MADRASAHDIGITAL.CO- Oleh: Rodiatun Mardiah
Terdapat berbagai jenis pembicara yang sejauh ini dikenal, baik itu pembicara motivasi, ceramah, teknis dan lain sebagainya. Akan tetapi, tak jarang tersorot kepada sosok pembicara yang cenderung senang menikmati perdebatan dan berbicara tajam serta tegas terhadap pandangannya, sekalipun terbatas pada pemahaman yang mendalam karena kurangnya membaca dan hanya mengandalkan perspektifnya tanpa merasa perlu mengulik persoalan lebih dalam; sosok inilah yang selanjutnya akan kita kenal dengan sebutan Pembicara Argumen.
Dalam penelitiannya, ilmuan kognitif Marcier dan Sperber mencoba untuk menyelidiki tentang bagaimana manusia cenderung menggunakan kemampuan berpikir untuk membela pandangan mereka ketimbang harus mencari kebenaran yang objektif. Hal ini jelas memiliki dampak yang cenderung negatif, karena menunjukkan terjadinya ketidakmampuan individu untuk mengetahui otoritas pengetahuan dapat merugikan dialog publik, sekalipun kehadiran mereka dapat memicu terjadinya diskusi yang intens.
Membuka perkenalan lebih jauh, ada baiknya kita berkenalan dengan peristiwa sejarah yang terjadi berabad-abad yang lalu.
Kaum Sofis
Aliran Sofisme muncul pada abad ke-5 SM di Athena. Asal katanya adalah Sophos yang artinya cerdik pandai, dan sofis adalah sebutan bagi orangnya, yakni mereka yang terkenal akan kebijaksanaannya yang cerdik pandai dalam filsafat, Bahasa, bahkan politik pada masa itu. Akan tetapi sayangnya, perlahan sebutan sofis ini berubah menjadi ejekan bagi mereka yang pandai dalam bersilat lidah dan bermain dengan kata-kata. Mereka datang dengan ‘ilmunya’, dan memecahkan berbagai masalah ditengah penduduk yang ingin belajar, dalam kondisi dimana keahlian retorika menjadi hal utama sehingga mengandalkan subjektifitas.
Berbeda dengan filsuf-filsuf sebelumnya, kaum sofis mempersoalkan sikap hidup. Bagi mereka setiap pergaulan memiliki normanya masing-masing. Akan tetapi, mereka tidak mampu mencapai dasar umum yang harus di pegang oleh semua orang, hal ini dikarenakan mereka membawa ukuran dasar yang berbeda-beda. Masing-masing guru sofis ini mengemukakan pandangannya dan tidak mau menimbang pandangan yang lainnya, dan pahamnya sendiripun tidak konsisten.
Di dalam buku Alam Pikiran Yunani karya Mohammad Hatta terkutip;
Kaum sofis tidak ada sama pendiriannya tentang suatu masalah. Mereka hanya berpendirian dalam hal meniadakan, dalam pendirian yang negatif, pokok ajarannya ialah bahwa “kebenaran yang sebenar-benarnya tidak tercapai”.
Hal ini jelas menimbulkan berbagai kritik terhadap kaum sofis , seperti;
Pertama, Argumentasi tanpa memperhatikan substansi atau etika
Kaum sofis memandang retorika sebagai alat untuk memenangkan argumen tanpa mempertimbangkan kebenaran atau moralitas. Sebagaimana pandangan salah satu guru sofis terkemuka bernama Gorgias dalam tiga dasar ia meniadakan yang ada mengatakan bahwa “tak ada sesuatunya, jika sekiranya ada sesuatunya, ia tak dapat diketahui. Jika kiranya kita mengetahui sesuatunya, pengetahuan itu tidak dapat kita kabarkan kepada orang lain”. Pernyataan seperti ini jelas dapat menimbulkan dilema moral dimana kebenaran menjadi bersifat relatif bahkan dapat berubah sekalipun itu untuk kepentingan pribadi.
Hal ini jelas semakin menunjukkan betapa kaum sofis cenderung menerapkan argumentasi tanpa memperhatikan substansi atau etika. Hal ini memicu terjadinya kekhawatiran akan fokus pada teknik bicara dapat menyebabkan manipulasi opini dan mendorong kekurangan moral dalam masyarakat.
Kedua, Enggan mengakui adanya kebenaran mutlak
kaum sofis juga memprihatinkan dikarenakan mereka enggan untuk mengakui adanya kebenaran objektif dan moral mutlak. Hal ini dapat menimbulkan keragu-raguan pada nilai-nilai yang jelas akan mendasari tindakan dan keputusan, dan justru melemahkan dasar etika dalam masyarakat yang kemudian mengarahkannya pada ketidakpastian juga konflik.
Kaum sofis cenderung mementingkan kecakapan mereka dalam berbicara ketimbang pengetahuan substantif. Hal ini jelas sangat mengkhawatirkan, karena perlu dicermati bahwasanya keahlian bicara tidak selalu sejalan dengan pengetahuan mendalam atau kebijaksanaan. Kaum sofis pada akhirnya menciptakan landasan yang rapuh.
Kembali kepada sosok pembicara argumen , singkatnya mereka adalah individu yang cenderung senang berdebat dan menyampaikan argument atau pandangannya dengan tajam, menonjol dalam kemampuan berbicaranya dan tentunya meyakinkan, seringkali bersikeras pada argumennya tanpa selalu memprioritaskan dialog yang kolaboratif. Mereka hadir ditengah lingkungan yang lemah akan pondasi ilmu pengetahuannya dan hanya mengandalkan retorika tanpa pengkajian referensi dan pemahaman yang mendalam.
Terlihat jelas betapa pentingnya bagi kita untuk mau mengembangkan minat literasi terkhususnya membaca, hal ini karena membaca memiliki peran yang sangat penting dalam membuka cakrawala berpikir agar kita tidak terjebak dalam pemahaman yang dangkal. Dengan memperbanyak literasi bacaan, kita dapat mencegah keterbatasan pemikiran yang muncul hanya karena terpaku pada pandangan sempit atau hanya mengandalkan keahlian bicara, atau reotorika saja tanpa adanya pemikiran yang kokoh.
Tentunya membaca yang di maksud disini adalah membaca dengan bijak, tidak telan mentah saja akan tetapi juga menyaring, mengevaluasi juga melihat dari berbagai persepktif dengan menambah bacaan lebih banyak lagi tentunya. Selain membaca penting juga bagi kita untuk berdiskusi dan menghormati keberagaman pendapat, belajar dari diskusi, serta menyertakan dialog dalam diskusi tidak hanya argumen-argumen saja.
red. saipul