MADRASAHDIGITAL.CO, Oleh: Muhammad Nur Faizi, Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga. Menjadi reporter di LPM Metamorfosa dan belajar agama di Pondok Pesantren Kotagede Hidayatul Mubtadi’ien Yogyakarta
Gerakan Islam radikal yang muncul di akhir tahun 1980-an membuat Indonesia kewalahan. Masyarakat dibuat porak poranda dalam kekabutan pemikiran. Persepsi diubah menjadi agak keras. Jika Soeharto berhasil membuat masyarakat menjadi sekuler, maka setelah masa itu, radikalisme berhasil merubah masyarakat menjadi intoleran dan mudah menyakiti liyan.
Dalam situasi demikian, gerakan Islam moderat mulai mengalami penyusutan. Justru dominasi gerakan keagamaan dipegang oleh kelompok Islam baru. Generasi muda yang mengenyam bangku kuliah lebih condong ke arah gerakan Tarbiyah dibandingkan bergabung dalam kelompok toleran semisal NU dan Muhammadiyah. Situasi seperti ini kian membuat negara gonjang ganjing dalam lingkar pertengkaran yang sulit dihentikan.
Pergerakan NU dan Muhammadiyah pada prosesnya berfokus pada pendidikan. Untuk gerakan politik, keduanya nampak kurang tertarik di masa itu. NU aktif di pendidikan pondoknya, sedangkan Muhammadiyah aktif dalam pembangunan pendidikan formalnya.
Pondok pesantren dijadikan NU sebagai transfer materi kaderisasi pada generasi selanjutnya. Disana dibangun suasana lingkungan dan keilmuan yang disesuaikan dengan corak organisasi NU. Pun dari sana, NU membentengi moral kadernya agar senantiasa melaksanakan amar ma’ruf nahi mungkar.
Gerakan yang paling kentara pada pondok pesantren adalah pengkajian kitab-kitab lama. Disana para santri digembleng untuk memahami pokok pikiran ulama-ulama ternama di zamannya. Seperti Imam Ghazali, Imam Syafi’i, dan Ibnu Hanifah yang pokok pikirannya tersimpan pada lembaran kitab, kembali dibuka untuk ditelaah kemudian disesuaikan dengan keadaan zaman.
Pemikiran-pemikiran ulama terdahulu dianggap revolusioner. Sehingga pokok gagasan yang dihasilkan akan terus bersambung pada setiap zaman. Contohnya dalam ilmu tasawuf, kecenderungan manusia yang selalu mendambakan harta, tahta, serta kenikmatan dunia lainnya telah diprediksi oleh ulama terdahulu sebagai sumber dari malapetaka. Oleh Imam Ghazali, ditulis dalam kitab Maraqil Ubudiyah tentang cara meraih kebahagiaan sejati. Semua yang ada di dunia hanyalah titipan, yang harus dimanfaatkan untuk menuju Sang Maha Cinta, yaitu Allah swt. Pun gagasan serupa ada pula konsep sosial keagamaan.
Berbeda dengan NU, Muhammadiyah lebih memfokuskan pendidikannya dalam lingkup kelembagaan. Sekolah dan universitas yang dibangun menjadi jawaban pada pola pendidikan Muhammadiyah yang cemerlang. Pun, Muhammadiyah ikut membangun rumah sakit dan panti asuhan sebagai bakti sosial mereka pada masyarakat.
Dominasi pekerjaan yang dilakukan warga Muhammadiyah di zaman Soeharto adalah pegawai dan pedagang. Dengan penghasilan yang menjanjikan, para anggota mulai menyisihkan sedikit dana untuk membangun beberapa lembaga yang bermanfaat di kemudian harinya. Di sisi lain, warga Muhammadiyah yang memiliki penghasilan di atas rata-rata ikut berperan aktif dalam proses pembangunan. Sehingga konsep pembangunan yang digadang-gadang cepat terealisasikan.
Namun, dari semua perjuangan itu, perpolitikan menjadi faktor terbesar yang menggeser cita-cita luhur dua organisasi besar. Ketika NU menarik peran dari politik dan mengambil keputusan kembali pada khittah, kelompok jihadis mulai mengambil peran disana. Mereka berupaya mengubah Indonesia menjadi negara Islam melalui perda (peraturan daerah). Tidak sampai disitu, mereka menyusupkan beberapa agen ke jantung pertahanan organisasi NU dan Muhammadiyah.
Pada akhirnya, sering terjadi gesekan antara dua organisasi besar ini, baik pada tataran ritual keagamaan maupun cara keduanya menyikapi perubahan sosial. Saling ejek dan kritik pedas terjadi di media sosial maupun secara langsung pada pertemuan terbuka. Dari sana politik adu domba bekerja secara semestinya, membenturkan dua organisasi besar kemudian muncul sebagai penengah yang dianggap sebagai pahlawan.
Konsep politik seperti ini layaknya kurang diperhatikan oleh dua organisasi. Walaupun dari pusat sudah mewanti-wanti isyarat perdamaian dengan mengedepankan sikap toleran, namun dari masyarakat bawah masih ada yang terprovokasi. Kecantikan permainan media, serta penyebaran narasi provokasi secara masif, membuat masyarakat kian terpedaya.
Kemudian, solusi dari pertengkaran-pertengkaran pada semua organisasi Islam, kelompok jihadis menawarkan bentuk persatuan. Umat Islam harus bersatu menjadi satu organisasi utuh. Sekilas gagasan mereka sangat cemerlang, namun dibalik itu ada niat untuk mengarahkan umat Islam pada perang agama.
Dengan kesatuan organisasi, mereka bisa lebih leluasa untuk mengontrol pergerakan dan mengambil kebijakan. Bisa dibayangkan, bagaimana arah organisasi Islam selanjutnya di bawah motor pergerakan kekerasan? Dua organisasi besar yang bersatu, akan menjadi motor pendirian agama khilafah di Indonesia. Dan pada akhirnya, pengikisan semua perbedaan akan terjadi. Praktek-praktek maksiat yang menjadi kebudayaan umat lain, akan disingkirkan karena tidak sesuai dengan nilai-nilai Islam.
Inilah yang menjadi tugas milenial sebagai penerus gerakan toleran untuk berperan dalam menyebarkan agama kedamaian. Mereka selaku agen perubahan mempunyai peluang yang tinggi dalam merubah tata letak pergerakan. Daya kreatifitas yang mereka miliki dapat merubah taktik pergerakan dari dalam untuk muncul ke permukaan. Organisasi yang mereka pimpin nantinya tidak hanya fokus pada permasalahan anggota, namun fokus juga pada antisipasi penyebaran paham dari organisasi luar (Muhammad Nur Faizi, 2020).
Counter yang dimunculkan harus berefek jangka panjang. Misalnya penerapan nilai-nilai toleran, kritis, dan kepala dingin menjadi modal utama untuk membentengi tindak provokasi. Hal ini bisa dilakukan dengan mengarahkan organisasi lebih kreatif dan solutif dalam menjawab problematika di sekitar masyarakat. Pun orang-orang yang ditunjuk sebagai penggerak organisasi bisa lebih aktif memberi contoh teladan kedamaian. Seperti perkataan KH Ahmad Dahlan, “Teladan yang baik adalah khotbah yang jitu,” kunci dari semua dakwah adalah keteladanan.
Tentang perbedaan, semua organisasi berhak berbeda. Karena perbedaan adalah rahmat yang Tuhan berikan pada manusia. Berkat adanya perbedaan, laku ibadah menjadi lebih mudah. Contohnya masyarakat Indonesia yang mayoritas menganut madzhab Syafi’i ketika berhaji, berpindah madzhab sebentar agar bisa melaksanakan haji lebih mudah. Pun demikian, perbedaan tidak menjadi masalah karena itu menjadi rahmat. Maka nilai toleransi dan saling menghargai harus dikedepankan keduanya agar perbedaan tidak menjadi bencana.
Editor: Ahmad Soleh