MADRASAHDIGITAL.CO – Oleh: Muh Akmal Ahsan, Kader IMM DIY
Saya sudah ada di atas kasur ketika berita kritik pak Busyro kepada IMM di Khittah.co (29/12/2020) sampai ke WA saya. Tentu saja ini mengganggu, setidaknya mengambil waktu 5 menit jam tidur untuk menyelesaikan bacaan ihwal berita tersebut. Selang sehari setelah saya baca berita tersebut, Robby Karman menanggapi pernyataan Pak Busyro sambil menjabarkan kerja-kerja DPP IMM di tahun terakhir.
Inilah dia masa yang paling membingungkan untuk kita semua, waktu dimana frasa “kritis” dan “kritik” digelar secara tidak kritis! Atas hal itu, tentu saja saya mengambil pikiran lebih tentatif pada ujaran Pak Busyro dan argumen Robby Karman. Pak Busyro tidak kritis sebab tidak mengurai benang masalah sedari awal, misalnya tabayyun soal apa sebetulnya alasan dasar Najih Prastiyo masuk dalam jajaran komisaris Angkasa Pura Hotel, baik alasan individual maupun argumen organisatoris. Beliau pula luput menggambarkan kritisisme apa yang sebetulnya tergadaikan pada diri Najih dan IMM.
Sementara Robby Karman menanggapi hanya lewat pembenaran dan pagelaran program kerja DPP, alih-alih mengurai problem sebenarnya, tulisan Robby Karman tampak hanya sebagai reaksi apologis, bukan tanggapan kritis. Pada kapasitasnya sebagai sekjen DPP IMM, Robby Karman seharusnya mampu menjabarkan lebih kritis tentang masalah ini dan bahkan bisa jua menjelaskan sikap DPP secara lebih terang soal desas-desus posisi Najih Prastiyo di posisi komisaris BUMN.
Kritis
Dalam logika filsafat, kritis adalah pencarian tanpa henti, ia adalah sikap terbuka dan toleran terhadap beragam pandangan, bukan syahwat prasangka. Dalam logika kritis, seseorang dituntut untuk memiliki cara pandang analitik dan logis demi mengelola informasi dan berita.
Ia tak sebagaimana lazimnya orang awam, melihat berita dan lalu melahapnya tanpa henti. Kritis ditandai dengan kemauan kita untuk melihat sebuah problem dalam pendektan interdisipliner, multifaktor dan multiaspek. Kritis adalah kemampuan kita untuk duduk sejenak dalam menanggapi isu, bukan reaktif menampar subjek.
Rasional-kritis berbeda dengan rasional-dogmatik. Jika rasional-kritis adalah sikap terbuka dengan pandangan yang multiaspek, rasional dogmatik adalah pembenaran terhadap sebuah argumen melalui pikiran-pikiran rasional yang menipu, serupa kaum Shopis.
Sikap Kritis DPP IMM
Tentu saja saya tidak ingin terjebak pada justifikasi individu kepada Ketua Umum belaka. Bahwa masalah lesunya kritisme DPP adalah masalah sedari awal, masalah kolektivitas di internal DPP. Apa yang diterangkan oleh Robby Karman di Madrasahdigital.co (9/1/2021) adalah kritis yang disempitkan sebagai omongan dan pernyataan sikap, padahal kritis lebih dalam dari itu, lebih komprehensif. Kritis mewajibkan refleksi atas praksis masalah masyarakat dan perjuangan merubah. Dan ini masalah DPP yang sebetulnya.
Baca Juga: Benarkah IMM Tidak Lagi Kritis?
Bila alasan masuk ke dalam struktur hierarki pemerintahan adalah sebagai mitra kritis? Lalu bagaimana dampaknya? Apa yang berubah dari masyarakat? Apa yang berubah dari kebijakan pemerintah? Apa yang dihasilkan sebagai resolusi atas problem?
Maka demikian, masalah lesunya kritisisme DPP bukan saja masalah terpilihnya Najih Prastiyo sebagai komisaris. Tak sekerdil itu. Tak sesederhana pernyataan pak Busyro Buqoddas. Soal ini, saya duga pak Busyro Muqoddas sekadar melemparkan “amarah”, bukan kritik yang kritis.
Agenda IMM
Kader IMM di akar rumput jangan kagetan, jangan ceroboh mengambil sikap keberpihakan. Kritisisme kita harus terjaga dengan sikap skeptis bahwa sebuah peristiwa bisa “salah” namun bisa pula “benar”.
Ihwal agenda kritis ke depan, IMM dituntut untuk melakukan double movement (gerakan ganda) langkah kompromi di satu tepi, tapi strategi konfrontatif di sisi yang lain. Gerakan gerakan berupa demonstrasi harus dirawat seiring kompromi lewat jalur serupa advokasi kebijakan publik. Tentu saja tidak masalah untuk berjuang di level pemerintahan, asal jangan berkhianat pada etika intelektualisme. Terlalu banyak masalah yang tak selesai oleh diskusi di ruang pemerintahan sebagaimana banyak masalah yang tak usai oleh demonstrasi di jalan dan sikap konfrontatif di media sosial.
Konfrontasi intelektual dan kompromi intelektual masih membutuhkan platform yang utuh serta agenda strategis, tentu hal itu didukung oleh kekuatan integritas dan nurani yang bening dari setiap kader. Masuk dalam lalu lintas politik tidak masalah dan bahwa itu adalah agenda yang semestinya terjadi.
Tantangan kompromi intelektual adalah tetap mempertahankan idealisme ditengah lalu lintas kepentingan kekuasaan dan ekonomi. Jangan menggadaikan diri di hadapan Mahkamah Politik, serupa pesan Jullian Benda. Dan pula jangan masuk ke dalam struktur untuk kemudian turut terlibat dalam reproduksi kekuasaan.
Dalam agenda konfrontasi, gerakan jangan berhenti dengan gonggongan, pernyataan sikap apalagi hanya sebaran flyer belaka. ia harus lebih taktis, berkelanjutan dan dibarengi solusi pada setiap masalah. Kritisisme jangan disempitkan lewat mikrofon dan orasi di jalan.
Kritis didukung oleh pandangan yang interdisipliner, melihat masalah dan kasus dari pandangan yang multifaktor juga multiaspek. Ke depan, DPP IMM harus terus memproduksi kritik pada situasi sosial saat ini; masalah politik, hukum, pendidikan, keberagamaan, agraria, problem intoleransi, bahkan pada saat ini khususnya dalam bidang kesehatan, dan seterusnya.
Simpulan
Di tengah kritisisme yang rabun, organisasi pergerakan mahasiswa, termasuk IMM dituntut untuk mengubah platform gerakannya agar lebih terintegrasi dengan problem sosial kebangsaan. Jangan anti-kompromi, pula jangan lepas dari perjuangan konfrontatif. Revolusi sosial membutuhkan keduanya. Jangan mati dilahap kekuasaan, jangan pula terkapar sikap apolitis dan pikiran yang naif.
Di atas semua itu, perjuangan harus bertumpu pada tujuan kemanusiaan. Tak luput, pada perjuangan abadi sebagai abdi kepada Tuhan, Allah Swt. Hal itu didukung oleh integritas pribadi, nurani dan gerakan yang solutif, bukan reaktif. Fastabiqul khairat.