisme Hanya Membahas Seputar Persoalan Perempuan?
Feminisme adalah perjuangan untuk perempuan yang bisa datang dari siapa saja tanpa memandang jenis kelamin. Tak jarang, mereka yang mengklaim sebagai feminis juga ialah lelaki. Jadi, salah kaprah apabila feminisme dianggap bentuk perlawanan terhadap lelaki. Feminisme bukan cuma tentang perjuangan menempatkan perempuan pada posisi setara dengan pria, tapi juga agar perempuan punya kebebasan untuk memilih dan menentukan sesuatu bagi dirinya, dalam hidupnya. Keterlibatan laki-laki dalam gerakan perempuan menjadi sebuah dorongan tersendiri dalam sejarah perjuangan perempuan. Jalan menuju keadilan gender memang masih panjang, namun tak mustahil tercapai lewat perjuangan yang persisten dan konsisten. Menurut saya feminisme bukan hanya sebatas membahas soal perempuan saja akan tetapi lebih dari itu membahas persoalan yang timpang dan terjadi di masyarakat kemudian dibenturkan dalam perspektif gender.
Red: Saipul Haq
Comments 1