MADRASAHDIGITAL.CO- Oleh: Nadiya Hasna, guru SDN 2 Sidosari, Lampung Selatan
Hari ini, krisis moral semakin nyata kemunculannya di sekitar kita. Fenomena yang muncul misalnya, jika kita melakukan pencarian pada peramban pada gawai, bisa dipastikan ada pemberitaan miring yang terjadi di dalam institusi pendidikan. Baik itu dilakukan oleh pendidik atau peserta didik.
Fakta ini merupakan pil pahit yang harus ditelan, bahwa siap atau tidak kita harus menghadapi masalah ini sebagai tantangan dan pendidikan tentu menjadi unsur penting yang terlibat secara langsung.
Ini mengingatkan pada pendapat Paulo Freire yang mengatakan bahwa tidak ada pendidikan tanpa etika dan hal tersebut sangatlah dekat dengan nilai (values). Maka, solusi yang dapat dilakukan dengan segera adalah dengan menyelenggarakan pendidikan nilai di kelas-kelas pendidikan formal sebagai upaya menghadapi degradasi moral.
Selama ini, pendidikan kita terlalu dilenakan dengan angka-angka sebagai penilaian dalam proses pembelajarannya, sehingga lupa bahwa belajar seharusnya bukan hanya sekadar transfer knowledge untuk pengukuran aspek kognitif namun juga harus menghadirkan transfer value yang menyokong aspek afektif. Kesalahan mendasar ini akhirnya menyebabkan lahirnya lulusan yang tinggi nilai angka tapi rendah etikanya.
***
“Pendidikan adalah tempat bersemainya benih-benih kebudayaan dan peradaban.”
Kutipan dari Ki Hajar Dewantara di atas semakin meningkatkan urgensi penyelenggaraan pendidikan nilai bukan hanya sebagai diskursus namun sebagai sebuah rancangan yang doable. Namun, pendidik seringkali merasa kesulitan ketika menerapkan pendidikan nilai di ruang-ruang pembelajaran karena era disrupsi menyebabkan perputaran informasi-termasuk value and beliefs-terjadi sangat cepat dan menyebabkan para pendidik harus cerdik dan lincah menyesuaikan strategi yang diterapkan untuk memberikan pendidikan nilai.
Kita perlu mengingat kembali konsep yang dibawa oleh Ki Hajar Dewantara saat mendirikan Tamansiswa. Kita sama-sama mengetahui bahwa Ki Hajar Dewantara dengan Tamansiswanya memberikan pengajaran yang meliputi bermacam ragam, ada yang sifatnya konsepsional, petunjuk operasional-praktis, dan fatwa atau nasehat. Tamansiswa juga menjadi salah satu spektrum dalam sejarah nasional karena lembaga tersebut berusaha untuk mengangkat model pendidikan pribumi untuk menghadapi model pendidikan kolonial yang selanjutnya digerakkan secara serentak untuk mencapai kemerdekaan nasional.
***
Trikon sendiri merupakan prinsip yang digunakan untuk melaksanakan strategi kebudayaan yang beliau geluti pada masa tersebut. Penting sekali untuk kembali mengingat dan mempelajari prinsip Trikon memandang situasi yang dihadapi Ki Hajar Dewantara saat mencoba mengganti model pendidikan kolonial menjadi model pendidikan pribumi saat itu sama dengan situasi saat ini yang sedang berupaya melahirkan generasi yang memiliki bekal cukup untuk bertarung melawan krisis moral. Adapun komponen Trikon yaitu: kontinyu, konvergen, dan konsentris.
Kontinyu, artinya berkesinambungan dengan masa lalu. Dalam praktik pendidikan nilai, stimuli yang diberikan harus dilakukan secara berulang dan terus menerus sehingga terjadi internalisasi nilai yang melekat kuat dalam diri peserta didik. Pembahasan ini juga sangat dekat dengan kultur kedaerahan atau karakter antropologis suatu daerah yang penting sekali untuk dipelajari oleh pendidik. Dalam konteks pengajaran, konten atau materi yang dibawakan harus didukung dengan metode belajar yang kontekstual dan menyesuaikan budaya lokal. Pembiasaan dan keteladanan yang konsisten menjadi kunci utama prinsip kontinyu.
***
Konvergen, secara bahasa artinya bersifat menuju satu titik pusat. Secara istilah, maknanya bertemu secara terbuka dengan perkembangan alam dan zaman (Wiryopranoto dkk, 2017). Saat melakukan implementasi pendidikan nilai, meski pun konten yang diberikan mengangkat nilai atau budaya lokal, namun harus diiringi dengan rasa kebersamaan dengan bangsa dan negara lain untuk mengusahakan satu karakter budaya dunia tanpa melunturkan nilai yang dimiliki. Nilai kemanusiaan bisa menjadi satu karakter yang diusahakan untuk menjadi budaya dunia. Meski begitu batas-batas norma dan etika yang menjadi kekhasan budaya Indonesia tetap harus menjadi landasan dan sumber nilai yang dijadikan pegangan.
Konsentris, yaitu menyatu dengan nilai-nilai kemanusiaan dan dunia. Menurut Kamus besar Bahasa Indonesia, konsentris berarti mempunyai pusat yang sama. Perlu dicatat bahwa kata “menyatu” dan istilah “pusat yang sama” maknanya bukan melebur kemudian menghilangkan karakter kebangsaan yang dimiliki, namun mengolah nilai yang muncul dalam dunia global dengan nilai kebangsaan sebagai pusatnya. Untuk itu, implementasi pendidikan nilai di ruang belajar tetap harus mempertahankan karakteristik yang sesuai dengan nilai kebangsaan. Pada prinsipnya, kita perlu bersikap terbuka terhadap budaya dari luar dengan tetap memperhatikan budaya sekitar.
***
Ada pun strategi yang bisa digunakan untuk pendidikan nilai dibagi menjadi dua. Internalisasi dan pengembangan. Strategi internalisasi adalah memasukkan nilai dari luar ke dalam diri siswa, sedangkan pengembangan merupakan perluasan dari nilai yang sudah ada dalam diri siswa. Konsep pengembangan ini menggunakan sudut pandang konstruktivisme dimana siswa menjadi subjek aktif yang diizinkan untuk mengembangkan nilai dalam dirinya.
Beberapa model pengembangan yaitu penyajian dilema moral, diskusi terbuka dan reflektif, klarifikasi nilai, dan bermain peran. Yang lebih penting, kesepemahaman nilai-nilai antara sekolah, guru dan orang tua menjadi kunci membentuk nilai yang akan dijunjung dari generasi ke generasi. Penting sekali untuk mengajarkan nilai-nilai tentang universality seperti kesatuan atau kebersamaan, tapi yang lebih penting lagi adalah tim pengajar harus memiliki sudut pandang yang sama serta punya keseragaman visi mengenai nilai apa yang hendak dicapai.