*Muh. Akmal Ahsan
Tulisan ini muncul dari hasil “nguping” perbincangan Abdul Halim Sani dan Makhrus Ahmadi di Fungsi Coffee and Space, ide “pengilmuan IMM” terucap dari Mas Halim Sani lalu mencoba untuk kami kontekstualisasikan dalam tulisan ini.
Dari masa ke masa, Ikatan Mahasiswa Muhamamdiyah (IMM) dihadapkan pada tantangan untuk tetap hidup dalam dialektika peradaban. Kita sering menggerutu bila IMM terjebak dalam arus wacana tetapi tak bisa membumikannya dalam dataran praktik gerakan. Visi, nilai dan prinsip gerakan kerapkali terjebak dalam utopia belaka, tak membumi dan seringkali hanya menjadi hapalan-hapalan belaka, ketidak mampuan mengkontekstualisasikan nilai IMM juga berimbas pada kader IMM yang seringkali bergerak secara sporadis, buta dan tanpa nyawa. Dalam persoalan demikianlah, maka penulis menganggap perlu mengadakan pengilmuan Islam dalam upaya “menarik” Visi, nilai dan prinsip ikatan dalam praktik gerakan IMM.
Frasa “pengilmuan” sebenarnya awal kali didengungkan oleh Kuntowijoyo dengan pengilmuan Islamnya. Narasi ini dibangun sebagai respon atas kemunculan gagasan Islamisasi Ilmu. Dalam hal ini, pengilmuan Islam yang dimaksud bukan hanya membahas soal keilmuan semata, namun lebih dari itu yakni mengkontekskan teks-teks agama atau yang seringkali kita pahami sebagai upaya membumikan Islam. Dalam hubungannya dengan IMM, tampillah pertanyaan : Mungkinkah pengilmuan IMM?
Dengan bekal perkaderan dan wacana keilmuan yang terus menerus berjalan, saya pikir sangat memungkinkan untuk menarik nilai dan prinsip ikatan pada dataran implementasi gerakan. Tak sekadar menafsirkan ilmu, harapannya perkaderan dan wacana keilmuan yang terus menerus bergerak mampu dikontekstualisasikan dengan kenyatan sosio-kultur masyarakat, ramah dan mampu berjabak tangan dengan zaman. Alief Yoga Dhiyahul Haq menafsirkannya dengan kalimat “penguatan peran kader dan gerakan pencerahan yang ramah jaman”. Hanya dengan demikian, IMM akan terus hidup dan menghidupi zaman, terintegrasi dengan kenyataan tanpa kehilangan nilai dan prinsip yang dianut.
Paradigma IMM
Pengilmuan IMM sebagaimana dimaksud diatas sebenarnya ialah upaya bersama untuk bergerak dari nilai dan prinsip ikatan yang tekstual menuju konteks sosial masyarakat. Pada konteks ini, maka paradigma IMM dimaksudkan sebagai hasil olahan keilmuan. Nilai IMM berupa tri kompetensi dasar : religiusitas, intelektualitas, dan humanitas sebagai manifest dari Al-Qur’an Surah Al-Imran: 104 dan Al Maun: 1-7 perlu untuk diolah sehingga menjadi kekuatan paradigmatik dalam rangka mentransformasikan cita-cita gerakan yang bersifat utopis kepada gerakan praksis. Tri Kompetensi dasar ini diharapkan mampu menjadi konstruksi pengetahuan. dengan demikian, harapannya Trikoda tidak hanya sebagai desain aksiologis belaka, namun juga tampil memberikan wawasan epistemologis. Tak dipahami sebagai nilai yang kaku, tetapi sebagai bangunan ilm pengetahuan yang lugas dan realistis untuk dibumikan.
Upaya untuk menghadirkan IMM yang membumi dan tak sekadar utopia membutuhkan rasionalisasi dan kontekstualisasi yang jelas serta lugas. Perkaderan dan wacana keilmuan yang terus menerus dibangun sesungguhnya tak boleh terjebak dalam formalitas belaka, seluruh prosesi perkaderan dan wacana keilmuan dalam tubuh gerakan IMM harus mampu memberi inspirasi ke arah mana gerakan ini akan diarahkan.
*Kabid RPK PC IMM AR. Fakhrudin/ Kepala Madrasah Digital Yogyakarta