Oleh: Salmafjr
“Kalian boleh maju dalam pelajaran, mungkin mencapai deretan gelar kesarjanaan apa saja, tapi tanpa mencintai sastra, kalian tinggal hanya hewan yang pandai.” ― Pramoedya Ananta Toer.
Secara umum, sastra dikenal dengan sebuah tubuh karya tertulis. Secara sempit, sastra merujuk pada tulisan yang dianggap sebagai bentuk seni atau tulisan yang dianggap memiliki nilai artistik atau intelektual, sering kali karena menggunakan bahasa dengan cara yang berbeda dari penggunaan bahasa biasa.
Bagi banyak orang, kata sastra menunjukkan bentuk seni yang lebih tinggi; hanya meletakkan kata-kata pada halaman, tidak sama dengan menciptakan sastra. Pemahaman akademis yang lebih banyak tentang sastra berfokus pada karya-karya seperti novel, esai, puisi, dan drama, meskipun dengan bentuk penulisan yang kurang akademis.
Karya sastra yang terbaik, menyediakan semacam cetak biru bagi masyarakat. Dari tulisan-tulisan peradaban kuno, seperti Mesir dan Cina hingga filsafat dan puisi Yunani, dari epos Homer hingga drama William Shakespeare, karya sastra memberikan wawasan dan konteks ke seluruh dunia masyarakat.
Dengan cara ini, sastra lebih dari sekadar artefak sejarah atau budaya. Sastra bisa berfungsi sebagai pengantar dunia pengalaman baru.
Namun, apa yang kita anggap sebagai sastra dapat bervariasi dari satu generasi ke generasi berikutnya. Misalnya, puisi-puisi Chairil Anwar yang dianggap gagal oleh para pengulas konservatif di zamannya, setelah itu karya tersebut diakui sebagai karya agung dan sering disebut sebagai salah satu karya terbaik.
Pada akhirnya, kita dapat menemukan makna dalam sastra dengan melihat apa yang seorang penulis tulis atau katakan dan bagaimana dia mengatakannya. Kita dapat menafsirkan dan memperdebatkan pesan penulis dengan memeriksa kata-kata yang ia pilih dalam puisi atau karya tertentu atau mengamati karakter atau suara mana yang berfungsi sebagai koneksi ke pembaca.
Terlepas dari itu semua, sastra memiliki pengaruh lebih ke dalam kehidupan manusia, baik sebagai penulis maupun pembacanya. Seperti yang sudah didapatkan beberapa penelitian bahwa orang yang membaca sastra memiliki lebih banyak empati terhadap orang lain karena sastra menempatkan pembaca pada posisi orang lain.
Memiliki empati terhadap orang lain membuat orang bersosialisasi dengan lebih efektif, menyelesaikan konflik secara damai, berperilaku secara moral. Bahkan, mungkin terlibat dalam menjadikan komunitas mereka tempat yang lebih baik.
Penelitian lain mencatat korelasi antara pembaca sastra dan empati, tetapi tidak menemukan penyebabnya. Apa pun itu, penelitian mendukung perlunya program pelajaran sastra yang kuat di sekolah, terutama karena manusia hari ini menghabiskan lebih banyak waktu melihat layar daripada buku.
Seiring dengan empati terhadap orang lain, pembaca juga dapat merasakan hubungan yang lebih besar dengan kemanusiaan dan tidak merasa begitu terisolasi. Misalnya, seorang siswa yang membaca sastra dapat menemukan penghiburan ketika mereka menyadari bahwa orang lain telah mengalami hal yang sama dengan yang mereka alami. Ini bisa menjadi katarsis dan melegakan bagi mereka jika mereka merasa terbebani atau merasa sendirian ketika dalam kesulitan.
Seperti kutipan Pak Pram yang ditulis di awal, kita boleh saja maju dalam pelajaran, hingga mendapat gelar dan jabatan tinggi. Tapi jika tak mencintai sastra kita tinggal hanya hewan yang pandai.
*Pencinta sastra, penulis Hujan Ibu Kota