Oleh: Rahmad Tri Hadi (Mahasiswa Doktoral Filsafat Islam UIN Sjech M. Djamil Djambek Bukittinggi)
MADRASAHDIGITAL.CO Kesetaraan gender merupakan salah satu isu yang terus mendapat perhatian dalam wacana keislaman kontemporer. Meski banyak aktivis dan cendekiawan telah menggaungkan gagasan ini, tidak sedikit yang berhenti pada tataran retorika tanpa diwujudkan dalam praktik sosial. Buya Ahmad Syafii Maarif, seorang intelektual Muslim terkemuka, memandang bahwa kesetaraan gender dalam Islam tidak boleh hanya menjadi slogan normatif, tetapi harus dipahami secara etis dan diimplementasikan secara nyata dalam kehidupan rumah tangga, ruang publik, dan kebijakan negara (Ulinuha, 2022).
Dalam karya Buya Syafii “Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan”, Buya menegaskan bahwa kemerdekaan perempuan adalah bagian dari misi kemanusiaan Islam yang tidak boleh dikhianati oleh praktik budaya yang diskriminatif (Maarif, 2009). Dalam pandangan Buya Syafii, keterlibatan perempuan di ranah politik merupakan keniscayaan etis dan konstitusional, asalkan didasari integritas dan kompetensi (Fatmawati & Anwar, 2020). Pemikiran Buya Syafii dapat menjadi inspirasi untuk melakukan rethinking atau peninjauan ulang terhadap konsep kesetaraan gender dalam perspektif Islam, dengan pendekatan yang lebih kontekstual, kritis, dan berkeadilan.
***
Berangkat dari prinsip-prinsip Qur`ani, Buya Syafii menegaskan bahwa martabat manusia bersifat setara tanpa diskriminasi gender. Q.S. al-Hujurat: 13 menggarisbawahi bahwa kemuliaan manusia di hadapan Allah SWT. diukur dari ketakwaannya, bukan jenis kelaminnya. Q.S. at-Taubah: 71 bahkan menggambarkan laki-laki dan perempuan sebagai awliyâ’, yakni sebagai mitra sejajar yang bekerja sama menegakkan kebaikan (amar ma’ruf) dan mencegah kemungkaran (nahi munkar).
Adapun Q.S. an-Nisa’: 34 yang kerap menjadi sumber legitimasi superioritas laki-laki, menurut Buya Syafii, harus dibaca dengan mempertimbangkan konteks sosial dan tujuan etis syariat. Dalam Membumikan Islam, ia mengingatkan bahwa tafsir yang meminggirkan perempuan sama saja dengan mengkhianati pesan moral al-Qur`an (Maarif, 1995). Reinterpretasi Q.S. an-Nisa’: 34 yang digunakan Buya Syafii sejalan dengan maqâshid syariah, yaitu untuk menegakkan keadilan dan melindungi martabat perempuan dari kekerasan maupun subordinasi (Alwi, 2021).
Pendekatan yang digunakan Buya Syafii bersifat kritis dan konstruktif. Secara kritis, ia menolak kultur patriarkis yang melegitimasi kekerasan atau subordinasi perempuan, termasuk melalui tafsir agama yang bias kuasa. Ia juga mengkritik pembatasan peran perempuan di ruang publik atau kepemimpinan semata-mata karena alasan gender. Secara konstruktif, Buya Syafii mengusung etos kesalingan (mubâdalah) di seluruh ranah kehidupan. Ia meneladankan prinsip ini dalam kehidupan pribadinya, di antaranya berbagi pekerjaan rumah dengan istri, mengelola keuangan bersama, dan menghargai pendapat pasangan (Chaniago, 2022).
***
Dalam salah satu karyanya “Islam dan Masalah Kenegaraan”, ia menekankan bahwa kepemimpinan, baik di negara maupun komunitas, harus diukur dari kapasitas, integritas, dan tanggung jawab, bukan dari jenis kelamin (Maarif, 1985). Selain itu, Buya Syafii juga memandang negosiasi gender dalam Islam sebagai proses dinamis, di mana perempuan dapat memperjuangkan hak-haknya melalui jalur hukum, politik, maupun pendidikan tanpa keluar dari kerangka nilai-nilai Islam (Aminah, 2021).
Menurut Buya Syafii, kesetaraan gender perlu diwujudkan melalui tiga ranah utama perubahan. Pertama, rumah tangga sebagai madrasah kesetaraan, di mana pembagian tugas didasarkan pada kemampuan dan kesepakatan, bukan stereotip gender. Kedua, institusi keagamaan dan pendidikan, yang semestinya membuka akses kepemimpinan bagi perempuan serta mengajarkan metode tafsir kontekstual dan berperspektif keadilan. Ketiga, kebijakan publik yang berkeadilan gender, termasuk perlindungan dari kekerasan, layanan kesehatan reproduksi, dan lingkungan kerja yang ramah keluarga (Latifah, 2022).
***
Buya Syafii menanggapi keberatan umum terhadap kesetaraan gender, misalnya pandangan bahwa kesetaraan bertentangan dengan “kodrat”, dengan menegaskan bahwa kodrat biologis memang berbeda, tetapi martabat dan hak sosial tidak boleh dibatasi karenanya. Mengenai Q.S. an-Nisa’:34, ia menekankan bahwa finalitas teks tidak menutup ruang ijtihad, sebab tujuan syariat adalah keadilan dan kemaslahatan. Dasar metode yang digunakan oleh Buya Syafii dimulai dengan menjadikan etos keadilan al-Qur`an sebagai lensa utama, lalu menguji hasil tafsir dengan realitas sosial, dengan mempertanyakan ulang apakah ia melindungi martabat dan mengurangi kerentanan perempuan? Jika tidak, maka diperlukan pembacaan ulang yang selaras dengan maqâshid syariah.
Rethinking equality gender dalam perspektif Islam ala Buya Syafii pada dasarnya adalah merupakan upaya mengembalikan tafsir pada jiwa al-Qur`an, di antaranya martabat manusia, kesalingan, dan keadilan. Buya membuktikan bahwa tafsir yang berorientasi pada kemaslahatan bukanlah bentuk “Baratisasi (ala Barat)” Islam, melainkan bagian dari ijtihad untuk menegakkan Islam yang rahmatan lil ‘alamin (Maarif, 2017). Salah satu bentuk aktualisasi kita sebagai generasi Muslim saat ini adalah dengan memperbarui bacaan terhadap teks suci, membenahi budaya, dan membangun institusi yang memungkinkan kesetaraan gender terwujud di seluruh aspek kehidupan.
Editor: M. Rendi Nanda Saputra