Madrasah Digital
  • Berita
    • Rilis
    • Komunitas
    • Surat Pembaca
  • Gaya Hidup
    • Tips
    • Hobi
    • Life Hack
  • Wawasan
    • Analisis
    • Wacana
    • Tadarus Tokoh
    • Resensi
    • Bahasa
  • Sastra
    • Cerpen
    • Puisi
    • Esai Sastra
  • Ruang Madrasah
    • Materi Pelajaran
    • Online Learning
    • Ruang Konsultasi
Friday, February 26, 2021
Register
No Result
View All Result
  • Berita
    • Rilis
    • Komunitas
    • Surat Pembaca
  • Gaya Hidup
    • Tips
    • Hobi
    • Life Hack
  • Wawasan
    • Analisis
    • Wacana
    • Tadarus Tokoh
    • Resensi
    • Bahasa
  • Sastra
    • Cerpen
    • Puisi
    • Esai Sastra
  • Ruang Madrasah
    • Materi Pelajaran
    • Online Learning
    • Ruang Konsultasi
No Result
View All Result
Madrasah Digital
No Result
View All Result
Home Wawasan

Rethinking Konsep Pedagogi

admin by admin
February 19, 2021
in Umum, Wawasan
5 min read
0
Ilustrasi by AS

Ilustrasi by AS

9
SHARES
31
VIEWS
Share on FacebookShare on Twitter

MADRASAHDIGITAL.CO, Oleh: Diki Hermawan, Ketua Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah Rusia

Apa itu pedagogi? Sebuah kata yang apabila diperdengarkan pada orang awan akan disangka sebagai bagian dari psikologi atau bahkan biologi. Biasanya orang yang menyebutnya itu akan memperjelas dengan sederhana, “itu loh, ilmu pendidikan” atau “orang kalau dulu menyebutnya IKIP”. Sedikit yang memperjelas bahwa pedagogi itu serangkaian aktivitas yang disiapkan, didesain sedemikian rupa oleh guru untuk melaksanakan proses pembelajarannya, mulai dari persiapan bahan ajar, penyampaian materi ajar, hingga evaluasi hasil belajar. 

Baca Juga

Logo IMM. Sumber Gambar: http://immfkip.ums.ac.id/2018/08/arti-makna-lambanglogo-imm-ikatan.html

IMM dan Transformasi Kader

February 26, 2021

Hakikat Tugas Kekhalifahan Manusia

February 25, 2021
Dayat Wijanarko

Kebebasan Mengkritik dan Wajah Demokrasi Kita

February 21, 2021

Tapi tunggu, apakah pedagogi sesederhana itu? Jika memang benar, betapa sempitnya kehidupan guru dan dunia pendidikan. Pedagogi digiring pada ruang berpikir yang sempit untuk sekadar mendesain ilmu apa yang dipelajari dan bagaimana cara siswa mempelajarainya, kemudian sesudahnya mengukur bagaimana “tingkat penguasaan” materi dan kesiapan siswa untuk dapat mengeluarkan lagi materi-materi itu di atas lembar-lembar jawaban saat evaluasi yang akuntabel, metodis, dan saintifik dilakukan.

Sayangnya kebanyakan para pendidik (silahkan berkaca apakah kita termasuk di dalamnya) terjebak pada pemahaman yang sempit ini. Sehingga mereka lupa bahwa seharusnya kata refleksi selalu menyusul beriringan dengan kata evaluasi. Guru dengan otoritasnya membawa lembaran-lembaran turunan dari borang evaluasi, mengukur tingkat ilmu yang sudah masuk ke kepala siswa.

Lupa bahwa setelahnya mereka harus mengambil cermin dan melakukan refleksi atas proses pedagogik yang telah mereka terapkan di kelas. Guru harus bisa ngaca, mengevaluasi dirinya sendiri soal hubungan kausalitas antara hasil belajar siswa dengan proses belajar yang dia siapkan dan lakukan sendiri. Persoalannya, apakah guru benar-benar menyiapkan dan melakukannya sendiri dengan serius dan sepenuh hati?

Guru seharusnya tidak lupa tentang bagaimana seharusnya seorang pendidik bekerja. Itupun kalau kita tidak lupa hakikat eksistensinya sebagai seorang pendidik yang bertanggungjawab pada masa depan peradaban, bukan sebagai buruh di industri jasa pendidikan. Persoalannya, pendidikan kita diarahkan oleh kekuasaan yang tak terlihat menjadi sebuah industri jasa pendidikan.

Kehidupan publik dan semua isunya tidak lagi terhubung dengan apa yang dituliskan guru di papan tulis kelasnya. Alih-alih menjadi keterampilan untuk membawa persoalan kehidupan dan membuat siswa belajar untuk siap menjadi solusi dari persoalan itu, pedagogi kini hanya menjadi alat untuk memindahkan ilmu dari kurikulum yang didesain secara ketat, saintifik, dan akuntabel dengan semua standarisasi serta targetnya melalui guru ke dalam kepala siswa.

Alih-alih menjadi taman yang menjadi tempat tumbuhnya nalar kritis, pikiran kreatif, dan kesadaran siswa akan kehidupan yang merdeka, sekolah kini hanya menjadi pabrik dengan tembok tinggi yang memisahkan mereka dari kehidupan dan menghambat pertumbuhan mereka. Kelas-kelas tak lebih dari bilik-bilik produksi yang menempatkan guru sebagai sumber pembelajaran sekaligus subjek pembelajaran dan siswa sebagai objeknya. Lalu sebagai pemegang otoritas penuh di dalam kelas, guru secara otoriter mendiktekan ilmunya untuk masuk ke pikiran setiap siswa. 

Otoritarianisme dalam Kelas

Pendidikan adalah sebuah proses untuk membuat seorang anak dapat tumbuh menjadi manusia cerdas dan baik (Thomas Lickona: 1991). Salah satu dimensi dari pendidikan adalah hakikatnya sebagai sebuah proses mendidik, proses memanusiakan manusia (H.A.R. Tilaar: 2011). Sedangkan pedagogi adalah ilmu tentang pendidikan dan pengembangan diri, tentang proses pencerdasan dan pemberadaban. Hal paling penting dan esensi dari pedagogi adalah bukan sekadar membuat seorang anak menjadi pintar, tapi proses memberadabkan manusia. (Sakhieva R. Genadyevna: 2017). Pedagogi adalah ilmu tentang proses pendidikan yang pada hakikatnya haruslah dapat mewaujudkan tujuan pendidikan untuk memanusiakan manusia, dengan bukan sekadar mencerdaskannya tapi memastikannya dapat hidup beradab.

Namun dinamika zaman dan pergeseran peradaban telah membuat dunia pendidikan dan pedagogi seabagai alatnya dihantui oleh bayang-bayang pandemi yang bernama Banking Education. Asal dari penyakit itu adalah neoliberalisme. Sebuah ideologi yang membuat dan memaksa segala untuk dinilai berdasarkan kapasistasnya terhadap pasar (George Monbiot: 2018). Apapun dan siapapun yang tidak “cocok”, tidak mau, dan tidak mampu bersaing dalam persaingan pasar bebas akan teralienasi dan menjadi sosok yang dicap sebagai seorang yang salah, dan dipersalahkan atas kemalangannya karena gagal untuk cocok beradaptasi dengan sistem.

Untuk menciptakan sistem ekonomi sesuai dengan ideologinya, masyarakat harus dikondisikan sebagaimana maunya pemegang kuasa. Dan untuk mewujudkannya pendidikan harus diintervensi, sekolah harus dicabut dari keterlibatan langsung dalam kehidupan publik. Pendidik dan pemangku kepentingan dunia pendidikan harus disusupi doktrin akuntabilitas dan standarisasi adalah hal terbaik untuk menjadi bahan ajar dan mengevaluasi hasil pembelajaran, serta perlunya kompetisi untuk mennghasilkan siswa “berkompetensi” paling sesuai dengan kebutuhan pasar. 

Hasil transformasi sosial yang dilakukan neoliberalisme itu membentuk apa yang dilabeli Paulo Freire sebagai paradigma pendidikan Banking Education. Paradigma ini terjadi di bukan hanya di Indonesia, melainkan menjadi masalah bagi sistem pendidikan di banyak negara. Sebagai anak kandung perselingkuhan neoliberalisme dengan pendidikan, Banking Education memberikan jaminan bahwa lulusan yang dihasilkan sekolah akan nyetel dengan kebutuhan pasar.

Caranya adalah dengan mengatur kompetensi apa yang harus dimiliki siswa sesuai dengan standar yang dibutuhkan pasar, mengatur tingkat kecerdasan minimum yang harus dimiliki siswa untuk dapat masuk dan bersaing dalam pasar tenaga kerja, mengatur standar kecakapan dan kelakuan baik yang harus siswa miliki agar dapat berprilaku sebagai karyawan yang baik atau pengusaha yang baik. Semua itu dapat dilakukan dengan membawa otoritarianisme ke dalam sekolah.

Sekolah yang terjangkiti penyakit Banking Education minimalnya memiliki dua gejala utama yang terlihat dari bagaimana peran guru di dalam kelas. Gejala pertama adalah hadirnya otoritarianisme pada sumber dan metode pembelajaran. Pada sekolah yang terkena penyakit Banking Education, sumber belajar adalah sebatas apa yang diturunkan dari kurikulum, sepenuhnya berasal dari buku teks, dan pengkultusan terhadap sosok guru. Sumber pembelajaran di sekolah itu adalah guru, semua yang dikatakan, dilakukan, dan disampaikan oleh guru adalah ilmu pengetahuan dan pelajaran yang harus dihafal, dicatat, dan dipahami 100 persen oleh siswa apa adanya.

Gejala keduanya adalah penggunaan disertai pelanggengan metode mengajar yang otoriter. Setali tiga uang dengan gejala yang pertama, mana mungkin mengajarkan ilmu pengetahuan yang harus pasti benar dan satu versi dengan cara-cara yang demokratis. Metode mengajar yang digunakan guru adalah model ceramah dan ceramah, guru adalah subjek pengetahuan dalam kelas sedangkan murid adalah objeknya, murid-murid duduk dalam barisan dengan tangan harus dilipat di atas meja mendengarkan semua pengetahuan yang guru muntahkan tanpa kesempatan mendiskusikannya, suasana kelas dan pembelajaran jauh dari kata interaktif apalagi demokratis.

Konsep pedagogik Banking education sudah tidak cocok dengan kondisi realita kekinian yang menuntut pendidikan untuk menjadi solusi bagi masalah yang terjadi pada kehdupan publik, juga akan menjadi berbahaya apabila terus dipertahankan dalam jangka panjang. Penerapan banking education jangka panjang di sekolah akan menciptakan dinding yang mencegah pikiran siswa untuk mengambil inisiatif dan mengkritisi keadaan, serta menghambat gerakan siswa untuk leluasa berkeasi dan berinovasi.

Menumbuhkan Manusia bukan Memproduksi Mesin

Banking education membawa otoritarianisme ke dalam kelas. Guru sekolah umum mengalami penurunan kemampuan karena hanya menjadi administrator politik dari sistem sekolah yang bertujuan mempromosikan pertumbuhan ekonomi dan kemampuan hidup dengan cara berkompetisi secara global dengan siapapun. Akibatnya bentuk pedagogi disempitkan pada kemampuan mengingat, serangkaian test akuntabel terstandarisasi, dan hanya mendorong siswa mencari posisi yang tepat untuk hidup dalam budaya hidup masyarakat yang market oriented. (Henry Giroux: 2008)

Bagaimana mungkin siswa dapat menjadi manusia kritis dan kreatif yang mampu menjadi solusi bagi masyarakat yang hidup dalam ketimpangan, apabila mereka hanya dididik dan disiapkan untuk bersikap baik menuruti perintah dan menerima mentah-mentah ilmu yang diajarkan untuk menyiapkan mereka menjadi “sumber daya” manusia yang handal bagi industri dan dunia kerja. Pada keadaan yang demikian pedagogi sebagai proses pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan telah tereduksi menjadi sekadar serangkaian cara mentransfer pengetahuan yang perlu diketahui siswa untuk siap diserap oleh pasar tenaga kerja.

Padahal pedagogi seharusnya menjadi sebuah proses seroang anak berjuang secara kolektif memperoleh pengetahuan, nilai, hubungan sosial, dan model keberpihakan politisnya dalam kehidupan. Sehingga mereka mampu mempertanyakan siapa sebenarnya yang mengendalikan kondisi dari produksi pengetahuan, nilai, dan praktik pembelajaran di dalam kelas, serta untuk apa proses tersebut dilakukan (Henry Giroux: 2008).

Kita harus memikirkan ulang pedagogi yang kita pegang sebagai senjata saat kita berdiri di hadapan kelas. Sebagai guru, penting bagi kita memastikan bahwa ilmu yang kta ajarkan mampu digunakan oleh siswa untuk memeriksa keadaan diri dan menjadi alat pembebasan untuk dirinya sendiri dan kehidupan masyarakatnya.

Tags: pedagogi
Share4Tweet2SendShare
Previous Post

Ketua MGMP Bahasa Sunda Kota Depok, Nila Karyani Siap Lestarikan Budaya Sunda

Next Post

Islam Moderat dalam Tafsir Buya Hamka

admin

admin

Related Posts

Logo IMM. Sumber Gambar: http://immfkip.ums.ac.id/2018/08/arti-makna-lambanglogo-imm-ikatan.html

IMM dan Transformasi Kader

by Muhammad Taufiq Ulinuha
February 26, 2021
0

MADRASAHDIGITAL.CO, Oleh: Muhammad Taufiq Ulinuha Ideologi Sebagai Landasan Fundamental Sebagai organisasi ideologis, Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) memiliki prinsip yang dijadikan landasan...

Hakikat Tugas Kekhalifahan Manusia

by admin
February 25, 2021
0

MADRASAHDIGITAL.CO, Oleh: Riyan Berta Delza, Ketua DPP IMM Dalam pandangan Islam, semua manusia memiliki kedudukan yang sama dari segi kemanusiaannya,...

Dayat Wijanarko

Kebebasan Mengkritik dan Wajah Demokrasi Kita

by admin
February 21, 2021
0

MADRASAHDIGITAL.CO, Oleh: Dayat Wijanarko, Kader IMM Jaktim “Kalau saya jadi presiden, saya akan bilang kalau nggak usah kritik-kritik lah cukup...

Ahmad Soleh, Sekretaris DPP IMM.

Islam Moderat dalam Tafsir Buya Hamka

by admin
February 20, 2021
0

MADRASAHDIGITAL.CO, Oleh: Ahmad Soleh, Sekretaris DPP IMM & Alumnus FKIP Uhamka “Dan demikian pula Kami telah menjadikan kamu (umat Islam)...

Ilustrasi by AS

Rethinking Konsep Pedagogi

by admin
February 19, 2021
0

MADRASAHDIGITAL.CO, Oleh: Diki Hermawan, Ketua Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah Rusia Apa itu pedagogi? Sebuah kata yang apabila diperdengarkan pada orang...

Sains dan agama (Sekoci Hoaxes)

Memahami Covid-19 Lewat Kacamata Agama dan Sains

by admin
February 18, 2021
0

MADRASAHDIGITAL.CO, Oleh: A.R. Bahry Al Farizi, Kabid RPK IMM FAI UAD Maret 2020 lalu, Kita sempat dikagetkan oleh ceramah salah...

Next Post
Ahmad Soleh, Sekretaris DPP IMM.

Islam Moderat dalam Tafsir Buya Hamka

Jumini. L, orang tua murid di Depok mendampingi anak dalam pembelajaran daring, Rabu (13/8). (Dok. Lintang Dyah Ramadhani)

Pembelajaran Daring Berdampak pada Karakter Anak

gender, perempuan (Time Magazine)

Kesenjangan Gender Kala Pandemi

Leave a Reply Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

No Result
View All Result

Recent Posts

  • IMM dan Transformasi Kader
  • Hakikat Tugas Kekhalifahan Manusia
  • Pimpinan IMM Kota Yogyakarta Resmi Dilantik.
  • Ingin Mempunyai Mental Strength? Lakukan Kebiasaan Ini
  • KALBU Gelar Webinar Internasional dan Galang Dana Bencana

Recent Comments

  • Yunita on Pembelajaran Daring, Orang Tua Siswa Harus Melek Teknologi
  • Najib on Pembelajaran Daring, Orang Tua Siswa Harus Melek Teknologi
  • Aulia Septi on Pembelajaran Daring, Orang Tua Siswa Harus Melek Teknologi
  • Dinda on Pembelajaran Daring, Orang Tua Siswa Harus Melek Teknologi
  • Anita Lestari on Pembelajaran Daring, Orang Tua Siswa Harus Melek Teknologi

Archives

  • February 2021
  • January 2021
  • December 2020
  • November 2020
  • October 2020
  • September 2020
  • August 2020
  • July 2020
  • June 2020
  • May 2020
  • April 2020
  • March 2020
  • February 2020
  • January 2020
  • December 2019
  • November 2019
  • October 2019
  • September 2019
  • August 2019
  • July 2019
  • June 2019
  • May 2019
  • April 2019
  • March 2019
  • February 2019
  • January 2019

Categories

  • Analisis
  • Bahasa
  • Berita
  • Cerpen
  • Event
  • Gaya Hidup
  • Komunitas
  • Life Hack
  • Materi Pelajaran
  • Opini
  • Pemikiran Tokoh
  • Resensi
  • Rilis
  • Ruang Konsultasi
  • Ruang Madrasah
  • Sastra
  • Surat Pembaca
  • Tips
  • Umum
  • Wacana
  • Wawasan

Meta

  • Log in
  • Entries feed
  • Comments feed
  • WordPress.org

Madrasah Digital

Madrasah Digital

Madrasah Digital

Kategori

  • Analisis
  • Bahasa
  • Berita
  • Cerpen
  • Event
  • Gaya Hidup
  • Komunitas
  • Life Hack
  • Materi Pelajaran
  • Opini
  • Pemikiran Tokoh
  • Resensi
  • Rilis
  • Ruang Konsultasi
  • Ruang Madrasah
  • Sastra
  • Surat Pembaca
  • Tips
  • Umum
  • Wacana
  • Wawasan

Sekretariat

Learning Center Madrasah Digital

Alamat
Graha Inkud Lt. 6, Jln. Warung Buncit Raya No. 18-20, Jakarta Selatan, 12740.

Telp
0817123002/085717051886

E-mail
redaksimadrasah@gmail.com

  • Redaksi

© 2019 Madrasah Digital

No Result
View All Result
  • Masuk / Daftar
    • Tulis Postingan
    • Tulisan Saya
  • Berita
  • Wacana
  • Gaya Hidup
  • Komunitas
  • Opini
  • Sastra
  • Umum

© 2019 Madrasah Digital

Login to your account below

Forgotten Password?

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In