MADRASAHDIGITAL.CO – Oleh: Khansa Ativa, Alumni Kelas Kepenulisan PUNDI
Pendidikan merupakan proses menuju persiapan kedewasaan melalui pengetahuan dan pembelajaran. Pendidikan disalurkan melalui lembaga-lembaga pendidikan yang memiliki tujuan utama yaitu untuk mengembangkan pengetahuan, sikap dan keterampilan secara stimulan dan seimbang. Pendidikan juga sebagai ranah untuk mengembangkan skill atau potensi yang dimiliki peserta didik. Kemudian, menjadi salah satu tempat terciptanya karakter yang budi pekerti,bernilai dan bermoral. Namun sangat disayangkan, sistem pendidikan di Indonesia sangat lemah dalam pembentukkan karakter dan pengembangan ketrampilan yang ada hanyalah berfokus kepada pengembangan pengetahuan saja.
Peraih Kertas nilai
Persaingan di lembaga pendidikan terutama di sekolah (SMP-SMA) sangat menonjol. Nilai bagus dan menjadi juara adalah suatu kebanggaan dan kemenangan secara mutlak. Dekat dengan sang guru, disukai dan ditunggu kehadirannya merupakan suatu prestasi yang sangat membanggakan Berbagai perlombaan akademisi sering diikuti misalnya olimpiade, cerdas cermat dan lomba debat merupakan hobby dari sang juara Sudah hal sewajarnya, jika segolongan ini menjadi peserta didik pilihan yang sangat diemaskan oleh sang guru. Selain membanggakan nama pribadi dan orang tua mereka juga membawa nama baik pada institutnya.
Muncul sebuah pertanyaan, ketika sang peraihi kertas nilai ini langsung diterjunkan kedalam problematika lingkungan masyrakat, bagaimana reaksi mereka?
Realita yang terjadi yaitu sebagian besar mereka memiliki kelebihan dalam kecerdasan otak tetapi kurang dalam kecerdasaan emosi. Semisalnya anak juara kelas cenderung lebih kuper dan suka menyendiri, atau kemarahan dalam diri sering dirasakan ketika melihat saingannya justru lebih unggul dari pada dirinya.
Sistem Kerja Rodi
Pendidikan Indonesia memiliki mata pelajaran yang beraneka ragam dan mengharuskan peserta didik menguasai mata pelajaran yang sudah disediakan. Menurut Masnur Muslich (2014: Hal 22) bahwasanya seluruh mata pelajaran yang disediakan di rancang sangat sulit sehingga hanya dapat diikuti oleh 10- 15% siswa terpandai dan memiliki IQ diatas 115.
Sistem kerja rodi yang dikatakan yaitu peserta didik yang memiliki IQ yang sudah tertera diatas harus dipaksa untuk menguasai mata pelajaran tersebut. Hal ini membuat peserta didik cenderung menjadi malas ketika dipaksa untuk memahami hal- hal yang tidak sesuai dengan kapasitas mereka. Padahal, tidak ada peningkatan IQ kepada seseorang jika diberikan pengetahuan yang berlebih justru membuat daya tarik mereka terhadap belajar menurun.
Selain mata pelajaran yang harus dikuasai, adanya kewajiban untuk membeli buku-buku dari sekolah. Tebal dari buku-buku sekolah sangat membuat kepala pusing dengan kemungkinan kualitas pada buku tidak sesuai dengan kuantitas kertasnya sehingga membuat peserta didik begitu frustasi. Menurut Rhenald Kasali (2017:260) tidak banyak guru yang menyadari bahwa 80 % isi sebuah buku hanya 20 % inti dari buku teresbut. Akibat ketidaktahuan ini jelas sangat fatal karna anak dijejalkan semua materi yang bersumber pada suatu buku. Mata pelajaran yang sangat rumit dan banyak membuat peserta didik menjadi tidak mengerti manfaat dari pembelajaran yang didapatkannya.
Tidak dapat dipungkiri, Indonesia tidak dapat berkembang pesat karna sudah berpuluh–puluh tahun energi bangsa Indoneisa terbuang sia-sia untuk menciptakan manusia yang ber IPTEK dengan membebankan kurikulum yang sangat berat.
Budak nilai
“Nilai itu memang tidak prioritas tetapi penting” kalimat ini sudah tak asing di telinga. Hal ini dibenarkan, nilai itu sangat penting tetapi yang menjadi suatu permasalahan ketika seseorang memaksakan diri untuk memiliki nilai yang sempurna sampai harus mengorbankan waktu dan kesehatan. Kejadian miris terjadi pada orang tua, seharusnya mereka menjadi sosok pendukung ketika anak belajar tetapi berubah menjadi sosok pemaksa agar anak memiliki nilai perfect. Terlebih ketika menjelang ulangan atau ujian, mereka tidak ragu-ragu mengeluarkan dana sebanyak mungkin untuk memasukkan anaknya pada bimbel atau les-les persiapan menjelang ujian. Orangtua yang berambisi agar anaknya terlihat berprestasi demi menjaga nama baik semata sampai harus memaksa anak untuk selalu belajar.
Orientasi untuk belajar pun menjadi berubah. Hal yang terjadi yaitu peserta didik belajar untuk meraih nilai yang tinggi. Dan hal-hal yang dilakukan untuk mendapatkan nilai tinggi, mendorong peserta didik memiliki karakter yang negative seperti mencontek, menjiplak, memplagiat tulisan orang bahkan pada jenjang perkuliahan kasus pembelian skripsi pun sering terjadi .
Benturnya karakter peserta didik
Penjelasan tersebut, hanya sedikit cuplikan dari sekian banyak permasalahan yang terjadi. Pembullian pun menjadi sebuah permasalahan yang sangat serius. Tak jarang pembulian datang dari pendidik sendiri, seperti membandingkan antara peserta didik yang pintar dan biasa saja serta menganggap remeh peserta didik. Selain itu, mengannggap suatu lembaga pendidikan dengan julukan yang tidak beretika. Contoh, anak SMK cenderung dijulukin anak yang tidak pintar dan nakal. Permasalahan ini membuat emosi pada peserta didik yang belum matang membuncah, merasa tertekan dan ada rasa ketakutan sehingga timbullah karakter karakter negative pada seorang peserta didik.
Pembentukkan karakter dalam pendidikan
Pendidikan berkarakter menjadi sebuah keharusan dan kewajiban untuk di implemantasikan, bukan hanya sekedar wacana atau sebagai pajangan dalam Undang-undang saja. Reformasi pendidikan harus dimulai dari pendidikan berkarakter. Pendidikan berkarakter sangat urgent dimasa saat ini dan akan datang, sehingga tidak adanya rasa tertekan dalam proses pembelajaran. Menurut pendapat Ki Supriyoko(2004:hal 419) menyatakan bahwa pendidikan adalah saran strategis untuk meningkatkan kualitas manusia. Bertujuan untuk melahirkan insan cerdas dan berkarakter kuat.
Untuk memahami pembentukkan karakter, maka perlu mengetahui terkait komponen-komponen karakter yang baik pada manusia. Dari sudut pandang Lickons (1992) karakter menekankan tiga hal yaitu, pengetahuan tentang moral, perasaan tentang moral, dan perbuatan moral. Sesuai dengan struktural yang ada didalam diri manusia yaitu jasad, ruh dan akal.
Berbicara mengenai karakter baik, banyak sosok yang pantas untuk dijadikan sebagai panutan dalam berkarakter. Sosok yang peduli terhadap diri sendiri dan orang lain yaitu nabi Muhammad SAW yang berada pada tingkat paling atas jika membahas mengenai karakter. Pahlawan kemerdekaan dan pendiri bangsa Indonesia merupakan sosok yang bisa dijadikan sebagai panutan. Bagaimana mereka memperjuangkan bangsa Indonesia agar bisa merdeka, dengan berbekal Ilmu, tanggung jawab, dan rasa cinta yang didalam hati terhadap negeri Indonesia.
Sasaran Pendidikan Karakter
Pendidikan berkarakter ini untuk seluruh warga civitas akademika di lembaga pendidikan baik negeri maupun swasta. Bukan hanya lembaga pendidikan, keluarga dan lingkungan rumah pun harus ikut andil dalam memahami pendidikan berkarakter. Mengambil kutipan dari pak Rhenal Kasal bahwa “Manusia hebat bukanlah yang memperoleh pelajaran yang tinggi, melainkan manusia berkarakter kuat, dapat dipercaya, mudah diterima, memiliki growth mindset,berjiwa terbuka dan pandai mengungkapkan isi pikirannya dengan baik”.