Oleh: Ayi Yunus Rusyana*
MADRASAHDIGITAL.CO – Bagi saya, salah satu inspirasi dahsyat dari Al-Qur’an, terjadi 11 tahun yang lalu. Saat itu saya seperti langsung mengalami nuzulul Qur’an. Ceritanya, pada 2009, saya mengalami kegalauan level tinggi. Bukan masalah materi atau pekerjaan, melainkan buah hati yang tak kunjung hadir ke dunia. Padahal, enam tahun sudah kami menikah.
Selama itu, saya selalu bersabar dan berdoa. Satu-satunya obat mujarab penenang pikiran adalah berbaik sangka. Waktu itu, saya suka berpikir mungkin belum waktunya punya anak, nanti juga Allah akan memberikannya di waktu yang tepat. Kadang saya juga suka merenung, barangkali ini cara Allah menguji keimanan dan kesabaran kami. Nabi Ibrahim saja yang sangat sholeh, konon penantiannya, lebih dari 80 tahun. Apalagi saya, yang level kesolehannya masih cetek. Kata orang: “Tenang saja, semua akan indah pada waktunya!”
Berpikir positif seperti itu selalu menentramkan batin. Tapi tidak bisa diingkari jika hati ini sering juga merasa hampa dan gelisah. Satu persatu saudara, kerabat dan handai tolan, meski menikah belakangan, hamil dan melahirkan. Akibatnya, doa-doa yang terucap terkadang diakhiri gugatan tak tahu diri. “Ya Allah, ibadahku sudah cukup, juga amal shaleh-ku, aku mohon keadilan-Mu!” atau yang lebih satir ketika berdoa “Ya Allah kami menikah dengan sah dan selalu beribadah, tapi kenapa belum juga diberi keturunan, padahal orang lain terlihat tidak rajin beribadah, bahkan ada yang hamil sebelum nikah!”
Tibalah suatu hari ketika saya membaca al-Qur’an surat al-Baqarah [2] ayat 158: “Sesungguhnya Shafa dan Marwah adalah bagian dari syiar-syiar (simbol) Allah…”. Ayat ini sebenarnya tentang ibadah Haji. Namun, pertanyaannya adalah mengapa ayat tentang haji ini terletak setelah ayat tentang sabar? Pasti ada relevansi yang erat di antara keduanya, jika menggunakan Ilmu Munasabah, di dalam ‘Ulumul Qur’an.
Memang jika dibaca, tiga ayat sebelumnya berkenaan dengan sikap shabar. “Dan Kami pasti akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar (155). (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah mereka berkata: sesungguhnya kami milik Allah dan kepada-Nyalah kami Kembali (156). Mereka itulah yang memperoleh ampunan dan rahmat dari Tuhannya, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk” (157).
Kembali ke ayat 158. Shafa dan Marwah, tentunya umat Islam pernah dengar, adalah dua bukit terletak di Mekah sekitar 300 meter dari Masjidil Haram (kini menjadi bagian dari masjid), yang memiliki nilai historis yang sangat tinggi. Umat Islam yang berhaji pasti akan melakukan ritual lari-lari kecil sebanyak tujuh kali antara Shafa dan Marwah. Jarak antar keduanya sekitar 450 meter. Ritual ini dikenal dengan nama Sa’i; secara harfiah artinya berusaha. Ya, ritual ini memiliki hubungan erat dengan perjuangan Siti Hajar, isteri Nabi Ibrahim. Saat itu, Ismail, bayinya, menangis tak henti karena kehausan. Lalu Siti Hajar berusaha sekuat tenaga mencari air, bolak-balik antara bukit Safa dan Marwah. Allah tidak sekaligus menurunkan mukjizatnya, melainkan membiarkan Siti Hajar merasa galau dan gelisah dalam ikhtiarnya. Tiba-tiba saja, air keluar deras dari dalam tanah di dekat bayi Ismail. Inilah air suci yang hingga kini mengalir tanpa henti: air zamzam.
Dari peristiwa itu, Al-Qur’an sedang mengajarkan supaya kita tidak terjebak pada sikap pasrah tumarima tanpa mau berikhtiyar (dalam aliran teologi, sikap ini bagian dari doktrin aliran Jabbariyyah). Sabar tidak sama dengan pasif, melainkan berdoa lalu berusaha, seperti yang ditunjukkan Siti Hajar. Dia tahu, sang suami telah menempatkannya bersama Ismail di sebuah lembah gersang tanpa ada tanaman yang tumbuh disekitarnya. Tetapi, Siti Hajar tidak mau menyerah. Dia berusaha sekuat tenaga dan mengerahkan seluruh kekuatannya untuk mencari air demi menghilangkan dahaga sang buah hati.
Saya merasa tersentak. Hidayah Al-Qur’an tentang sabar, ternyata baru dipahami belum terimplementasi
Sebenarnya kami bukannya tak melakukan ikhtiar. Tapi yang periksa ke dokter kandungan, biasanya hanya isteri. Saya Cuma mengantar saja. Tak ada ikhtiar medis yang saya lakukan, untuk diri sendiri. Padahal, secara medis, penyebab infertilitas bisa dari isteri, bisa juga dari suami, atau keduanya. Informasi ini sudah sejak lama saya ketahui. Tapi karena konsep sabar yang keliru, dominasi budaya patriarkhi, ego yang tinggi serta rasa takut, suami biasanya enggan periksa ke dokter.
Akhirnya, terinspirasi konsep sabar dari Al-Qur’an tersebut, saya bertekad untuk menghadapi dan menyelesaikan masalah ini. Bukan sekedar berdoa, lalu pasrah atau menghindar dari masalah. Seorang dokter spesialis andrology di sebuah rumah sakit di Bandung pun saya kunjungi. Hasilnya, meski prosesnya tidak semudah membalikkan telapak tangan, pada 2011, alhamdulillah isteri saya hamil dan melahirkan. Bagaimana rasa bahagia itu datang, agak susah untuk diceritakan.
Oh ya, di dalam Al-Qur’an, ada dua kata kunci yang penting tentang sabar: Shafa dan Marwah. Shafa bermakna kesucian atau kebersihan. Maka, doa dan ikhtiar sebaiknya dilakukan dalam kondisi hati yang suci dan bersih karena Allah semata. Tidak usah kita menuntut keadilan, berburuk sangka, dan menjadikan amal2 kita untuk modal bernegosiasi dengan Tuhan. Toh kita hanya makhluk-Nya, yang tak punya hak untuk mengusulkan takdir. Menyerahkan diri secara total hanya kepada Allah, tanpa berpikir hasil, jauh lebih baik. Dengan kesucian hati, insya Allah kita akan mendapatkan kunci satunya lagi, yaitu kepuasan hati (Marwah).
*Dosen UIN Sunan Gunung Djati