MADRASAHDIGITAL.CO – Oleh: Agnes Tia Sinti Selviani
Kata “Gender” jika ditinjau melalui perspektif terminologis merupakan kata serapan yang diambil dari bahasa Inggris mengingat istilah gender masih sangat baru dipergunakan dalam blantika perbendaharaan kata di Indonesia, maka istilah tersebut tidak dijumpai dalam kamus-kamus bahasa Indonesia. Namun, istilah ini terus melakukan proses asimilasi dengan bahasa Indonesia. Pengaruh kuat dari sosialisasi dalam masyarakat maka kata tersebut tidak lagi ditulus dengan huruf italic karena sudah seakan-akan dianggap bagian dari bahasa Indonesia, demikian juga dalam penulisan sebagian telah menggunakan kata gender menjadi jender.
Kata gender ini jika dilihat posisinya dari segi struktur bahasa (gramatikal) adalah bentuk nomina (noun) yang menunjuk kepada arti jenis kelamin, sex, atau disebut dengan al-jins dalam bahasa Arab. Sehingga jika seseorang menyebut atau bertanya tentang gender, maka yang dimaksud adalah jenis kelamin dalam konteks pendekatan bahasa.
Perbedaan gender dan standar ganda di dalam suatu individu dapat terbentuk karena adanya stereotype yang menyebar dari generasi ke generasi, di mana hal ini terkait dengan kebiasaan pengambilan keputusan dan pengetahuan aspek sosial lainnya. Namun demikian, kebudayaan yang dimotori oleh budaya patriarki menafsirkan perbedaan biologis ini menjadi indikator kepantasan dalam berperilaku yang akhirnya berujung pada pembatasan hak, akses, partisipasi, kontrol dan menikmati manfaat dari sumberdaya dan informasi. Setiap individu juga mempunyai anggapan yang berbeda mengenai kasus ini, beberapa orang tidak peduli dengan adanya perbedaan gender ataupun standar ganda karena hal tersebut merupakan sesuatu hal yang tidak dapat diubah, setiap gender sudah memiliki garisnya masing-masing, namun beberapa orang juga beranggapan bahwa gender merupakan sesuatu yang dapat diubah karena gender hanyalah peran sosial yang tidak ada kaitannya dengan jenis kelamin, setiap orang dapat menjadi feminin ataupun maskulin tidak dipedulikan apapun jenis kelaminnya.
Konsep Gender dan Standar Ganda di Antara Perbedaan Gender
Konsep gender seringkali menjadi persoalan yang menimbulkan banyak pro maupun kontra di antara banyak pihak. Banyak ilmuwan yang beranggapan bahwa istilah gender merupakan sebuah pembeda antara laki-laki dan perempuan yang bersifat bawaan sebagai ciptaan Tuhan yang bersifat bentukan budaya yang telah diasosiasikan sejak dini. Gender juga menyangkut aturan sosial yang berkaitan dengan jenis kelamin manusia laki-laki dan perempuan. Perbedaan biologis mengenai alat reproduksi antara laki-laki dan perempuan dapat menjelaskan dengan rinci fungsi dari reproduksi yang berbeda (perempuan mengalami menstruasi, hamil, melahirkan dan menyusui; laki-laki membuahi dengan spermatozoa). Jenis kelamin biologis inilah merupakan ciptaan Tuhan, bersifat kodrat, tidak dapat berubah, tidak dapat dipertukarkan dan berlaku sepanjang zaman. Banyak dari masyarakat yang merasa terancam ketika mendengar kata “gender”. Diadaptasi dari beberapa kalangan, keengganan masyarakat mengenai penerimaan konsep gender ini diasumsikan karena beberapa hal, yaitu:
- Konsep gender yang dianggap sebuah adaptasi dari negara-negara Barat pembawa propaganda yang dinilai dibawa untuk mengubah tatanan masyarakat secara tradisional.
- Bagi masyarakat beragama, konsep gender adalah konsep yang berlawanan dengan kodrati manusia, dengan demikian konsep ini dapat berbahaya karena dapat memutarbalikkan ajaran agama.
- Konsep gender hadir karena adanya kefrustasian kaum perempuan untuk menuntut haknya menyamaratakan kedudukannya dengan laki-laki. Di Indonesia sendiri hal ini bukan menjadi suatu masalah karena negara sudah menjamin kesamarataan antara warga Indonesia yang telah tercantum dalam UUD 1945.
- Adanya mind-set yang konservatif di sebagian masyarakat yang mencakup hal-hal: pembagian peran antara laki-laki dan perempuan yang sudah tidak dapat diubah. Namun mind-set ini sepertinya masih terus berlaku meskipun mengabaikan fakta bahwa semakin banyak perempuan Indonesia menjadi Tenaga Kerja Wanita (TKW) ke luar negeri dan mengambil alih tugas suami sebagai pencari nafkah utama.
Di dalam kemasyarakatan yang menolak keras konsep dan teori gender, terdapat juga gerakan feminisme yang menjunjung tinggi nilai keadilan dan menyingkirkan nilai-nilai patriarki yang dianggap tidak sesuai dengan hak-hak asasi manusia. Feminisme ini terbagi menjadi 2 (dua) kluster, yaitu kluster yang merubah kodrat perempuan, dan yang melestarikan kodrat perempuan. Berdasarkan berbagai literatur dapat disimpulkan bahwa filsafat feminisme sangat tidak setuju dengan budaya patriarki. Menurut Skolnick: Some feminists denounced the family as a trap that turned women into slaves (beberapa feminis menuduh keluarga sebagai perangkap yang membuat para perempuan menjadi budak-budak). Budaya patriarki yang berawal dari perilaku keluarga yang kemudian menjadi penyebab adanya ketimpangan atau standar ganda. Laki-laki yang sangat diberi hak istimewa oleh budaya patriarki dibandingkan dengan perempuan menjadikan ketidak setaraan bagi perempuan. Penghapusan budaya patriarki merupakan salah satu tujuan utama gerakan feminisme.
Fenomena standar ganda ini terjadi secara natural dari naluri manusia selama separuh terakhir abad ke-20 dan terus akan terjadi dari waktu ke waktu bersamaan dengan perubahan yang akan terjadi, namun terdapat penelitian baru yang mendokumentasikan bahwasanya standar ganda di dalam perbedaan gender ini dapat terjadi karena pembentukan perilaku oleh keluarga, hal ini mencakup: perilaku seksual, hidup bersama, perkawinan, dan melahirkan anak. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sikap orang tua merupakan sebuah kekuatan besar dalam membentuk sikap dan perilaku anak yang akan berdampak pada pemikirannya.
Namun, penelitian yang sama menunjukkan bahwa anak (laki-laki dan perempuan) memiliki respons yang sama terhadap sikap orang tua mereka, sehingga tidak terdapat perbedaan gender dan standar ganda yang substansial dalam korelasi antara sikap orang tua dan perilaku anak setelahnya. Perbedaan dan pembeda peran gender yang telah diamati merupakan sebuah akibat langsung yang terjadi dari perilaku, sikap, dan harapan yang berbeda. Perlakuan tidak setara terhadap laki-laki dan perempuan dapat dilihat kembali ke lingkungan yang berbeda berakibat pada perilaku maskulin yang cenderung dipaksakan pada anak laki-laki, sedangkan perilaku feminin dianjurkan pada anak perempuan. Orang tua juga seringkali membedakan antara anak laki-laki dan perempuan yang menyebabkan perlakuan yang tidak setara.
Selain itu, John K dalam jurnalnya yang berjudul “Running Head: IMPLICIT SEXUAL DOUBLE STANDARD” telah melakukan tinjauan terhadap 103 mahasiswa psikologi yang belum lulus. Hasilnya menunjukkan bahwa kedua di antara laki-laki dan perempuan sama-sama mendukung adanya perlakuan standar ganda, namun persentase laki-laki lebih banyak yang mendukung akan hal ini. Peneliti mengasumsikan bahwa dengan adanya dukungan yang dilakukan, perilaku standar ganda ini juga tetap akan terjadi dan perbedaan gender juga tetap akan menjadi sebuah pembatas. Namun, di masa sekarang, tidak sedikit orang yang telah menyadari akan dampak buruknya standar ganda.
Banyak dari masyarakat yang tidak setuju dengan adanya kasus ini yang berdampak pada menekannya angka ketidak setaraan gender. Banyak perempuan yang telah bebas dan bisa melakukan apapun bahkan menjadi seorang pemimpin, banyak juga dari laki-laki yang sudah tidak dianggap buruk ketika melakukan sesuatu yang tidak salah. Dalam hal buruknya, banyak juga dari beberapa orang yang mendapat perlakuan setara ketika melakukan sesuatu yang salah. Namun, terlepas dari perubahan dan peningkatan ini, kita tidak dapat menyangkal bahwa “standar ganda” masih tetap ada.
Redaktur: Annisya Kurniasih