MADRASAHDIGITAL.CO – Oleh: Robby Karman, Sekjen DPP IMM
Mendadak Whatsapp saya ramai dengan kawan-kawan yang mengirim link. Tentu saja bukan link 19 detik yang dimaksud, namun link berita dari website khittah. Berita tersebut merupakan liputan dari sebuah kegiatan diskusi daring akhir tahun dengan tema hukum dan HAM. Salah satu pemateri yang mengisi adalah Ayahanda Dr Busyro Muqoddas, ketua PP Muhammadiyah.
Ada satu pernyataan menarik yang kemudian diangkat oleh website Khittah.co menjadi berita, yakni setelah diberi jabatan komisaris IMM kehilangan daya kritisnya. Benarkah begitu?
Sebelum menjawab hal tersebut tentunya kami ingin memberikan terima kasih kepada Ayahanda Busyro Muqaddas yang mempunyai perhatian kepada anandanya ini. Pernyataan ayahanda merupakan tanda bahwa beliau masih memikirkan ananda-anandanya yang sedang berproses di ortom persyarikatan. Tentu saja ciri orang tua yang baik adalah mempunyai rasa peduli kepada anak-anaknya.
Kepedulian itu tidak harus diekspresikan dengan apresiasi, namun bisa berupa kritik bahkan caci maki. Yang jelas tidak ada orang tua yang ingin anaknya celaka, pasti ingin anaknya selamat.
Selanjutnya tentu saja selain dituntut untuk kritis, IMM pun juga dituntut terbuka dengan kritik. Maka kritik yang disampaikan kepada IMM akan menjadi masukan dan saran untuk kemajuan IMM ke depannya.
Ini penting saya utarakan, karena banyak juga dari kita hari ini merasa paling kritis namun tidak menerima saat dikritik. Akhirnya merasa benar sendiri. Hal ini merupakan sifat yang ingin kita cegah di IMM, yakni hanya mengkritik namun tidak menerima kritik. IMM siap mengkritik dan siap juga dikritik.
Kembali ke pertanyaan utama, setelah kita menerima kritikan yang masuk, maka kita juga berhak untuk menjawab kritikan tersebut. Menjawab kritikan tidak sama dengan menolak atau anti kritik.
Jawaban ini ada sebagai bentuk tabayun, dimana tabayun adalah hal yang diperintahkan Allah SWT dalam Al Quran. Tentu saja pada akhirnya penilaian akhir dikembalikan kepada individu masing-masing. Karena sepanjang sejarah umat manusia eksis di bumi, belum ada satupun manusia yang bisa memuaskan semua pihak. Imam Syafii pernah mengatakan ridha naas ghayatun laa tudrak, kalau kamu mencari ridha semua manusia niscaya kamu tidak akan mendapatkannya.
Seingat saya, setelah mendapatkan amanah berupa jabatan komisaris, DPP IMM tidak kemudian bungkam lalu menjadi setan bisu. Dalam polemik omnibus law, Ketua Umum DPP IMM Najih Prastiyo mengeluarkan pernyataan kecaman yang cukup keras kepada pemerintah. Tak hanya kecaman di media, Najih bahkan turut aksi ke lapangan bersama kader-kader IMM.
Kemudian, IMM bersama kawan-kawan OKP Cipayung menantang debat terbuka Menko Perekonomian Airlangga Hartarto terkait omnibus law. Sayangnya Airlangga tidak bisa hadir dan diwakili oleh Kepala BKPM Bahlil Lahadalia. Pada akhirnya memang perjuangan menolak omnibus law tidak berhasil membatalkan pengesahan UU tersebut.
Namun, setidaknya pemerintah kemudian mau untuk menampung aspirasi yang masuk dari masyarakat secara lebih luas lagi. Masyarakat sipil kemudian lebih dilibatkan dalam penyusunan aturan turunan dari omnibus law. Dimana sebelumnya yang menyusun omnibus law hanya legislatif dan eksekutif saja.
Sebelum ramai omnibus law, DPP IMM juga menyampaikan kritik terhadap rencana pelaksanaan Pilkada Serentak. Hal ini sejalan dengan sikap PP Muhammadiyah yang juga menolak pelaksanaan pilkada serentak.
DPP IMM selama setahun ini juga terus mengawal kasus kematian Immawan Randi sampai akhirnya Brigadir AM oknum polisi yang membawa senjata api divonis 4 tahun penjara. Upaya-upaya advokasi Randi dari mulai mendatangi keluarganya, DPR, Komnas HAM, telah dilakukan maksimal.
Lantas kesimpulannya bagaimana? Benarkah IMM tidak kritis karena ketumnya menjabat sebagai komisaris? Saya pikir dengan uraian yang telah saya paparkan, kawan-kawan pembaca bisa menyimpulkannya sendiri.