MADRASAHDIGITAL.CO, Oleh: Taufiqurochim, Public Lawyer Interest
Indonesia sangat populer dengan julukan negeri agraris. Negeri yang katanya dikenal sebagai “gemah ripah loh jinawi” tentram dan makmur serta sangat subur tanahnya. Perlahan-lahan, masa depan bangsa julukan negeri agraris ini tampaknya akan menjadi bekas cerita sejarah bagi anak-anak dikala menjelang tidur.
Kondisi ini dilegitimasi dengan makin tergerusnya angkatan petani muda dan berkurangnya lahan pertanian karena efek domino pembangunan. Berdasarkan catatan Badan Pusat Statistik (BPS), pada 2020, ada sekitar 33,4 juta petani yang bergerak di semua komoditas sektor pertanian.
Angka tersebut jumlahnya jauh lebih kecil jika dibandingkan jumlah petani pada 2019 yang mencapai 34.58 juta. Persoalan lain adalah adanya ketimpangan struktur dan penguasaan lahan yang begitu besar.
Pada 2018, sedikitnya ada 15,8 juta rumah tangga petani hanya menguasai tanah sekitar 0,5 hektare. Berdasarkan kajian dari Transparansi untuk Keadilan (TuK), negeri ini menampilkan sektor perkebunan sawit ada 25 grup perusahaan mendominasi penguasaan 16,3 juta hektare tanah. Hutan seluas 30,7 juta hektar dikuasai 500 perusahaan dan sektor tambang mencapai 37 juta hektare.
Penguasaan lahan yang timpang tersebut tentu jelas kontradiksi dengan wacana pemerintah ingin menopang krisis pangan di tengah pandemi saat ini. Sekali pun, petani tengah berada di keterbatasan lahan, mereka tetap bisa menyokong masyarakat lain dalam menyediakan pangan.
Konflik agraria juga menjadi persoalan serius, menurut data dari Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA), konflik agraria yang terjadi sepanjang 2020 paling banyak berasal dari sektor perkebunan sebanyak 122 kasus. Selanjutnya berturut-turut sektor kehutanan ada 41 kasus, infrastuktur (30 kasus), properti (20 kasus), pertambangan (12 kasus), fasilitas militer (11 kasus), pesisir kelautan (3 kasus), dan agrobisnis (2 kasus). Sedangkan sekurang-kurangnya jumlah korban terdampak konflik agrarian sebanyak 135.332 kepala keluarga.
Mahasiswa Pertanian untuk Siapa?
Persoalan jumlah data yang ditimpa oleh para petani sangatlah tidak sebanding jika angka minat mahasiswa yang membidangi di sektor pertanian setiap tahun kian bertambah. Berdasarkan data dari Kementerian Pertanian jumlah minat mahasiswa pertanian meningkat 64.16% dari tahun 2010-2018. Setidaknya pada 2010 ada 173.158 mahasiswa, tahun 2015 total 273.115 mahasiswa dan pada 2018 berjumlah 284.259 mahasiswa. Bahkan dari data tersebut Ditjen Dikti memprediksikan masuk di tahun 2025 minat mahasiswa pertanian akan melonjok menjadi 536 ribu mahasiswa.
Namun, saat para petani berhadap-hadapan dengan perusahaan energy kotor dan pembangunan infrastuktur untuk mempertahankan ladangnya dimanakah suara-suara kritis ribuan mahasiswa pertanian itu? Ketika Salim Kancil dan seoarang Petani lainya dibunuh karena mempertahankan tanahnya dari eksploitasi tambang pasir dimana advokasi dan sikap kemarahan dari mahasiswa pertanian? Begitu pula ketika ladang-ladang pertanian makin menyempit dan keluarga petani di negeri ini makin berkurang dari tahun ke tahun, dimanakan poster-poster kritis dari mahasiswa pertanian?
Kita patut bertanya kepada mahasiswa pertanian soal itu karena merekalah marhaen terdidik yang bertahun-tahun berjibaku dengan dunia ilmu tani. Paradoks, jika selama ini dikelas mahasiswa pertanian hanya mempelajari tentang teknologi pembibitan dan managemen bisnis disektor pertanian yang pada ujung-ujungannya tunduk pada ekonomi pasar kapitalistik, tanpa memikirka dan bertidak secara serius pada konflik yang membabi buta kelas petani.
Mahasiswa pertanian sebagai kaum terdidik yang membidangi ilmu tani, tapi mereka bukanlah soko insinyur yang justru menjauh dari keringat si tani. Mahasiswa pertanian dan kaum tani seharusnya menjadi sekutu yang serasi. Mereka harus menjadi garda terdepan dikala kehidupan kelas petani terporak-porandakan karena ancaman perampasan lahan.
Ketika para petani merengek karena harga beli pupuk semakin mahal, maka mahasiswa pertanian bisa mencarikan akar permasalahan kenapa petani hidup pilu. Misalnya, sangat memungkin mahasiswa pertanian memberikan pengetahuan kepada petani jika semua itu bisa diakali dengan membiasakan membuat pupuk organik tanpa pupuk kimia sehingga dampaknya adalah tanah tidak merasa ketergantungan dengan bahan-bahan kimiawi. Mengingat, untuk saat ini saya juga melihat para petani sudah sangat jarang memakai bahan-bahan organik untuk kebutuhan dasar pertanianya.
Apabila para petani berhadap-hadapan dengan serdadu di pematang sawah, mahasiswa pertanian semestinya berani mengambil sikap untuk mogok belajar di kelas hanya semata-mata untuk membela hidup dan mati kelas petani di pergolakan kontestasi mempertahankan sawahnya. Jangan lupa sejarah, eksistensi kelas petani di negara ini merupakan sokoguru dari Revolusi Indonesia.
Kehadiran mahasiswa pertanian sebagaimana Bung Karno katakan dalam saat menjelang peletakan batu pertama pembangunan fakultas pertanian Universitas Indonesia yang saat ini menjadi Intitut Pertanian Bogor (IPB) pada 27 April 1952. Bung Karno menegaskan, Indonesia sudah saatnya mencari terobosan agar kebutuhan pangan bangsa ini berdaulat.
Terobosan untuk menciptakan kedaulatan pangan mula-mula harus didasari pada penghormatan kepada kelas tani. Sebuah keinginan yang besar kehadiran mahasiswa tani agar dapat memuliakan petani semakin berdaulat dan menyokong petani supaya mereka mampu menyelematkan masyarakat dari rasa lapar.
Kegelisahan para kaum tani akan segera mungkin terjawab apabila mahasiswa pertanian tidak menjaga jarak dikala petani mengalami ancaman ruang hidup. Tentunya semua itu dapat dilakukan melalui pengorganisasian kelas petani untuk berani berdaulat dan bersikap menagih haknya serta tidak tergantung pada kepentingan pasar yang mematok segala kebutuhan petanian ditentukan oleh kelas pemodal.