Sudah sejak lama telinga kita akrab dengan istilah Islamofobia, dalam bahasa aslinya Islamophobia, yang artinya benci atau takut terhadap Islam. Para pengidap Islamofobia atau yang kemudian disebut dengan istilah Islamofobis itu menjadi pembenci Islam bukan tanpa sebab. Hal itu lantaran adanya semacam ketakutan terhadap gerakan-gerakan ekstrem, keras, dan teror yang diidentikkan dengan simbol-simbol Islam. Konon, ini merupakan rekayasa dunia Barat untuk mengonstruksi pemahaman bahwa Islam itu menakutkan, kejam, dan intoleran.
Secara sederhana Islamofobia bisa diartikan kebencian dan ketakutan terhadap ajaran, simbol, dan umat Islam. Dalam buku Islamofobia karya Karen Amstrong dkk disebutkan: Istilah Islamofobia pertama kali diperkenalkan sebagai suatu konsep dalam sebuah laporan “Runnymede Trust Report” tahun 1991 dan didefinisikan sebagai “permusuhan tidak berdasar terhadap umat Islam, dan dengan demikian, ketakutan atau kebencian terhadap semua atau sebagian besar umat Islam”.
Dalam laporan tersebut juga disebutkan bahwa istilah ini diciptakan dalam konteks umat Islam di Inggris khususnya dan Eropa umumnya, dan dirumuskan berdasarkan kerangka xenofobia (ketakutan dan kebencian terhadap orang asing) yang lebih luas.
Akar Islamofobia
Tentu saja sikap Islamofobia ini memberikan dampak yang luas. Mereka seolah mengeneralisir umat dan ajaran Islam mengarah pada teror dan kekerasan yang sebenarnya dilakukan oleh kelompok-kelompok perusak dengan membajak simbol-simbol Islam. Islamofobia dapat menjadi ekstrem baru. Ketakutan yang amat sangat terhadap gerakan Islam itu kemudian membuat umat Islam di beberapa belahan dunia menjadi terpinggirkan, terdiskriminasi, dan teralienasi dari kehidupan sosial maupun politik. Bahkan, antara umat Islam satu dan yang lainnya jadi berebutan curiga, saling mencurigai satu sama lain.
Eksklusifisme memang kerap terjadi di berbagai kelompok pemeluk agama manapun, termasuk Islam. Jika dikaji secara historis mungkin kita bisa mengklasifikasi kelompok-kelompok Islam berdasarkan aliran, mazhab, maupun ideologi dan gerakan. Yang sudah sama-sama kita kenal misalnya terpecahnya kelompok Islam menjadi Sunni dan Syiah yang berakar dari kemelut Sahabat pascawafatnya Rasulullah SAW.
Islamofobia sebetulnya lebih pada diakibatkan oleh adanya gerakan ekstrem, keras, dan teror semacam gerakan Negara Islam Irak dan Suriah atau ISIS. Akarnya dari mana? Pada 2013, disebutkan Karen, Uni Eropa menyatakan bahwa Wahabisme adalah sumber utama terorisme global. Namun, dia juga menerangkan, mungkin lebih tepat jika dikatakan sempitnya visi Wahabi merupakan lahan subur bagi berkembangnya ekstremisme (hlm 19). Wahabi kini dikenal dengan gaya keberislaman yang konservatif dan puritan.
Tesis Karen Amstrong mengatakan, “ISIS berakar pada Wahabisme, sebuah bentuk Islam yang dipraktikkan di Arab Saudi dan yang baru berkembang sejak abad ke-18.” (Islamofobia, hlm 24). Jadi, sebenarnya seperti dikatakan Karen Amstrong, ide Wahabisme yang mengusung kekerasan ini sama sekali jauh dari keberislaman yang dibawa Rasulullah, meskipun sama-sama berkembang di tanah Arab.
Wahabi yang merupakan prakarsa seorang reformis Islam asal Arab Saudi, Muhammad bin Abdul Wahab, menghadirkan gaya keberislaman yang ultrakonservatif, keras, dan puritan itu juga ditentang oleh banyak kalangan Sunni. Awalnya, aliran Wahabisme ini begitu berhati-hati dan menghindari perilaku takfiri (mengkafirkan orang lain), tapi makin ke sini hal itu makin dilanggar. Kaum Wahabi jadi yang paling gampang mengkafirkan orang yang berbeda pendapat.
Islamofilia
Islamofilia merupakan antonim atau kontradiksi dari Islamofobia. Berakar dari kata Islam dan –philia (cinta), secara bahasa bermakna pencinta Islam. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia memang belum ada kata Islamofilia, meski antonimnya, kata Islamofobia, sudah ada sejak lama. Biarpun begitu, istilah ini sudah digunakan oleh para ahli, peneliti, dan pengamat perkembangan peradaban Islam.
Wikiislam.net menyebutkan bahwa Islamophilia is a controversial neologism employed by some politicians, sociologists and journalists to describe unwavering and uncritical admiration of the values of Islam, generally associated with an admiration of Islamic civilization. (Islamofilia atau Islamophilia merupakan neologisme (kata bentukan baru) kontroversial yang digunakan oleh beberapa politisi, sosiolog, dan jurnalis untuk menggambarkan kekaguman yang teguh dan tidak kritis terhadap nilai-nilai Islam, umumnya terkait dengan kekaguman peradaban Islam).
Pengertian tersebut sepertinya mengarah pada peyorasi makna. Kalimat “kekaguman yang teguh dan tidak kritis terhadap nilai-nilai Islam” seolah menggambarkan kaum Islamofilia merupakan umat yang taklid dan tidak menggunakan akal dan nalarnya dalam menafsirkan dan menjalankan ajaran Islam. Apakah bagi mereka yang kritis terhadap nilai-nilai Islam tidak termasuk pencinta Islam? Maka, definisi tersebut kiranya perlu sedikit revisi agar makananya lebih netral. Islamofilia bisa kita maknai dengan “pencinta simbol dan ajaran Islam; orang yang mencintai Islam dan menjalankan ajarannya; umat Muslim.”
Jika kita dasarkan pada definisi tersebut maka jelas, gerakan-gerakan ekstrem, keras, dan teror semacam ISIS, bukanlah gerakan cinta terhadap ajaran Islam. Melainkan sebaliknya. Gerakan-gerakan garis keras semacam itu telah mengeksploitasi ajaran Islam untuk keuntungan dan kekuasaan belaka, yang mengakibatkan rusaknya citra dan wajah Islam di mata publik. Maka, mengidentikkan terorisme dan ekstremisme dengan ajaran Islam adalah hal yang amat keliru dan salah alamat. Kekerasan, teror, dan ekstremisme adalah ekspresi Islamofilia yang keliru.
Ketakutan terhadap Islam yang diderita para Islamofobis merupakan gejala sosial dan psikologis yang amat wajar. Bisa jadi para pengidap Islamofobia menganggap mereka yang menebar teror sebagai kelompok Islam yang menjalankan terornya atas dasar perintah agama.
Sehingga, generalisasi perilaku keberislaman itu membuat para Islamofobis melakukan konter dengan cara yang diskriminatif. Tentu saja, kita pahami itu sebagai bentuk antisipasi terhadap berkembangnya ideologi akstrem dan radikal yang bercokol di tubuh sebagian umat Islam itu. Namun, yang kita sayangkan, cara semacam itu justru cenderung menimbulkan teror jenis baru yang menyasar umat Muslim global.
Sementara di sisi yang lain, sebenarnya begitu banyak para pencinta ajaran Islam yang betul-betul berupaya menciptakan perdamaian di muka bumi, mengamalkan ajaran kasih sayang (rahmatan lil alamin), dan berorientasi kemajuan. Sebagaimana titah kitab suci bahwa Islam merupakan rahmat bagi semesta alam. Dengan begitu, konsekuensinya adalah tindak kekerasan bahkan–dakwah bernada pemaksaan, itu sama sekali bukan karakter Islam.
***
Sampai di sini penulis jadi curiga, jangan-jangan pada dasarnya–dari hati nurani yang paling dalam–para Islamofobis dan Islamofilis itu menginginkan dan mendambakan hal yang sama; yakni tidak ada lagi teror dan kekerasan atas nama agama atau atas nama apa pun di muka bumi ini. Hanya, ekspresinya saja yang kurang tepat. Wallahu alam. []
Comments 1