Oleh : Muh Akmal Ahsan, Kabid Ristek DPP IMM
Pagi telah menyingsing ketika saya bersama lima orang anak muda bergegas ke kediaman Andi Afdhal Abdullah, Direktur SDM dan Umum BPJS Kesehatan. Silaturrahmi di kediaman beliau ditemani pisang goreng sambal khas Makassar yang kami makan sembari berbagi cerita tentang banyak hal.
Ada setidaknya tiga hal yang membuat perjumpaan saya dengan Kak Afdhal terasa begitu cair dan mengalir. Pertama, kami sama-sama lahir dari kebudayaan Bugis-Makassar, sebuah latar sosial yang menanamkan nilai keberanian dan kesetiaan pada janji. Kedua, kami dipertemukan oleh rumah ideologis IMM. Ketiga, kami kini sama-sama menapaki jalan pengabdian di birokrasi, ruang dimana idelisme diuji oleh kenyataan. Tentu jabatan saya belum sebanding dengan posisi yang diemban Kak Afdhal. Namun justru karena itulah, sebagai seseorang yang baru menapaki dunia birokrasi, saya merasa perlu mendengar pandangan-pandangannya, sebagai cara untuk belajar memahami bukan hanya bagaimana kekuasaan dijalankan, tetapi juga bagaimana tanggung jawab di dalamnya dijaga.
Awal Perjumpaan
Di IMM, nama Kak Afhdal cukup dikenal luas. Ia kader yang purna dalam kaderisasi dan lalu pelan-pelan menapaki jalan terjal di dunia birokrasi. Ia saya kira berbeda dari aktivis lain yang anti-birokrasi, berbudaya verbalistik dan sekadar mengandalkan jaringan orang dalam. Ia tumbuh dari kesadaran bahwa aktivisme harus diuji di lapangan kenyataan, dengan keterampilan dan kompetensi diri. Kesadaran itu terus ia rawat hingga saat ini, ia tampak hendak mengawinkan aktivisme dengan birokrasi. Barangkali sebab itulah, ia banyak merawat aktivis, membina dan memberinya arah. Bukan hanya aktivis IMM, namun juga kader dari organisasi mahasiswa yang lain.
Nama Kak Afdhal sudah lama saya dengar, dikenal luas sebagai salah satu direktur BPJS Kesehatan RI. Namun bagi saya, reputasi seseorang bukanlah alasan untuk mendekatinya tanpa alasan yang patut. Sebagai aktivis, saya belajar untuk tahu diri, bahwa kedekatan sosial tak boleh disalahartikan sebagai hak istimewa. Pernah suatu waktu, Sena, istri saya, jatuh sakit dan kami membutuhkan layanan BPJS. Saya tahu betul bahwa di sana ada Kak Afdhal, tapi kesadaran akan batas antara hubungan pribadi dan tanggung jawab publik menahan saya untuk tidak serta-merta meminta bantuan kepadanya.
Perjumpaan kami berlangsung beberapa kali. Pertama, ketika beliau menjadi pembicara dalam kegiatan Darul Arqam Paripurna IMM. Lain waktu di sebuah warung kopi di bilangan Kwitang, lalu berbincang hangat di kediamannya. Terakhir, kami duduk santai di kawasan Cikini. Dari serangkaian pertemuan itu, saya merasa ada satu hal yang patut dicatat: gagasan dan pandangan kami soal apa yang kita sebut aktivisme birokrasi. Upaya menjembatani idealisme gerakan dengan tanggung jawab pelayanan publik.
Aktivisme Birokrasi
Selama ini, aktivisme dan birokrasi tampak berdiri di kutub berlawanan. Aktivisme identik dengan keberanian menggugat, sementara birokrasi dipandang dengan kepatuhan terhadap aturan. Yang satu berjiwa gerakan, sementara lainnya tampak patuh pada tatanan. Dalam perbincangan saya dengan Kak Afdhal, keduanya kini tak dapat dipertentangkan, apalagi dipisahkan. Birokrasi tanpa jiwa aktivis akan beku dari nilai-nilai sosial. Sementara aktivisme tanpa kerangka birokrasi akan kehilangan arah, bergolak tanpa arah, bersemangat tapi tanpa keberlanjutan.
Aktivisme birokrasi ialah upaya mengawinkan nurani gerakan dengan disiplin sistem. Birokrasi tak boleh sekadar melahirkan aparatur yang sekadar patuh namun apatis terhadap nilai-nilai sosial dan kemanusiaan. Dikotomi lama antara aktivisme birokrasi dengan aktivisme itu harus diakhiri dengan melahirkan pada perubahan pada tiga lapis utama: pertama, lapis struktural. Bahwa birokrasi perlu memberi ruang bagi disrection, kebebasan dan tanggung jawab bagi para pegawai untuk terus berinovasi tanpa bayang-bayang pelanggaran hukum. Kedua, lapis kultural. Diperlukan perubahan cara pandang, bahwa ASN hadir bukan sekadar pelaksana kebijakan, lebih dalam dari itu, menjadi penggerak nilai-nilai publik. Ketiga, lapis makna. Bahwa birokrasi harus menemukan kembali panggilannya sebagai jalan pengabdian. Dikotomi diamteral itu hanya bisa berakhir bila birokasi bisa membuka ruang moral, tempat aturan dan nurani bisa berjalan seiring dan aktivisme menjadi nafas utama birokrasi. Barangkali itulah hakikat dari slogan reformasi birokrasi yang sering kita dengar.
Apa Pentingnya Bagi Organisasi Mahasiswa?
Sebagai kader yang kini masih aktif dalam struktural, saya merasa integrasi aktivisme dengan birokrasi dimulai dari dunia organisasi mahasiswa itu sendiri. Dunia organisasi harus bertransformasi secara radikal. Pertama-tama transformasi itu dimulai dari cara pandang bahwa aktivisme dengan birokrasi tidak selamanya berjalan diametral. Perubahan cara pandang tersebut jelas perlu diiringi perubahan mental, dimana perubahan mental itu menuntut kedewasaan moral, kesanggupan menjaga idealisme tanpa kehilangan daya profesionalisme. Aktivis yang matang memahami bahwa peruban besar justru sering lahir dari langkah-langkah kecil yang penuh ketabahan dan konsistensi. Tak kalah perlunya adalah perubahan perilaku. aktivisme harus lepas dari jargon dan slogan-slogan bombastis yang lepas dari lapangan kenyataan. Semangat pengabdian harus dimanifestasikan dalam tindakan konkret seperti datang tepat waktu, mengakui kesalahan atau sekadar bekerja dengan hasil dan dampak nyata.
Pada akhirnya, perjumpaan saya dengan Kak Afdhal saya kira bukan sekadar pertemuan dua generasi aktivis, lebih dalam dari itu adalah pertemuan dua arus pandangan, tentang bagaimana nilai-nilai perjuangan dijaga dalam sistem birokrasi. Dari beliaulah, saya belajar bahwa menjadi birokrat bukan berarti melepaskan nilai aktivisme, melainkan justru menanamnya lebih dalam di jantung pelayanan publik. Maka bagi kami yang tumbuh dari dunia gerakan, tugas selanjutnya adalah memastikan bahwa setiap derap langkah pengabdian di ruang birokrasi terus berpijak pada semangat perubahan. Sebab dari sanalah, aktivisme menemukan kematangannya.