MADRASAHDIGITAL.CO, Oleh: Mala Silviani, Mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Pamulang (FH Unpam)
Salah satu jenis sanksi pidana yang paling sering digunakan sebagai sarana untuk menanggulangi kejahatan ialah hukuman penjara. Hukuman penjara bersumber pada paham individualisme. Jika dilihat dari sejarahnya, penggunaan pidana penjara sebagai cara untuk menghukum para penjahat dimulai pada akhir abad ke-18. Saat itu, pidana penjara makin menduduki peranan penting dan menggeser pidana mati yang dipandang kejam seiring dengan makin berkembangnya pemahaman mengenai perikemanusiaan.
Sementara itu, Bernard Shaw pernah menyatakan bahwa menyediakan penjara yang tidak merusak pikiran atau setidaknya fisik narapidana adalah di luar kemampuan manusia. Di sisi lain ada juga gerakan menghapuskan pidana penjara yang dipelopori oleh L.H.C Hulsman dengan membentuk organisasi ICOPA (International Conference on Prision Abolition) melihat pidana sebagai hal yang jahat. Menurut mereka pidana adalah jahat (punishment is crime).
Oleh karena itu, untuk menanggulangi kejahatan itu tidaklah layak dengan mengenakan suatu pidana karena pidana sendiri adalah kejahatan.
Ada beberapa narasi yang sering ditemukan oleh penulis mengenai berbagai permasalahan yang saat ini dihadapi oleh pembaga pemasyarakatan (lapas) kita. Lapas merupakan bagian dari sistem peradilan pidana di Indonesia. Lapas menjadi bagian dari tujuan untuk menegakkan hukum sebagai hilir dari proses penegakan hukum itu sendiri melalui pemenjaraan/penjaraan.
Namun, isu yang paling sering mencuat ke publik tak lain mengenai terjadinya kepadatan jumlah tahanan di dalam penjara atau yang disebut dengan over-crowding. Yang merupakan masalah besar yang sampai saat ini masih terus di eksplorasi oleh para penstudi hukum atau para ahli mengenai bagaimana cara untuk mengatasinya. Beranjak dari narasi tersebut, Penulis bertanya mengapa hal demikian bisa terjadi dan apa saja dampak daripada over-crowding tersebut?
Dalam pencarian dini penulis, dapat disimpulkan bahwa hal ini merupakan suatu akibat dari filosofi pembentukan KUHP. Sejak KUHP Prancis 1810 yang diadopsi ke KUHP Belanda 1881 tersebut, filosofi retribusionist (pembalasan) digunakan untuk tujuan penjeraan. Di mana perkembangan sejarah hukum pidana Indonesia tidak dapat dipisahkan dari perkembangan sejarah hukum pidana Belanda tesebut.
KUHP Indonesia adalah adopsi HIR Belanda berdasarkan UU RI Nomor 1 Tahun 1946 dan diberlakukan di seluruh Indonesia dengan UU Nomor 73 Tahun 1958. Pemberlakuan Hukum Pidana Belanda merupakan KUHP yang dipaksakan oleh pemerintah kolonial selama masa penjajahan.
Selain itu, banyaknya jumlah tahanan di dalam penjara mengakibatkan makin membengkaknya pengeluaran keuangan negara yang diperuntukkan bagi para narapidana. Sebagaimana telah diuraikan di dalam buku Romli Atmasasmita bahwa biaya makan narapidana dan tahanan yang jumlahnya rata-rata 100 ribu orang per tahun dengan harga untuk satu narapidana rata-rata adalah Rp15 ribu per hari, sehingga total biaya per hari dari APBN adalah (100 ribu x 15 ribu) = Rp1.500.000.000 atau sama dengan Rp547.500.000.000,00 per tahun.
Jika rata-rata narapidana dijatuhi hukuman 3-5 tahun (tanpa remisi dan bebas bersyarat), total biaya negara yang harus dikeluarkan negara adalah Rp1.642.500.000.000 untuk hukuman penjara 3 (tiga) tahun dan meningkat sebesar Rp2.737.500.000.000 untuk hukuman penjara selama 5 (lima) tahun.
Atas dasar yang demikian, penulis menilik bahwa kebijakan penegakan hukum selama ini tidak berakar pada masalah sosial, ekonomi, maupun budaya, melainkan hanya berfokus pada tujuan retributif (pembalasan). Hal itu berdampak pada padatnya jumlah tahanan yang mengakibatkan makin membengkaknya pengeluaran keuangan negara.
Lalu, apa yang bisa dilakukan? Penulis melihat bahwa perlu adanya pembaharuan hukum pelaksanaan pidana. Harapan untuk memperbaiki hal itu tampak ada dengan adanya penyusunan rancangan UU KUHP dan KUHAP memberikan harapan baru mengenai arah tujuan kebijakan sistem pemasyarakatan.
Pemidanaan harus mengedepankan nilai-nilai sosial, budaya, dan segala struktural yang hidup di masyarakat, sehingga mempunyai dampak positif bagi terpidana dan masyarakat. Dengan demikian, terlihat jelas arah tujuan hukuman penjara di Indonesia.
Editor: Ahmad Soleh