MADRASAHDIGITAL.CO-Oleh : Ramadhan Zainul Arifin, Anggota Bidang Hikmah PK IMM FAI UMY
Kaum proletar, atau kelas pekerja, telah lama menjadi subjek diskusi dalam teori sosial dan politik. Karakteristik revolusioner mereka, yang muncul dari kondisi material dan posisi mereka dalam struktur sosial kapitalis, telah membentuk perjalanan sejarah dan perjuangan kelas. Essay ini akan mengeksplorasi sifat revolusioner kaum proletar, asal-usulnya, manifestasinya, dan dampaknya terhadap perubahan sosial.
Akar Revolusioner Kaum Proletar
Watak revolusioner kaum proletar berakar pada kondisi material mereka dalam sistem kapitalis. Karl Marx dan Friedrich Engels, dalam “Manifesto Komunis”, menggambarkan proletar sebagai “kelas pekerja modern” yang “hidup hanya selama mereka menemukan pekerjaan, dan yang menemukan pekerjaan hanya selama kerja mereka meningkatkan modal-modal (Marx & Engels, 1848/2010, hal. 35). Kondisi eksploitatif ini menciptakan kesadaran kelas dan keinginan untuk perubahan radikal.
Antonio Gramsci, seorang filsuf Marxis Italia, memperluas pemahaman ini dengan konsep “hegemoni”. Ia berpendapat bahwa kaum proletar harus mengembangkan kesadaran revolusioner mereka melalui perjuangan budaya dan intelektual melawan hegemoni borjuis. Gramsci menulis, “Menciptakan sekelompok intelektual yang independen bukanlah tugas yang mudah; itu membutuhkan proses yang panjang, dengan tindakan dan reaksi, dengan kemajuan dan kemunduran” (Gramsci, 1971, hal. 10).
Manifestasi Watak Revolusioner
Watak revolusioner kaum proletar sering kali terwujud dalam berbagai bentuk perlawanan dan organisasi. Serikat pekerja, sebagai contoh, menjadi sarana utama bagi kaum proletar untuk menyuarakan tuntutan mereka dan menantang kekuasaan kapitalis. Seperti yang dikatakan oleh sejarawan E.P. Thompson, “Kelas terjadi ketika beberapa orang, sebagai hasil dari pengalaman umum (yang diwariskan atau dibagikan), merasakan dan mengartikulasikan identitas kepentingan mereka di antara diri mereka sendiri, dan melawan orang lain yang kepentingannya berbeda dari (dan biasanya bertentangan dengan) mereka” (Thompson, 1963, hal. 9).
Pemogokan dan demonstrasi massa juga menjadi manifestasi kuat dari watak revolusioner ini. Rosa Luxemburg, teoretikus Marxis Polandia-Jerman, menekankan pentingnya aksi massa spontan dalam perjuangan revolusioner. Ia menulis, “Pemogokan massa… adalah metode gerakan proletariat dalam periode revolusi” (Luxemburg, 1906/2008, hal. 168).
Kesadaran Revolusioner dan Pendidikan
Pengembangan kesadaran revolusioner di kalangan proletar sering kali melibatkan proses pendidikan dan pemberdayaan. Paulo Freire, pendidik dan filsuf Brasil, mengembangkan konsep “pendidikan pembebasan” yang bertujuan untuk membangkitkan kesadaran kritis di kalangan kaum tertindas. Freire berpendapat, “Pendidikan yang benar-benar membebaskan dapat maju hanya ketika ia terdiri dari tindakan mengetahui, bukan transfer informasi” (Freire, 1970/2005, hal. 79).
Dalam konteks ini, organisasi-organisasi pekerja dan partai-partai politik kiri sering berperan sebagai “sekolah revolusi”, memfasilitasi pengembangan kesadaran kelas dan strategi perlawanan. Vladimir Lenin, pemimpin Revolusi Rusia, menekankan pentingnya partai revolusioner dalam membimbing perjuangan proletariat. Ia menulis, “Tanpa teori revolusioner tidak akan ada gerakan revolusioner” (Lenin, 1902/1961, hal. 369).
Tantangan dan Adaptasi
Meskipun demikian, watak revolusioner kaum proletar terus menghadapi tantangan dan memerlukan adaptasi seiring berjalannya waktu. Perubahan dalam struktur ekonomi, globalisasi, dan kemajuan teknologi telah mengubah komposisi dan kondisi kelas pekerja. Sosiolog Manuel Castells berpendapat bahwa dalam “masyarakat jaringan” kontemporer, identitas kelas tradisional telah terfragmentasi, membutuhkan pendekatan baru terhadap organisasi dan perjuangan. Ia menulis, “Identitas proyek baru muncul tidak dari identitas masyarakat sipil di era industri, tetapi dari perkembangan identitas perlawanan” (Castells, 1997, hal. 11).
Dalam konteks ini, gerakan sosial baru dan aliansi lintas sektoral telah muncul sebagai bentuk perjuangan kontemporer. Filosof Perancis Alain Badiou menyoroti pentingnya “peristiwa” dalam membangkitkan potensi revolusioner, menulis, “Sebuah peristiwa adalah sesuatu yang membawa ke permukaan suatu kemungkinan yang tersembunyi” (Badiou, 2001, hal. 114).
Relevansi Kontemporer
Meskipun ada yang berpendapat bahwa watak revolusioner kaum proletar telah memudar di era pasca-industri, banyak sarjana dan aktivis berpendapat bahwa ia tetap relevan dan penting. David Harvey, geografis Marxis, berpendapat bahwa kontradiksi kapitalisme terus menciptakan kondisi untuk perlawanan revolusioner. Ia menulis, “Kapitalisme tidak pernah memecahkan krisisnya; ia hanya memindahkannya secara geografis” (Harvey, 2010, hal. 117).
Selain itu, munculnya gerakan seperti Occupy Wall Street dan perjuangan global melawan ketidaksetaraan menunjukkan bahwa semangat perlawanan terhadap eksploitasi kapitalis tetap hidup. Naomi Klein, dalam bukunya “This Changes Everything”, berpendapat bahwa krisis iklim telah menciptakan momentum baru untuk perubahan sistemik, menulis, “Perubahan iklim… bisa menjadi katalis, memaksa kita untuk mengubah cara kita mengatur masyarakat, mengatur ekonomi kita, dan menjalankan kehidupan kita” (Klein, 2014, hal. 7).
Kesimpulan
Watak revolusioner kaum proletar, yang berakar pada kondisi material mereka dan kesadaran kelas, tetap menjadi kekuatan penting dalam perjuangan untuk keadilan sosial dan ekonomi. Meskipun bentuk dan manifestasinya telah berevolusi seiring waktu, esensi dari semangat perlawanan terhadap eksploitasi dan ketidakadilan tetap bertahan.
Tantangan kontemporer, dari globalisasi hingga krisis iklim, menawarkan peluang baru untuk memobilisasi dan mengorganisir. Seperti yang dikatakan oleh aktivis dan sarjana Angela Davis, “Kita harus berbicara tentang membebaskan pikiran dan roh. Itu adalah revolusi” (Davis, 2016, hal. 23).
Dalam menghadapi ketidakadilan dan ketimpangan yang terus berlanjut, watak revolusioner kaum proletar tetap menjadi sumber potensial perubahan radikal. Kemampuannya untuk beradaptasi dengan kondisi yang berubah sambil mempertahankan visi tentang dunia yang lebih adil menunjukkan ketahanan dan relevansi berkelanjutannya dalam perjuangan global untuk emansipasi manusia.
Daftar Pustaka :
Badiou, A. (2001). Ethics: An Essay on the Understanding of Evil. London: Verso.
Castells, M. (1997). The Power of Identity. Oxford: Blackwell.
Davis, A. Y. (2016). Freedom Is a Constant Struggle: Ferguson, Palestine, and the Foundations of a Movement. Chicago: Haymarket Books.
Freire, P. (1970/2005). Pedagogy of the Oppressed. New York: Continuum.
Gramsci, A. (1971). Selections from the Prison Notebooks. New York: International Publishers.
Harvey, D. (2010). The Enigma of Capital: And the Crises of Capitalism. Oxford: Oxford University Press.
Klein, N. (2014). This Changes Everything: Capitalism vs. The Climate. New York: Simon & Schuster.
Lenin, V. I. (1902/1961). What Is To Be Done? In Collected Works, Vol. 5. Moscow: Foreign Languages Publishing House.
Luxemburg, R. (1906/2008). The Mass Strike. Chicago: Haymarket Books.
Marx, K., & Engels, F. (1848/2010). The Communist Manifesto. London: Penguin.
Thompson, E. P. (1963). The Making of the English Working Class. New York: Vintage Books.