Oleh: Syamsul Arifin*
Islam Indonesia kerap dilukiskan dalam relasi Islam tradisionalis dan Islam modernis. Setelah runtuhnya Orde Baru di tahun 1998, struktur peluang politik baru terbuka dan memberi panggung bagi umat Islam untuk memainkan peran sosial politik yang makin besar di ruang publiK Indonesia. Oleh karena itu, memang Indonesia sebagai negara yang tak dapat dipisahkan dari agama Islam.
Lebih dari 90% penduduknya beragama Islam, dan tak lepas dari perjuangan organisasi Nahdlatul ‘Ulama (NU) dan Muhammadiyah yang menjadikan Islam Indonesia saat ini benar-benar relevan dan kompatibel untuk Indonesia dari segi demokrasi, nasionalisme, dan kemajuan.
Pada abad ke 20, Muhammadiyah dan NU menggelar agenda akbarnya, yakni Muktamar. Agenda tersebut menghasilkan dua bentuk konsep besar untuk Islam Indonesia yakni Islam Berkemajuan dan Islam Nusantara. Bentuk konsep dari dua organisasi Islam terbesar di Indonesia ini adalah respons yang berbeda dari fenomena yang sama, yaitu globalisasi, terutama globalisasi kebudayaan, baik dalam bentuk arabisasi ataupun westernisasi.
Filosofi yang mendasari globalisasi adalah asimilasionisme. Dalam filosofi ini, yang kuat akan mendominasi yang lemah. Maka dari itu, dalam globalisasi budaya, salah satu dampaknya adalah homogenitas, seperti memandang Islam homogeny dengan mengidentikkannya dengan Arab atau Arabisasi.
Islam Nusantara
Homogenisasi ini tentu tidak serta merta diterima oleh masyarakat. Respons balik atau resistensi terhadap homogenisasi ini diantaranya dalam bentuk indigenization. Islam Nusantara yang dipopulerkan oleh warga NU dan menjadi salah satu respons terhadap globalisasi dengan melakukan indigenisasi. Islam Nusantara merupakan istilah yang sering dipakai untuk mengacu pada Islam ala Indonesia yang autentik; langgamnya Nusantara, tapi badannya Islam.
Ide Islam Nusantara ini berkaitan dengan gagasan “pribumi Islam” yang pernah dipopulerkan oleh K.H. Abdurrahman Wahid. Banyak yang menduga bahwa, semakin kita mengenal dunia luar, dan kelompok yang berbeda; kita menjadi semakin terbuka. Namun, sering kali yang terjadi tidak sejalan dengan logika itu.
Di tengah globalisasi, terutama yang datang dari Barat atau Timur Tengah, banyak orang yang semakin fanatik atau tidak mau menerima perbedaan, dan pluralitas. Beberapa kelompok agama justru mencari perlindungan dalam homogenitas dan eksklusivitas kelompoknya. Sepertinya kedamaian itu bisa terjadi dengan menolak keragaman atau sesuatu yang asing. Islam nusantara bisa menjadi respons yang sangat baik terhadap globalisasi jika ia tidak mengarah pada parokialisme dan sekterianisme. Bahkan, respons terhadap globalisasi tak berhenti disitu saja, yakni ketika sudah memicu adanya radikalisme dan terorisme.
Islam Berkemajuan
Respons lain terhadap globalisasi ditampilkan oleh Muhammadiyah dengan slogan “Islam Berkemajuan”. Istilah ini lantas dipopulerkan lagi pada 2010 lalu saat Mukatamar Muhammadiyah. Sebelumnya, slogan ini sudah diperkenalkan oleh Kyai Syuja (murid K.H. Ahmad Dahlan). Akan tetapi, memang cukup meredup sebelum tahun 2009. Kemudian, digaungkan lagi oleh Din Syamsuddin.
Dalam kaitannya dengan globalisasi, Islam Berkemajuan itu sering dimaknai sebagai “Kosmopolitan” yakni, kesadaran bahwa Muhammadiyah adalah bagian dari warga dunia yang memiliki rasa solidaritas kemanusiaan universal, dan rasa tanggung jawab kepada sesama manusia tanpa memandang perbedaan dan pemisahan jarah yang bersifat primordial dan konvensional.
Muhammadiyah tegas pada langkah kosmopolitannya, karena menyadari bahwa kelahirannya merupakan produk dari interaksi Timur Tengah dan Barat yang dikemas menjadi sesuatu yang autentik di Indonesia. Ia memadukan pemikiran Muhammad Abduh, sistem pemikiran yang berkembang di Barat, dan karakter Indonesia. Oleh sebab itu, karakter kosmopolitanisme yang dikembangkan Muhammadiyah diharapkan menjadi wahana untuk dialog antar peradaban.
Alhasil, kita dapat dengan mudah menemukan gagasan Muhammadiyah, dalam berdakwah. Muhammadiyah memiliki wacana besar untuk peradaban Islam di Indonesia khususnya, dan dunia pada umumnya. Maka, tercetuslah Islam transformatif yang digagas oleh Muslim Abdurrahman sebagai bentuk pemikiran tentang bagaimana peran Islam dalam kehidupan manusia. Selain itu, untuk melengkapi pemikiran Ilmu Sosial Profetik Kuntowijoyo yang mengenalkan visi-misi kenabian dalam dakwah sosial. Kaitannya dengan Muhammadiyah, yakni jika ditelusuri lebih lanjut, kedua pemikir besar peradaban Islam di Indonesia tersebut lahir dari rahim Muhammadiyah.
Misi utama yang dibawa Muhammadiyah sendiri yakni pembaharuan (tajdid) terhadap pemahaman agama. Adapun yang dimaksudkan pembaharuan ialah seperti yang dikemukakan oleh M. Djindar Tamimy bahwa, maksud dari kata tajdid (pembaharuan) jika dipandang menurut sasarannya, ada dua segi, yakni; pertama, berarti pembaharuan dalam arti mengembalikan kepada keasliannya, ialah bila tajdid itu sasarannya mengenai soal-soal prinsip perjuangan yang sifatnya tetap. Kedua, berarti pembaharuan dalam arti modernisasi, ialah bila tajdid itu sasarannya mengenai masalah seperti; metode, sistem, teknik, strategi, taktik perjuangan yang sifatnya berubah-ubah, disesuaikan dengan situasi dan kondisi ruang dan waktu.
Dari kesimpulan ahli di atas, dapat diartikan bahwa moderniasi dakwah yang dilakukan Muhammadiyah tidaklah hanya semata-mata membuat dakwah itu lebih relevan dan lebih diterima dengan metode menggembirakan. Tapi, juga dakwah ini mencoba membentengi ajaran Islam yang murni, sehingga dapat mengembalikan warna Islam yang sesungguhnya, tanpa dicampuri kepentingan duniawi dari elit-elit agama. Contohnya, budaya tahlilan untuk mendoakan orang yang meninggal itu hendaknya tidak menambah beban bagi keluarga yang ditinggalkan, seperti tuntutan untuk membiayai ustadz atau menyediakan konsumsi jama’ah yang diluar kemampuan. Maka, harus ada cara yang lebih baik.
Akan tetapi, contoh di atas bukanlah penonjolan sikap takabbur, yang dikemukakan penulis. Sikap yang dilarang oleh Muhyiddin Ibnu ‘Arabi yang artinya merasa benar sendiri. Memang Muhammadiyah mencoba memurnikan kembali ajaran Islam, tapi bukan berarti Muhammadiyah tidak membuka jalur ijtihad, itulah mengapa dalam konteks keumatan, kader Muhammadiyah jangan pula menghabiskan polemik-polemik sektarian warisan lama seperti ajaran-ajaran sejarah Islam yang sifatnya primordial.
Kader Muhammadiyah harus tampil ke depan sebagai perekat persaudaraan umat Islam yang menjauhi konflik-konflik primordial dan sektarian. Sebagaimana yang disinyalir oleh Sndhu, Direktur Institute of Soutest Asian Studies (ISEAS), Singapura, bahwa dalam beberapa dasawarsa terakhir ini faktor-faktor etnis dan agama telah membingungkan banyak analisis sosial karena perannya yang tetap ada. Harapan liberal bahwa, modernisasi akan mengaburkan perbedaan etnis, dan meluasnya komunikasi, serta pendidikan akan membuat masyarakat semakin homogeny, ternyata tidak menjadi kenyataan.
Demikian juga harapan radikal bahwa, perbedaan agama, bahasa, dan budaya akan lenyap seiring dengan munculnya kesadaran kelas ternyata juga cuma tinggal harapan. Bahkan, tampaknya perbedaan-perbedaan yang berdasarkan faktor-faktor tersebut di banyak masyarakat telah menjadi semakin tajam. Kelompok-kelompok kepentingan etnis dan agama lebih vokal menuntut. Dalam kondisi seperti inilah kompleksitas etnis-etnis, agama, dan bahasa tampaknya semakin menantang dibanding sebelumnya.
Maka, pemahaman kita bahwa Indonesia ini majemuk atau plural lebih diluaskan lagi. Walhasil, sebagaimana dalam kedudukan mulia ada tanggung jawab, dan kita adalah sebaik-baiknya manusia yang menyerukan kebenaran. Demikian kader-kader Muhammadiyah tidak boleh lari dari tanggung jawab untuk terlibat aktif, dan total dalam proyek panjang dan melelahkan mewujudkan kemajuan dan kejayaan Indonesia. IMM Jaya! Wallahu a’lam bishawab.
Daftar Pustaka
Fanani A. Fuad, dkk. 2015. Islam berkemajuan untuk peradaban Dunia. Bandung: Mizan.
Kersten, Carrol. 2018. Berebut wacana: pergulatan wacana umat Islam Indonesia Era Reformasi. Bandung: Mizan.
*Ketua Bidang Hikmah PC IMM Jakarta Selatan 2019-2020, Alumni DAM PC IMM Sleman 2019