MADRASAHDIGITAL.CO-Oleh : Saidil Rahman, Mahasiswa IPICOM UMY 2023
Manusia pada umumnya akan mengalami rasa amarah dan terpuruk luar biasa jika mengalami perubahan kehidupan drastis sebagaimana yang dialami oleh Zeno, tapi hal ini tidak berlaku bagi Zeno, pendiri filsafat Stoikisme.
“A bad feeling is a commotion of the mind repugnant and against nature”.
Perasaan buruk adalah akibat menolak akal dan alam, kata Zeno.
Dalam perjalanannya bertahan hidup dengan kemiskinan yang dihadapinya, Zeno sering mengunjungi seorang penjual buku di Athena. Di masa inilah ia menemukan “Memorabilias Xenophon”, sebuah buku yang mengenalkan Zeno pada Socrates dan pemikiran filsafatnya mengenai hakikat kehidupan manusia, pendekatan rasionalisme, serta kajiannya tentang kebahagiaan dan kebajikan. Rasa kagumnya yang begitu besar pada Socrates membuatnya mencari tahu lebih lanjut. Dia menanyakan kepada sang penjual buku di mana ia bisa mencari seseorang yang memiliki pemikiran serupa. Penjual buku tersebut memberitahu Zeno tentang seorang filsuf bernama Crates dari Thebes. Zeno pun mencari Crates, menjadi muridnya, dan semakin mendalami ilmu filsafat.
Zeno kemudian mulai mengajar filsafat di sebuah bangunan dengan tiang besar dan memiliki teras di tengah Athena, Yunani. Bangunan ini disebut Stoa Poikile yang artinya “Teras Berwarna”. Dari sinilah istilah Stoikisme berasal, yang dalam bahasa Indonesia dikenal dengan istilah “Filosofi Teras”.
Ajaran Stoikisme
Stoikisme mempelajari perkembangan logika, retorika, dialektika, fisika, etika, teologi, serta politik. Namun, fokus utamanya adalah etika. Salah satu pandangan penting Stoikisme adalah bagaimana manusia memilih sikap hidup dengan menekankan kendali diri penuh. Hidup pasrah menerima keadaan di dunia dianggap sebagai cerminan kemampuan logika manusia, bahkan menjadi kemampuan tertinggi dari semua hal.
“If you have power over your mind, not outside events” (Marcus Aurelius). Kamu memiliki kekuatan atas apa yang kamu pikirkan, bukan peristiwa yang terjadi di luar. Melalui kutipan ini, Marcus ingin menyampaikan bahwa kita memiliki kendali penuh atas apa yang kita pikirkan. Hal inilah yang akan menuntun kita menjadi seseorang yang kita inginkan, terlepas dari hal buruk yang terjadi di sekitar kita. Jika kita berhasil memilih mana yang pantas masuk ke pikiran kita dan mana yang tidak, maka kita akan mencapai ketenangan hidup.
Marcus Aurelius sendiri adalah seorang kaisar yang memimpin Kekaisaran Romawi pada 161-180 M. Dia memiliki kekuasaan sangat besar namun menggunakan kekuasaannya dengan kebaikan dan kebajikan. Sejarawan terkenal Edward Gibbon bahkan menyebut Marcus sebagai kaisar terakhir dari lima kaisar terbaik. Marcus Aurelius juga banyak menulis “Jurnal Perenungan Diri” yang pada awalnya tidak ditujukan untuk dipublikasikan. Jurnal ini bukan sekadar catatan pribadi, namun juga berisi ide-ide Stoik dari sudut pandangnya. Jurnal ini kemudian diterbitkan menjadi sebuah buku berjudul “Meditations”, yang masih menjadi salah satu karya terpenting dalam filosofi Stoikisme hingga kini.
Stoikisme dalam Kehidupan
Dalam kehidupan sehari-hari, Stoikisme secara sederhana mengajarkan bagaimana menjaga pikiran tetap tenang dan rasional. Tidak peduli hal buruk apa pun yang terjadi pada diri kita, kita tetap fokus pada apa yang dapat kita kendalikan, dan tidak khawatir atau memasrahkan hal-hal yang tidak dapat kita kendalikan.
Ajaran Stoikisme bisa kita terapkan dalam kehidupan sehari-hari. Beberapa poin yang bisa diterapkan antara lain:
- Fokus Terhadap Kendali Diri Fokus pada hal yang bisa kita kendalikan. “The more we value things outside our control, the less control we have,” kata Epictetus. Semakin kita menghargai hal-hal di luar kendali kita, semakin sedikit kendali yang kita miliki. Kita harus fokus pada hal yang bisa kita lakukan dan kendalikan. Tidak ada gunanya menghabiskan waktu mengurusi hal-hal yang tidak bisa diubah.Contohnya, kenyataan bahwa seseorang lahir di keluarga kurang mampu. Daripada terus meratapi nasib, lebih baik berfokus pada hal-hal yang bisa dilakukan, seperti rajin belajar, bekerja keras, dan meningkatkan keterampilan.
- Jangan Menderita Karena Pikiran Seneca, seorang negarawan Romawi, pernah mengatakan, “People are more often disturbed by their imagination than by reality.” Banyak orang lebih tersiksa karena imajinasi dibanding realitas. Terkadang kita terlalu banyak memikirkan hal-hal buruk yang belum tentu terjadi, sehingga hidup kita penuh kesedihan. Stoikisme mengajarkan untuk menerima kenyataan dan memanfaatkan apa yang kita miliki dengan sebaik-baiknya.
- Buatlah Progres Setiap Hari “Well-being is realized by small steps, but it is no small thing,” kata Zeno. Ketika memiliki tujuan besar, buatlah target kecil untuk mencapainya. Jangan mengejar kesempurnaan, tapi kejar progres dan perkembangan, sehingga kita selalu menjadi lebih baik daripada hari kemarin.
- Pelajari Orang Hebat Belajarlah dari orang-orang hebat. Jika mereka bisa melakukannya, kita juga bisa. Kesulitan adalah peluang untuk tumbuh menjadi pribadi yang lebih baik.
- Utamakan Keberanian, Kesederhanaan, Keadilan, dan Kebijaksanaan Keempat nilai ini menjadi pilar Stoikisme. Hidup sederhana, adil, dan bijaksana akan membawa ketenangan dan kedamaian.
- Hargai Waktumu Seneca mengatakan, “It is not that we have a short time to live, but that we waste much of it.” Hidup ini cukup panjang jika digunakan dengan bijaksana, namun menjadi terasa singkat jika disia-siakan.
Kesimpulan
Kehidupan penuh kejutan, baik manis maupun pahit. Namun, pilihan ada di tangan kita, apakah kita akan memandangnya sebagai musibah atau menerima dengan ikhlas dan melihatnya sebagai peluang untuk menjadi lebih baik. Seperti kata Marcus Aurelius: “Kita tidak dapat mengendalikan apa yang terjadi, tetapi kita dapat mengendalikan bagaimana kita meresponsnya.”
Manusia menaklukkan dunia dengan menaklukkan dirinya sendiri. Filsafat Stoikisme mengajarkan kendali diri, kebijaksanaan, dan penerimaan terhadap hal-hal yang tidak dapat dikontrol. Dengan menerapkannya, manusia bisa menemukan kedamaian dalam hidup.