MADRASAHDIGITAL.CO- Oleh: Dr. Muhammad Alkaf, Dosen IAIN Langsa Aceh
Setelah kemarahan, publik sepak bola Indonesia mengalami peningkatan level kesedihan. Belasan tahun lalu, kita sedih karena gagal lolos ke babak semi final Sea Games. Atau, kita bermuram durja karena kalah di final Piala AFF. Kini, kita bersedih karena terancam lolos ke Olimpiade. Tentu, hal ini merupakan peristiwa kebudayaan yang menakjubkan.
Sepak bola merupakan olahraga yang dinilai oleh publik Indonesia. Hanya olahraga inilah yang bisa mendekatkan segala perbedaan, yang acapkali bisa menjadi konflik. Melalui sepak bola, kita diminta untuk bertafakur tentang arti pentingnya persatuan nasional dan sikap welas asih antar sesama. Namun, masalahnya, selama puluhan tahun, sepak bola belumlah cukup menjadi modal kultural bangsa Indonesia karena prestasinya yang jeblok.
Apa yang mau kita banggakan dari sepak bola Indonesia kecuali sejarah yang semakin buram dalam ingatan kolektif hari ini: menahan imbang Uni Soviet dan nyaris lolos ke Meksiko. Dua hal yang terus kita kenang, di saat negara lain, seperti Jepang dan Korea Selatan semakin mematutkan dirinya dengan tim-tim dari Eropa Barat dan Amerika Selatan. Sampai akhirnya, kaca ingatan yang semakin buram itu dibersihkan secara perlahan oleh Erick Tohir, Ketua Umum PSSI.
Erick Tohir merupakan aktor utama dari naik levelnya kemarahan dan kesedihan kita di atas pentas sepak bola. Dia membawa kita untuk marah karena dikalahkan secara tidak patut oleh Qatar di awal turnamen. Dia jugalah yang menempatkan level kesedihan kita menjadi lebih tinggi karena pintu Olimpiade semakin menjauh, setelah sebelumnya terasa sepelemparan batu saja.
Kita tentu tidak bisa membayangkan bahwa situasi psikologis ini dapat terjadi tanpa federasi yang kondusif seperti hari ini. Dahulu, kita mengkritik federasi sepanjang hari. Jari kita menuding bahwa federasi ikut menikmati ambruknya sepak bola Indonesia saat itu. Gara-gara itulah, publik sepak bola mengalami degradasi kesedihan. Kita merana karena kesulitan mengalahkan Kamboja dan Filipina. Kita juga frustasi karena selalu menjadi bahan olok-olok Thailand, Vietnam, dan Malaysia. Tetapi, situasi telah berbalik. Indonesia berada di level berbeda.
Bahwa benar kita gagal menjadi juara tiga untuk menyegel tikat otomatis ke Olimpiade Paris. Tetapi, yang menjadi pertanyaan, sejak kapan berada di Olimpiade menjadi target untuk cabang sepak bola Indonesia. Sejak kapan cabang sepak bola kita letakkan setara dengan cabang Bulu Tangkis dalam perhelatan Olimpiade? Lalu karena kita, tiba-tiba, berani menargetkan berada di Olimpiade, kemudian merasa pantas marah kepada punggawa Timnas U-23.
Namun demikian, bergembiralah karena kita berani menghadirkan mimpi ke Olimpiade, setelah sebelumnya membayangkan membawa pulang trofi Piala AFF saja seperti tidak pantas, akibat selalu gagal dalam turnamen itu.
Kini, peningkatan level kesedihan merupakan bentuk dari mentalitas baru dari publik sepak bola Indonesia. Nanti, kita akan terbiasa mengutuk kekalahan dari Jepang, terbiasa mengalahkan Arab Saudi, dan menyesali karena hanya mendapatkan hasil imbang dengan Korea Selatan.
Red. Saipul