Oleh: Ahmad Soleh*
MADRASAHDIGITAL.CO – Berbicara tentang pandemi corona alias Covid-19 tentu akan berkaitan dengan berbagai aspek kehidupan. Begitu besar dampak yang diakibatkan virus mematikan ini. Tidak hanya dalam kehidupan individu yang terjangkit, bahkan lingkungan sosial pun tak luput dari terkamannya. Berbagai sektor kehidupan mulai dari ekonomi, sosial, hingga budaya turut pula porak-poranda. Termasuk di dalamnya dunia pendidikan kita.
Jika kita hitung mulai dari terungkapnya pasien positif Covid-19 pertama di Indonesia, saat ini mungkin sudah hampir habis bulan kedua dan akan masuk bulan ketiga. Sampai detik ini belum bisa diprediksi kapan pagebluk ini bakal mereda. Kasus positif pun kian hari kian bertambah. Per 30 April 2020 saja, kasus positif terjangkit Covid-19 sudah menginjak angka yang luar biasa, yakni 10.118 orang. Meski diiringi dengan pergerakan pasien sembuh yang membaik. Artinya, persebaran virus yang belum ada obatnya ini masih terus terjadi di berbagai daerah yang kini sudah dilabel sebagai zona merah.
Tentu, kita semua berdoa dan berharap agar kondisi ini lekas berlalu. Meski begitu, masih banyak yang pesimistis akan segera berlalunya pandemi ini. Bahkan, para ilmuwan di Singapura memprediksi dalam skala global, pandemi ini akan berakhir pada Desember mendatang.
Lalu, di Indonesia, kapan pagebluk ini akan berakhir? Menurut beberapa data yang dipaparkan lembaga negara, perkiraan bulan Mei menjadi puncak penyebaran Covid-19 di Indonesia. Setelah itu, curva penyebaran akan melandai dan perlahan menurun. Nah, sambil menunggu kepastian itu, alangkah baik bila kita mencoba menjabarkan bagaimana kondisi semacam ini bisa mengubah pola kehidupan, wabil khusus dalam praktik pendidikan kita.
Menilik Realitas Pendidikan di Indonesia
Pendidikan adalah kunci kemajuan peradaban suatu bangsa. Pendidikan itulah yang membawa peradaban suatu bangsa dari kegelapan menuju cahaya terang-benderang. Pelaksanaan pendidikan juga merupakan salah satu amanat kemerdekaan, bahwa tugas negara adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Sebab itulah kualitas pendidikan bakal sebanding dengan luaran dari proses pendidikan itu sendiri. Pendidikan yang berkualitas bisa mencetak generasi masa depan yang juga berkualitas dan berdaya saing. Namun, hal itu bakal terbentur pada sebuah dinding, yakni tembok realitas pendidikan kita.
Nah, ngomong-ngomong soal realitas pendidikan di Indonesia, sebenarnya masih banyak sekali catatan-catatan yang menjadi pekerjaan rumah bagi segenap punggawa pendidikan kita. Berbagai persoalan mulai dari belum meratanya pendidikan dari segi sarana-prasarana. Saya teringat beberapa bulan sebelum virus corona masuk ke Indonesia, dunia pendidikan kita tengah berkabung lantaran banyak sekolah-sekolah di daerah yang kondisi bangunannya sudah tak layak digunakan.
Ruang kelas yang bocor, langit-langit yang mulai rapuh menjadi sorotan media. Bahkan, beberapa kasus di antaranya memakan korban lantaran kondisi bangunan tua hingga atapnya roboh. Setelah itu, ada pula kasus perundungan, perpeloncoan, hingga pencabulan yang tentu memakan korban. Realitas ini setidaknya memberikan kita gambaran bagaimana dunia pendidikan kita masih sempoyongan dalam menciptakan generasi yang ‘kuat’ secara mental, akhlak (budi pekerti), ekonomi, dan sosial.
Saat ini, dunia pendidikan kita tengah diuji dengan pandemi. UN yang semula akan dihapuskan pada 2021, mau tak mau, suka tidak suka, dihapus pada tahun ajaran sekarang (2020). Bahkan, demi mencegah penyebaran Covid-19, Mendikbud Nadiem Makarim menginstruksikan agar pembelajaran dilakukan di rumah dengan kebijakan home learning yang berlaku untuk seluruh daerah terdampak pandemi. Dalam praktiknya, home learning merupakan pendidikan jarak jauh berbasis media daring. Aplikasi video konferensi seperti Google Meeting, Zoom Meeting, Lark Meeting, hingga penggunaan Instagram TV dan grup Whatsapp pun ditempuh para pendidik didaerah yang terdampak.
Tentu, dalam kondisi itu ada konsekuensi bagi daerah yang belum terjamah jejaring internet. Bahkan, di desa-desa mungkin sekolah diliburkan lantaran para siswa tak memiliki perangkat memadai seperti anak-anak di kota yang hidupnya berkecukupan. Ya, ketimpangan masih terasa di sana-sini. Beberapa pendidik bekerja keras dengan berbagai upaya, sampai ada yang mendatangi rumah siswanya satu per satu agar bisa menyampaikan pembelajaran sebagaimana mestinya.
Namun, bila kita ambil hikmah dari pandemi ini tentu ada hal-hal yang membuat hati kita sedikit terobati. Misalnya dengan kebiasaan melakukan praktik pendidikan jarak jauh dengan berbasis daring, kita lebih melek teknologi. Hal itu kemudian diimbangi dengan cara berpikir kreatif dan inovatif dari para pendidik yang berusaha menciptakan pembelajaran yang tidak monoton. Dan lagi, kebersihan dan pola hidup sehat menjadi hal paling diperhatikan di masa-masa seperti ini. Semoga ini terbawa menjadi new habbit (kebiasaan baru) bagi kita yang kerap abai dalam masa-masa normal.
Normal Baru Dunia Pendidikan
Berbagai hikmah yang terjadi di masa pandemi ini kemudian menjadi normal baru bagi dunia pendidikan kita. Yang sedianya pembelajaran selalu dilakukan di kelas, kini bahkan bisa dilakukan di rumah masing-masing dengan tetap dalam pengawasan dan pembinaan guru dan orang tua. Nah, di sinilah peran orang tua dan guru dituntut untuk maksimal sehingga siswa mampu berhasil dalam belajar.
Normal baru atau new normal ini bisa terjadi karena kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan karena terpaksa di masa ini. Rapat dewan guru, pada masa pra-Covid selalu dilakukan di sekolah. Sekarang, yayasan, sekolah, dan dinas pendidikan setempat bisa bepikir lebih praktis, “Jika bisa dilakukan dari rumah masing-masing, kenapa harus rapat di sekolah?” Jika hal itu sama efektifnya atau bahkan lebih efektif, kenapa tidak?
Tentu, ke depan kelas-kelas virtual dan pembelajaran jarak jauh bakal menjadi suatu hal yang lumrah. Begitu pun dengan tugas dan prakarya berbasis talenta, keterampilan, dan kreativitas siswa bakal menjadi jamak kita temui. Konsep pembelajaran kontekstual tak luput pula bakal menjadi sebuah normal baru. Pendidikan kita tidak lagi terpenjara dalam ruang text book dan kurikulum beserta silabus yang memberatkan.
Kebiasaan-kebiasaan positif seperti menggunakan smarpthone untuk mencari ilmu pengetahuan baru pun bakal menjadi normal baru bagi anak-anak Indonesia. Bahkan, dengan smartphone-nya, mereka bisa berkarya dan berkreasi. Itu semua bisa direncanakan dan direkayasa oleh guru dan orang tua.
Sebuah bait sajak yang ditulis Munif Chatib (Januari 2011) ini pun tepat untuk kita renungkan, “Sekolah itu bukan warung//Sekolah itu institusi sumber daya manusia tingkat tinggi//Butuh orang-orang yang punya komitmen dan kompetensi untuk membangunnya//Ketika hakikat belajar dikembalikan kepada hakikat manusia, tidak semua bisa menerimanya, banyak orang yang menganggap mustahil.”
*Alumnus FKIP Universitas Muhammadiyah Prof DR HAMKA
Menurut pendapat dosen fakultas kedokteran Universitas Airlangga apabila ingin mengadakan pembelajaran secara tatap muka maka pihak sekolah yang bersangkutan punya andil besar untuk mempersiapkan segala fasilitas penunjang seperti tempat cuci tangan, sterilisasi ruang kelas, serta fasilitas layanan kesehatan. Sumber http://news.unair.ac.id/2020/06/23/3-hal-harus-diperhatikan-sektor-pendidikan-saat-era-normal-baru/