Oleh: Muammar Khadafi*
Manusia adalah satu-satunya mahluk yang dapat menyangkal dirinya sendiri, kata salah seorang filsuf. Kata-kata itu terdengar sederhana, akan tetapi jika kita renungkan amat dalam makna yang terkandung di dalamnya. Betapa banyak manusia yang membunuh dirinya sendiri karena mereka tidak puas dengan hidup sebagai manusia meskipun mereka dilimpahi dengan harta yang melimpah, menempati posisi-posisi penting, dikaruniakan keturunan yang banyak dan kebahagiaan-kebahagiaan duniawi lainnya.
Mereka merasa tidak bahagia akan semua itu dan mereka merasa stagnasi seolah-olah seperti air tergenang yang tidak bisa mengalir kemana-mana. Mereka pikir dengan mengejar hal-hal yang bersifat eksternal itu mereka akan merasa bahagia yang sifatnya internal, tapi ternyata mereka gagal meraih perasaan itu saat meraih apa yang mereka kejar.
Lalu, sebenarnya apakah arti dari bahagia itu sendiri? Apakah setiap orang memiliki arti bahagia yang sama? Apakah barometer dari bahagia itu sendiri? Apakah setiap orang memiliki barometer kebahagiaan yang sama?
Pertama-tama kita harus mendefinisikan arti dari bahagia itu sendiri. Kalau kita menyitir dari Kamus Besar Bahasa Indonesia, bahagia adalah suatu keadaan atau perasaan senang dan tenteram. Tapi pandangan kita terlalu sempit apabila melihat pengertian bahagia hanya dari KBBI, maka marilah kita telaah dari oasis-oasis lainnya. Menurut Oxford Dictionary, “happy is giving or expressing pleasure” (bahagia adalah memberikan atau mengekspresikann atau menampakan perasaan nikmat).
Itu baru pengertian bahagia yang ditinjau dari segi bahasa saja, belum dari sumber sumber lain. Ayo kita lihat arti kata bahagia itu sendiri dari paradigma-paradigma lain.
Ibnu Khaldun mengatakan, “Bahagia itu ialah tunduk dan patuh mengikut garis-garis yang ditentukan Allah dan perikemanusiaan”. Abu Bakar Ar Razi tabib Arab yang masyhur itu menerangkan bahwa, “Bahagia yang dirasa oleh seorang tabib, ialah jika ia dapat menyembuhkan orang yang sakit dengan tidak mempergunakan obat, cukup dengan mempergunakan aturan makanan saja”.
Imam Al Ghazali, sang Hujjatul Islam dan kiblat segala tabib jiwa, berpendapat “Bahagia dan kelezatan yang sejati, ialah bilamana dapat mengingat Allah”. Aristotles juga mengungkapkan “Bahagia bukanlah suatu perolehan untuk manusia, tetapi corak bahagia itu berbeda-beda dan beragam menurut corak dan ragam orang yang mencarinya. Kadang-kadang sesuatu yang dipandang bahagia oleh seseorang, tidak oleh orang lain”.
Sehingga, dapat kita simpulkan bahwa arti bahagia bila dilihat dari perspektif bahasa maupun pendapat para ahli bahwa bahagia itu adalah keadaan kita ketika merasakan senang namun dengan penyebab yang berbeda-beda mengapa seseorang bisa merasakan senang.
Lagi-lagi kita dapat lihat bahwa penyebab bahagia itu bergantung pada sang subjek, tergantung pada bagaimana sudut pandang orang masing-masing. Ada yang cukup dengan bertemu kekasihnya orang itu jadi bahagia, ada yang cukup dengan mengkonsumsi makanan favoritnya orang itu jadi bahagia. Dan berbagai macam kerelatifan lainnya dimana orang bisa bahagia. Setiap insan memiliki barometer sendiri tentang bahagia.
Jikalau setiap orang memiliki barometer yang berbeda perihal kebahagiaan itu sendiri lalu mengapa masih saja ada yang mengalami kekurangan, kehabisan, dan kelangkaan bahagia? Padahal tiap-tiap an-nas itu bisa menentukan kebahagiannya sendiri. Sebenarnya kunci jawabannya hanya ada satu yaitu sukma kita. Sukma atau jiwa yang akrab kita dengar di telinga kita adalah kunci dari semua itu. Pembuka tiap-tiap kebahagiaan yang ada di hidup kita. Dia tidak terbatasi oleh apapun baik ruang dan waktu. Eksistensi sang sukma yang meraga membuat kita dapat membaca tulisan ini. Jikalau tidak ada sukma kita hanya kumpulan daging yang fana.
Mungkin kita dapat merenungkan betapa hebatnya sang sukma itu secara bersama-sama melalui kisah empat mil empat menit. Selama ribuan tahun, orang mempunyai anggapan bahwa adalah mustahil bagi seorang manusia untuk menempuh jarak satu mil (± 1,6 km) dalam waktu kurang dari empat menit.
Akan tetapi, pada tahun 1954, Roger Banister mematahkan anggapan yang menghambat itu. Ia berhasil mencapai yang “mustahil” bukan saja dengan latihan fisik, melainkan juga dengan terus membayangkannya dalam benaknya, menerobos hambatan empat menit itu demikian seringnya dengan intensitas emosional yang sedemikian rupa sehingga ia menciptakan acuanacuan jelas yang menjadi perintah yang tidak dipertanyakan lagi pada sistem sarafnya untuk mendapatkan hasilnya (Tony Robbins, 2006).
Fakta empiris tersebut telah mengilhami kita bahwa ketika kita dapat mengendalikan sukma kita melalui pikiran kita maka hambatan apapun itu dapat dibidas baik itu fisikal maupun spritual. Begitu juga dengan kebahagiaan, selama kita mau dan yakin bahwasannya kita bisa membuat sang sukma yang sedang meraga itu bahagia maka penderitaan apapun itu tidak akan mempengaruhi kita sedikitpun.
Mengapa kunci kebahagiaan adalah sang sukma? Karena sedari awal Allah telah berfirman dalam surah Asy-Syams ayat 7, “Dan sukma serta penyempurnaannya (ciptaannya).” Semoga kita dapat menggelorakan kebahagiaan pada masing-masing sukma kita.
*Mahasiswa Bahasa Inggris FKIP UHAMKA