MADRASAHDIGITAL.CO, Oleh Immawan Rahmad Tri Hadi
Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
IMM sebagai sebuah gerakan mahasiswa Islam dalam lingkup ortom Muhammadiyah, memiliki perbedaan mendasar dari berbagai gerakan mahasiswa lainnya. Hal ini terlihat dari konsistensi dan semua hal yang dilakukan IMM sejak mulai berdirinya hingga pada saat memasuki usianya yang sudah setengah abad−tepatnya di usia yang ke 57 tahun ini−yang tetap berlandaskan dan berpegang teguh kepada paham serta ajaran Muhammadiyah.
Meski harus tetap menyesuaikan dengan suasana, kondisi, dan kultur kearifan intelektual campus society yang menjadi asas gerakan tanpa harus kehilangan identitas aslinya sebagai bagian urgensi dari Muhammadiyah. Sebab, dalam dunia akademisi atau kampus yang identik dengan dunia intelektual yang tidak menutup kemungkinan menimbulkan gesekan ataupun benturan beragam ideologi, corak gerakan dan perspektif keilmuan yang berbeda.
Dari perbedaan karakteristik tersebut, bisa jadi akan membawa kepada pemahaman dan gerakan pada berbagai bidang disiplin ilmu. Konsekuensinya, diferensiasi dari beragam pendekatan tersebut dalam menafsirkan nilai (aksiologi) yang terkandung di dalam tubuh ikatan tentu menjadi hal yang tak bisa dipungkiri dan dihindari. Termasuk hadirnya ilmu-ilmu, seperti ilmu sosial, politik, ekonomi, humaniora, dan lain sebagainya.
Yang mana pada dasar keilmuan saat ini di dominasi oleh Barat yang cenderung bernuansa sekuler dan liberal, sekalipun dikritik sebagian kalangan dasar epistemologinya. Kendati demikian, penggunaan ilmu tersebut tetap diperbolehkan dengan ketentuan sepanjang digunakan sebagai metode berpikir (bukan paham atau aliran berpikir) dan sebagai perangkat analisa serta tidak bertentangan dengan ajaran Muhammadiyah.
Hal ini mengindikasikan bahwa, gerakan dan basis dakwah IMM bersumber dari al-Qur’an dan al-Hadis dengan mengaplikasikan pikiran dan al-hikmah. Oleh sebab itu, dengan adanya imunitas ideologi IMM menjadi amat penting, supaya tidak mudah goyah dan terombang ambing dari berbagai benturan ideologi tersebut. Ideologi IMM mesti berpegang teguh kepada ideologi dan gerakan Muhammadiyah.
Karena, pada hakikatnya IMM sebagai bagian dari ortom, tentu saja berorientasi mendukung perjuangan Muhammadiyah. Sebagaimana ditegaskan dalam enam penegasan IMM, yang menyatakan bahwa IMM sebagai organisasi mahasiswa Islam yang secara otentik (Furqan Jurdi, 2018: 65); Islam yang berkemajuan dan mencerahkan, sehingga landasan, kepribadian dan fungsinya berasal dari Muhammadiyah.
Enam penegasan tersebut selamanya akan menjadi identitas autentik yang melekat erat dalam diri IMM, kendati ke depannya tetap dibutuhkan upaya penafsiran ulang lebih mendalam atau lebih afirmatif terkait hakikat, posisi dan peranan IMM dalam Muhammadiyah. Dengan begitu, secara organisatoris memperjelas dan mempertegas bahwa IMM merupakan ortom Muhammadiyah. Sebagai ortom tentunya harus sesuai; baik itu dari segi akidah, landasan, gerakan dan tidak menyimpang dari Muhammadiyah.
Kompleksitas problematika IMM saat ini dan masa yang akan datang senantiasa akan berbeda dengan kondisi awal IMM didirikan; di samping itu juga paham yang begitu kompleks yang berkembang di masyarakat. Maka, dengan adanya bentuk ijtihad gerakan IMM menjadi sangat penting untuk membaca arah perkembangan zaman dan mampu berkontribusi solutif terhadap problematika yang dihadapi.
Karena itulah, kader IMM seringkali disebut sebagai cendekiawan berpribadi dalam salah satu lirik lagu Mars IMM, yang notabenenya yaitu “Agent of Change to Agent of Englightenment” (Nia Ariyani, 2020: 33-34), atau dikenal dengan istilah “Out of The Box”. Dengan begitu, tentu dibutuhkan suatu analisa dan keilmuan yang mendalam yang sesuai dengan kultur dan pemikiran Muhammadiyah. Supaya IMM tidak terjebak dalam pikiran yang jumud dan stagnan.
Maka, alternatif yang bisa diupayakan oleh IMM sebagai bagian dari kultur intelektual kampus, yakni “pengilmuan IMM dan agenda transformasi” yang di antaranya sebagai berikut. Pertama, integralisasi epistemologi: Gerakan IMM mesti dibangun di bawah pijakan al-Qur’an dan al-Hadis. Kedua, integralisasi nilai dan prinsip IMM: Gerakan penyatu paduan pemikiran secara metodologis yang dapat menyatu paduan Trilogi, Trikoda, dan Slogan IMM.
Ketiga, integralisasi iman, ilmu dan amal: Gerakan IMM mesti terus melahirkan kader-kader yang tidak saja memahami pengetahuan agama dan tumpul secara keilmuan, begitupun sebaliknya (Akmal Ahsan, 2020: 133). Hal tersebut dapat dimulai dengan menanamkan kesadaran berpikir kritis (kritisisme) masing-masing kader dalam tiap tingkat pimpinan.
Sebagaimana arah wacana dan gerakan keislaman IMM adalah tauhid sosial, yang pengaruhnya dapat mengkritisi terhadap hegemoni dan kebijakan negara serta tetap menjaga profesionalitas tiap masing-masing kader. Sehingga antara kompetensi dan profesi kader paralel dengan nilai, identitas, dan gerakan IMM serta menjadi fondasi bahwa kader IMM yang tidak sekedar mengedepankan aspek egoistik jati dirinya sendiri sebagai akademisi.
Namun, juga harus mendahulukan aspek tri kompetensi dasar (trikoda) IMM, yaitu religiusitas, intelektualitas dan humanitas sebagai manifesto keberpihakan yang bersifat aplikatif. Pembasisan secara menyeluruh mengenai kesadaran kritis kader dapat dimulai sejak awal proses sebuah perkaderan. Selanjutnya, dikembangkan pada fase berikutnya dengan bentuk spesialisasi atau proporsionalisasi kader sesuai dengan kemampuan dan potensi yang dimiliki.
Di samping tetap mengarahkan kader dalam menafsirkan, memahami dan menggerakkan identitas enam penegasan sebagai the origin of identity kader IMM. Enam penegasan inilah yang menjadi tonggak IMM, baik secara filosofis dan manuveristik sejak diproklamirkan kelahirannya. Karena dari enam penegasan inilah terwujud intisari konsepsi “Trilogi IMM”, yakni keagamaan, kemahasiswaan, dan kemasyarakatan (M. Abdul Halim, 2011: 27).
Yang mana terintegralkan satu sama lain tanpa dihegemonikan satu sama lainnya. Dengan begitu, keberadaan trilogi ini menjadi fundamental keberadaannya seperti halnya enam penegasan, karena trilogi merupakan intisari dari enam penegasan. Tidak hanya secara pemahaman organisatoris, melainkan juga secara konseptualis gerakan dan identitas diri kader yang mampu tertanam dan mengakar kuat, sehingga menjadi kultur yang senantiasa tumbuh secara filosofis, simbolis, dan khas.
Sistem “nilai luhur” trilogi ini seakan selalu menjadi elemen penting dalam organisasi, tiap level pimpinan dan diri seorang kader IMM. Dengan adanya trilogi ini mampu menjadi “indikasi utama” bahwa IMM merupakan organisasi yang terbuka terhadap berbagai unsur yang ingin memperjuangkan agama Islam. Kendatipun, pemahaman ihwal trilogi terkadang masih dipandang sebagai bentuk identitas diri dan nilai luhur yang cenderung dipahami dalam bentuk yang normatif-simbolik.
Terkadang juga mengenyampingkan aspek filosofis dalam gerakannya. Misalnya, dalam menerjemahkan nilai religiusitas hanya dilakukan dengan pola simbolik (kover) semata, justru bukan dengan kesadaran kritis dan kognitif terkait dimensi keimanan dan keberagamaan. Begitupun dalam menerjemahkan nilai intelektualitas dengan sebatas media diskusi dan kajian-kajian keilmuan lainnya, justru bukan diwujudkan melalui pembentukan dasar cara atau approach of critical thinking dan ilmiah.
Kemudian juga dalam menerjemahkan nilai humanitas dengan beragam kegiatan sosial atau kegiatan charity (amaliah) semata yang bersifat jangka pendek, justru bukan dengan jalan jangka panjang yang terwujud dalam bentuk pemberdayaan atau advokasi (Makhrus Ahmadi, 2014: 173). Dari hasil interpretasi nilai-nilai trilogi inilah, kita mengenal istilah slogan IMM: “Anggun dalam moral, unggul dalam intelektual”.
Tidak hanya memperjuangkan nilai-nilai moral dalam berbagai aspek secara kolektif, namun juga membentuk kader-kadernya menjadi seorang intelektual ulung yang mampu menciptakan sebuah perubahan yang berarti (Ridlo Abdillah, 2017: 29). Seperti yang diungkapkan oleh filsuf Antonio Gramsci, bahwa seorang intelektual yang sesungguhnya adalah memihak kepada transformasi sosial, dialah sang intelektual organik (Mansour Fakih, 2011: 136-137).
Maka, dari sinilah kita memahami hakikat dan tujuan IMM didirikan, yaitu: “Mengusahakan terbentuknya akademisi Islam yang berakhlak mulia dalam rangka mencapai tujuan Muhammadiyah”. Pada akhirnya, dari sinilah lahirnya bibit-bibit pragmatisme gerakan secara beransur-ansur yang masuk ke dalam kultur gerakan IMM. Agenda jangka panjang gerakan dalam membangun kesadaran kritis belum mampu ditangkap sepenuhnya secara filosofis.
Kendatipun, bentuk program teknis tersebut cukup bisa mewakili dari nilai-nilai trilogi, dalam artian bukan hal yang salah. Hanya saja, bentuk agenda yang sekedar bersifat pragmatis tersebut kurang maksimal dalam memberikan perspektif yang universal dan radikal serta kurang berdampak pada jangka panjang. Sebab, jika hal ini dibiarkan terus menerus dan menjadi habit, tentu konsekuensinya berdampak pada kekakuan gerakan dalam membaca arus zaman yang semakin kompleks dan dinamis.
Sekalipun aspek filosofis ini berkaitan erat dengan hal normatif-kritis yang menyebabkan kader lebih banyak berpikir dan bertindak, namun berdampak pada kepentingan yang bersifat jangka panjang, bukan sekedar rutinitas agenda dan ragam atribut simbolik semata. Maka, dari sinilah adanya ijtihad dan interpretasi yang mendalam terhadap trilogi menjadi urgen, dikarenakan adanya situasi, kondisi, waktu, dan problem yang dihadapi cenderung tidak sama, baik dalam konteks zaman maupun sosiologis.
Bentuk ijtihad dan interpretasi ini juga harus dipahami secara kolektif, sehingga tidak sampai memicu konflik pemahaman dan gerakan dikemudian hari dan lebih terarah serta tidak kebimbangan dalam menghadapi perkembangan zaman. Dalam mewujudkan hal ini tidak mesti diselesaikan dengan hanya pendekatan komvensional saja yang cenderung kurang efektif dan mengedepankan metode konfrontatif dengan dinamika zaman.
Melainkan, melalui pendekatan futuristik yang diimbangi dengan filosofis-kritis dalam mengejawantahkan trilogi IMM. Dalam masalah ini, secara seksama kita dapat mengidentifikasinya melalui tiga hal. Pertama, kader IMM masih terjebak dalam ruang pemikiran dan pola gerakan lama. Kedua, kekakuan membaca perkembangan dialektika gerakan dengan dinamika zaman. Ketiga, adanya disparitas pemikiran antar kader (MIM Indigenous School, 2013: 21).
Oleh karena itu, dibutuhkan sebuah pemahaman yang lebih fundamental terkait konsepsi trilogi. Sehingga, tidak hanya sekedar menjadi nilai luhur, melainkan bertransformasi menjadi sebuah metodologi gerakan. Baik sebagai konsep identitas, gerakan, maupun metodologi perkaderan.
Daftar Bacaan:
Abdillah, Ridlo. 2017. Gagasan Catatan Aktivis Jas Merah. Bandung: Kolom Raya dan DPD IMM Jawa Barat.
Ahsan, Muh. Akmal. 2020. Meretas Batas Pemikiran; Sebuah Upaya Pengilmuan IMM. Yogyakarta: Litera Bekerjasama dengan PC IMM AR. Fakhruddin Kota Yogyakarta dan MIM Indigenous School.
Ariyani, Nia. 2020. Menjadi Cendekiawan Berpribadi; Dari Agent of Change sampai Agent of Enlightenment. Perbon Tuban: Caraka Publishing.
Fakih, Mansour. 2011. Jalan Lain, Manifesto Intelektual Organik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Jurdi, Furqan. 2018. Ideologi Gerakan Elit IMM; Pelopor Masa Depan dengan Ide dan Gerakan. Bandung: CV Rasi Terbit.
Makhrus, Ahmadi dan Aminuddin Anwar. 2014. Genealogi Kaum Merah; Pemikiran dan Gerakan. Yogyakarta: Rangkang Education Bekerjasama dengan MIM Indigenous School.
MIM Indigenous School. 2013. Tak Sekedar Merah; Memoar dan Testimoni Kader IMM. Yogyakarta: MIM Indigenous.
Sani, M. Abdul Halim. 2017. Manifesto Gerakan Intelektual Profetik; Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah. Surakarta: Muhammadiyah University Press.