Pakar bidang qira’at dan ilmu-ilmu Alquran, Dr KH Ahsin Sakho Muhammad menjelaskan perbedaan antara Alquran dengan tafsir Alquran. Menurut ulama yang lahir di Arjawinangun, Cirebon, Jawa Barat ini Alquran merupakan Kalamullah yang terjaga kemurnian dan kesuciannya, baik dari segi bacaan maupun tulisannya.
‘’semuanya pernyataanya bersifat mutlak dan final, dengan tafsir Alquran yang merupakan usaha manusia untuk memahami Kalamullah tersebut,’’ ujar kiai Ahsin Sakho Muhammad dalam bukunya membumikan Ulumul Quran: Tanya Jawab Memudahkan tentang Ilmu Qiraat, Ilmu Rasm Usmani, Ilmu Tafsir, dan Relevansinya dengan Muslim Indonesia.
Kiai Ahsin Sakho menuturkan, jika pekerjaan tafsir merupakan usaha manusia, maka secara teoritis ia mempunyai unsur subjektifitas. ‘’Bias kepribadian seorang mufasir akan terpancar melalui penuturannya. Tidaklah mengherankan bahwa tafsir adalah cermin dari penafsirannya sendiri,’’ jelasnya.
Penafsir Alquran apabila cenderung kepada satu disiplin ilmu tertentu, maka tafsirannya mempunyai corak tertentu. Dalam ilmu tafsir memiliki sejumlah aliran di antaranya tafsir shufi, mu’tazili, syi’i, Nahwi, Lughawi, Fiqhi, Falsafi, Balaghi, Hida’i, Adabi, Ijtima’I, dan Haraki.
Kiai Ahsin Sakho menyebut bahwa keadaan ini merupakan suatu keniscayaan sejarah dan ilmiah yang tidak bisa dipungkiri. Namun, beragam corak tersebut juga menunjukkan adanya dinamika masyarakat pada saat tafsir-tafsir itu ditulis.
Hal ini juga menjadi salah satu bukti betapa Alquran mendapatkan apresiasi yang sangat hangat dari semua praktisi keilmuan. Para praktisi ini merasa apa yang mereka yakini ada pijakannya dalam Alquran. Oleh karena itu, para praktisi keilmuan ini berlomba-lomba untuk memberikan jawaban terhadap dinamika kehidupan yang tengah melanda mereka.
‘’Tidaklah mengherankan ucapan seorang pakar bahwa Alquran itu akan ditafsirkan sendiri oleh zaman. Artinya, metode penafsiran terhadap Alquran, ulasan, komentar, dan uraian penafsiran sangat mungkin berbeda tergantung situasi dan kondisi setiap zaman,’’ ungkapnya.
Dalam lintasan sejarah, tafsir Alquran juga mengalami pasang surut yang dimulai dari masa pertumbuhan, yakni pada abad ke-4, zaman ath-Thabari sampai abad ke-8 Hijriah, lalu masa stagnasi pada abad ke-10, 11, 12, 13 Hijriyah, dan kemudiaan masa pencerah pada abad ke-19 dan 20 Masehi.
Dalam waktu tersebut, penafsiran terhadap Alquran telah mengalami perubahan, baik dari segi kontennya maupun dari segi metode penaungannya. Dari segi konten, tafsir Alquran mempunyai beragam corak dan warna, sesuai dengan dinamika yang berkembang di masyarakat.
Sebab Lahirnya Corak Tafsir
Rektor Institut Ilmu Alquran (IIQ) Jakarta 2005-2014 ini menjelaskan, perseteruan umat Islam kala itu dalam kancah politik telah melahirkan aliran Syiah dan Khawarij yang akhirnya berimbas kepada tafsir Alquran.
Perbedaan pemahaman umat Islam tentang akidah, dalam hal ini ketuhanan, melahirkan paham Muktazilah dan akhirnya berimbas pada munculnya tafsir Muktazilah. Perkumpulan umat Islam dalam hal kajian hukum, akhirnya melahirkan banyak mazhab fiqh dan berimbas pada munculnya kitab-kitab tafsir mazhabi.
Kegiatan kajian kebahasaan melahirkan tafsir-tafsir bercorak lughawi, nahwi, dan balaghi. Sementara itu, perkembangan keilmuan, sains, dan teknologi ini telah menyebabkan banyak saintis dan teknolog mencoba berkiprah dalam tafsir, sehingga muncullah tafsir ilmi. Corak penafsiran Alquran juga akan terus muncul seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan peradaban.
(Sadam Al-Ghifari)