Oleh: Muh Ramdani Ningkiula (Kader IMM Achmad Yani)
MADRASAHDIGITAL.CO “Tidak ada perayaan HUT RI KE-80” mungkin begitu kira-kira pernyataan yang pas untuk sebagian orang-orang yang masih sadar dengan kondisi republik indonesia sampai dengan hari ini. Apa yang perlu dirayakan dari HUT RI KE-80 sehingga para pemangku kebijakan begitu tega berpesta ria? Apa karena pajak yang melambung tinggi, efisiensi anggaran untuk kaum menengah kebawah, gaji anggota DPR yang naik hingga 3 juta perhari, saling balas nyanyian saat rapat di dalam gedung DPR, data pribadi penduduk yang dijual ke asing, liga korupsi, pembubaran dan pengrusakan rumah ibadah, atau karena hal apa sehingga kita bisa mengatakan bisa untuk merayakan kemerdekaan?. Atau jangan-jangan upacara kemerdekaan ini hanya sebatas ceremonial elit politik belaka atau boleh jadi kemerdekaan yang di maksud hanya kemerdekaan oleh oligarki dan pejabat korup saja.
Di usia yang ke-80 semestinya bangsa ini sudah menjadi bangsa yang maju. Menjadi bangsa yang dewasa namun pada kenyataannya kita seolah menjadi bangsa yang tertindas. Bukan oleh pihak asing tapi sesama pribumi yang berdalih sebagai wakil rakyat tapi pada realitanya justru mereka yang paling sering mencekik rakyat secara perlahan. Upacara perayaan yang kita saksikan bukan perayaan kedewasaan sebuah bangsa melainkan pesta pora di atas kesengsaraan rakyat. Judul di atas bukanlah sebuah provokasi kosong melainkan hanyalah sebuah lawan kata dari slogan HUT RI KE-80 yang agaknya lebih cocok untuk menggambarkan potret buram realitas kondisi indonesia hari ini.
Bercerai: Bhineka Tunggal Ika Hanyalah Slogan Kosong
Kata “bercerai” tentu saja bukan dalam arti literal, namun kata bercerai disini sebagai ungkapan dalam upaya menggambarkan kondisi sosial masyarakat kita saat ini. Bisa kita lihat dalam jangka waktu ke belakang di beberapa daerah kerap terjadi diskriminasi terhadap umat beragama kristen. Pada juni 2025 kemarin terjadi pembubaran kegiatan ibadah di sukabumi. Sebetulnya kegiatan ini hanya berupa retret saat libur sekolah yang di ikuti oleh anak-anak serta remaja. Kegiatan yang dilakukan berupa program reflektif bahkan beberapa kegiatan juga dilakukan melalui permainan. Tetapi, sejumlah warga kemudian datang dan membubarkan paksa acara tersebut dengan alasan rumah singgah atau villa itu tidak memiliki izin sebagai tempat ibadah. Pembubaran disertai pengrusakan dan intimidasi, yang menjadi menjadi pertanyaan adalah apakah diperlukan juga izin kegiatan keagamaan dan ibadah apabila penyelenggaranya dari penganut agama mayoritas di wilayah tersebut. Yang menjadi persoalan selanjutnya mengapa umat yang beragama mayoritas selalu mempermasalahkan kegiatan peribadatan umat minoritas bahkan dalam ruang privat mereka.
***
Selanjutnya pada juli 2025 kembali terjadi perusakan rumah doa umat kristen di kota padang. Kejadian pengrusakan ini berlangsung secara tiba-tiba dengan beberapa warga berdatangan membawa kayu, batu, hingga pisau untuk melakukan pengrusakan untuk membubarkan rumah doa tersebut. Beberapa warga yang datang langsung memukul jendela kaca menggunakan kayu, melempar kursi, serta merusak barang-barang yang ada di dalam rumah doa. Padahal rumah doa tersebut didirikan untuk tujuan pendidikan agama terhadap anak-anak Kristen yang menimba ilmu. Sekolah negeri karena mereka tidak mendapatkan pendidikan agama Kristen di lingkungan sekolah mereka, buntut dari pengrusakan ini mengakibatkan 2 anak berusia 11 tahun dan 9 tahun menjadi korban pemukulan. tidak hanya itu kejadian ini serangan rumah doa ini meninggalkan trauma tersendiri bagi umat kristen di kota padang.
Jika kita melihat motif daripada pengrusakan ini hanya karena adanya keramaian di rumah doa tersebut. Hanya karena rumah doa ramai umat kristen terkena aksi brutalisme rumah doa yang seharusnya menjadi ruang aman untuk anak-anak justru berujung meninggalkan trauma. kita sekarang berteriak “NKRI harga mati!” sambil menikam saudara sendiri yang keyakinan. Persatuan? Itu cuma hiasan di pinggir jalan saat upacara 17-an saja. Selebihnya, kita adalah bangsa yang sangat alergi terhadap kata ‘rukun’, kecuali jika itu untuk merukunkan selebriti yang sedang berselisih sosial media.
Terjajah: Babak Baru Penjajahan di Bawah Pejabat dan Oligarki
Babak baru penjahan ini memiliki metode yang halus namun kejam, model baru dalam penjajahan sekarang lebih terstruktur, sistematis, dan tentu lebih menyengsarakan. Penjajahnya bukanlah bangsa asing yang datang untuk menginvasi bumi pertiwi. Melainkan para oligarki dan kapitalis pribumi yang bersekongkol dengan para pemegang kekuasaan di negeri ini. Kita dijajah oleh oligarki yang berkeliaran bebas di Senayan dan gedung-gedung pencakar langit. Mereka menjajah negeri ini dengan kebijakan yang mengalirkan uang rakyat ke kantong-kantong mereka, dengan aturan yang dibuat untuk melindungi kepentingan konglomerat, dan dengan kekuasaan yang disalahgunakan untuk mempertahankan status quo. Kita bekerja keras siang dan malam, tapi hasilnya mengalir deras ke segelintir orang.
Mereka menjajah melalui UU yang dibuat untuk mengeruk sumber daya alam. Seperti UU Cipta Kerja yang mengorbankan kedaulatan rakyat atas tanah dan lingkungan demi investasi. Mereka menjajah melalui sistem ekonomi yang memuluskan oligopoli, mematikan usaha kecil, dan membuat rakyat jelata hanya menjadi konsumen setia dari produk-produk mereka. Ini adalah bukti nyata pengkhianatan daripada pemangku kebijakan terhadap rakyat, realitas yang bisa kita lihat adalah dimana telah terjadi bentuk penjajahan ekonomi dimana para komprador lokal menjadi centeng terhadap tuan tanah baru.
Rakyat Sengsara: Buah Pahit dari Kemerdekaan
Kata-kata rakyat sengsara bukanlah sebagai retorika belaka melainkan hal ini adalah sebuah realitas yang sedang kita jalani. Lihatlah bagaimana rakyat hanya dijadikan alat, rakyat bukan lagi ditempatkan sebagai subjek melainkan tidak lebih daripada objek untuk mengejar pertumbuhan ekonomi semu. 19 juta lapangan pekerjaan? Tidak lebih dari sekedar janji manis belaka, nyatanya lapangan pekerjaan yang kian nihil telah menjadi menu sehari-hari jika pun ada. Pekerjaan tersebut tidak lebih dari sekedar tempat eksploitasi dengan upah dibawah minimum yang harus diterima oleh para pengadu nasib.
Belum lagi kita berbicara soal sistem dan faskes yang kurang memadai, pendidikan yang kian tahun menjadi mahal, infrastruktur dasar yang kurang memadai di daerah 3T. Pembredelan karya seni dan represifitas terhadap seniman, ibu-ibu yang kehilangan nyawa karena mengantri gas, penyerobotan lahan adat, rakyat demo dituduh sebagai antek-antek asing, anah menganggur akan disita negara, rekening menganggur akan di blokir, pajak naik gila-gilaan, pembabatan hutan dalam skala besar, tambang ilegal, efisiensi dana pendidikan, dan masih banyak lagi persoalan-persoalan yang telah ditimbulkan oleh para pemangku kebijakan kurang dari satu terakhir. Dengan segala persoalan yang ada ini bukti bahwa negara telah absen dari tugas utamanya: melayani rakyat. Setiap hari, rakyat dipaksa untuk berjuang sendiri melawan kesengsaraan, sementara para wakilnya di Senayan sibuk berdebat tentang hal-hal yang tidak menyentuh urusan perut rakyat, atau bahkan menaikkan tunjangan mereka sendiri.
Indonesia Bubar: Bukanlah Sebuah Ketidak Niscayaan
Bubar tidak selalu berarti peta dunia akan diubah dan negara ini hilang begitu saja. Bubar bisa saja berarti bubarnya rasa percaya, bubarnya solidaritas, bubarnya harapan, dan yang paling berbahaya, bubarnya nalar kolektif sebagai sebuah bangsa. Bubar adalah proses panjang dimana sebuah bangsa kehilangan roh, identitas, dan tujuannya dan agaknya Indonesia sedang menuju ke arah itu. Negara gagal (failed state) bukanlah sebuah skenario fiksi, melainkan sebuah kemungkinan yang sangat nyata jika kita terus membiarkan kanker ini menggerogoti dari dalam. Jika orang-orang di daerah-daerah mulai menunjukkan kekecewaan yang dalam kepada pemangku kebijakan, konflik horizontal yang terus menerus dibiarkan. Generasi muda kehilangan harapan serta mimpi tentang masa depan negerinya maka bukanlah sebuah keniscayaan suatu negara akan segera tiada.
Penutup: Sebuah Refleksi
Perayaan HUT RI ke-80 harusnya bukan sekadar seremoni dan jargon “Indonesia Maju” yang hampa. Ini harus menjadi momen refleksi dan mawas diri yang paling dalam. Kita harus berani membongkar sistem yang rusak, mengusir para penjajah baru dan oligarki, seraya mengembalikan kedaulatan sepenuhnya kepada rakyat. Jika tidak, maka judul tulisan ini bukan lagi sebuah kritik. Melainkan sebuah batu nisan yang menandai berakhirnya perjalanan sebuah bangsa besar yang bubar karena mengkhianati sendiri rakyat yang diperjuangkannya. Pilihannya kembali lagi kepada rakyat, apakah kita sanggup bangkit untuk membongkar status quo atau terlena hingga ajal bangsa ini benar-benar tiba.
Tentu pernyataan semacam ini bukan berarti saya tidak menghargai jasa para pahlawan di masa lampau. Justru saya sangat menghargai para founding father negara ini sehingga saya membuat tulisan ini. Sebab saya hanya membenci kelakuan dan kebijakan yang dibuat oleh para pemangku kebijakan dengan segala problematika yang terjadi, justru saya menganggap orang-orang seperti merekalah yang tidak menghargai jasa para pahlawan bukan rakyat biasa yang mencoba untuk mengkritik realitas negara hari ini. Bukan kita, tapi mereka.
Editor: M. Rendi Nanda Saputra