Pernahkah terpikir oleh diri kita, bagaimana menjalani hidup yang semestinya. Bukankah setiap langkah perjalanan kita menapaki hidup ini memiliki makna? Setiap apa yang kita lakukan memiliki arti bagi kehidupan kita. Namun, terkadang kita terlampau dalam terjebak di dalam rutinitas keseharian. Yang hal itu pada akhirnya justru membuat kita kehilangan arti dan makna hidup yang sebenarnya.
Ungkapan populer dari Buya Hamka berbunyi, “Apabila hidup sekadar hidup, babi di hutan juga hidup. Apabila kerja sekadar kerja, monyet pun bekerja.” Bukankah ungkapan ini begitu telak menohok. Masak, manusia disamakan dengan hewan. Lho, jangan lupa, manusia itu diciptakan dengan sebaik-baiknya, dikaruniai akal dan pikiran, lebih mulia dengan hewan dan makhluk lainnya.
Dengan akal dan pikiran, kita yang manusia ini jadi punya derajat lebih tinggi dibandingkan makhluk hidup lainnya. Namun, sewaktu-waktu bisa jadi lebih rendah dari binatang derajatnya. Salah satunya ketika kita tak mampu menjalani hidup selayaknya makhluk berakal. Misalnya, cuma mengejar materi dan memenuhi hawa nafsu. Memang, hidup butuh materi, tapi bukan hanya materi yang membuat kita hidup. Apalagi jika tak mampu mengendalikan nafsu, sehingga berperilaku ‘menuhankan materi’ dan ‘budak nafsu’.
Mungkin dengan materi kita akan sedikit bahagia, tapi itu tak akan selamanya. Karena hidup ini begitu singkat untuk sekadar mencari materi belaka. Dan ingat, jika kita bahagia karena materi, suatu saat bisa juga bersedih lantaran kehabisan materi. Sebab itu, kita mesti belajar. Belajarlah untuk hidup bahagia dengan berbagi bahagia.
Jangan seperti keledai yang memanggul kitab di punggungnya. Dalam sebuah perumpamaan, Buya Hamka menyebutkan, “Di dalam Al-Qur’an terdapat juga perumpamaan-perumpamaan terhadap binatang. Orang yang memikul hitab walaupun sangat bernilai isi kitab itu tetapi karena dia tidak pernah membacanya diumpamakan dengan keledai. Bagi keledai apa saja yang dipikulnya, kitab maupun emas ataupun rumput sama saja anggapannya.” (Lembaga Budi, 169).
Sehingga, apa yang kita lakukan di dalam hidup ini seumpama tumpukan beban di atas punggung keledai. Bisa saja kita membuatnya bermakna lebih. Bisa pula kita lakukan yang sebaliknya. Jangan sampai misalnya kita bekerja hanya untuk mencari uang, kuliah hanya untuk mencari ijazah, berjualan hanya untuk meraup untung, menolong orang hanya untuk imbalan, dsb. Semua itu jadi sangat sempit dan diukur dengan materi.
Akibatnya, jika hal demikian terus berlangsung dalam hidup kita, rasa jenuh dan bosan pun tak ayal bakal mampir saban hari. Entah itu di rumah, di dalam perjalanan, maupun di kantor/tempat bekerja. Belum lagi jika ditambah persoalan hidup yang bertumpuk, api amarah pun bisa jadi meluap dan membakar apa saja yang ada di depan kita. Nah, jika kita sudah mengikuti kehendak amarah, niscaya mudah pula diperdaya oleh nafsu dan iblis.
Pada akhirnya, kita akan terjebak pula pada kekosongan. Hidup bagai sebongkah jasad tanpa ruh, tanpa jiwa. Betapa menyedihkan menjalani hidup yang kosong, hampa, seolah tak punya arti. Hidup jadi seperti menjalani siklus formal belaka; lahir, kanak-kanak, dewasa, bekerja, menikah, lalu mati. Tak ada arti yang kita torehkan dalam hidup ini.
Banyak hal yang sebenarnya menyebabkan kita kehilangan makna hidup sehingga hidup terasa kering, hampa, dan kosong. Salah satu penyebab kehampaan hidup itu adalah kita tak tahu apa yang sebenarnya dicari dalam hidup ini. Kita tak memahami hakikat dan tujuan hidup yang sejati. Dan yang paling penting, mungkin kita telah terlampau jauh dari Yang Memiliki Hidup.
Bukankah seharusnya apa pun yang kita lakukan memiliki tujuan. Tentang apa yang dituju, perhatikan firman Allah Swt berikut. “Katakanlah: Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Rabb sekalian alam. Tiada sekutu bagi-Nya, dan demikianlah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah).” (QS Al-An’am: 162-163).
Menjalani hidup dengan baik berarti menjalani perintah-Nya dengan baik pula. Menorehkan arti dan makna pada hidup bisa dilakukan dengan senantiasa menjalaninya dengan seimbang dan proporsional. Seimbang antara hubungan dengan Tuhan dan manusia (habluminallah – habluminannas). Wallahualam.
#ruangrefleksi