*Akmal Akhsan Tahir
Inilah masa masa paling memuakkan dalam realitas politik nasional, sebuah orde yang diisi indoktrinasi, demagog dan sekadar penggiringan opini belaka. Umara dan Ulama sama saja, tidak mampu menjadi kekuatan perekat antar keragaman bangsa akhir akhir ini. Sebaliknya, gelanggang politik diisi seolah olah merupakan pertarungan antara nasionalisme dan agama. Pilpres 2019 nir-gagasan, semacam mandul memberikan edukasi politik bagi publik.Lebih tragis lagi, jalannya pemilu telah memakan korban jiwa mendekati 300 orang, memilukan!
Ditengah krisis kebangsaan itu, kita memperingati Hari Pendidikan Nasional (HARDIKNAS), momentum yang bertepatan dengan hari kelahiran Ki Hajar Dewantara, pelopor pendidikan Nasional sekaligus penggagas Taman Siswa, setiap tanggal 2 mei, bangsa memperingati momentum hari pendidikan nasional ini. Disela-sela pertarungan politik akhir-akhir ini, sungguh merupakan momentum besar untuk mengevaluasi kembali ke arah mana pendidikan kita mampu membangkitkan kesadaran rakyat atas lingkungan sekitarnya, membuka pintu kejujuran dan keadilan, toleransi, dan penghargaan atas keberagaman.
Realitas Politik Nasional
Semenjak Prabowo Subianto mengumumkan niatnya untuk tampil kembali dalam gelanggang politik melawan Petahana, Jokowi, secara terburu-buru masyarakat mulai membelah dirinya dalam dua bela pihak, jika ia bukan Prabowo, maka sebaliknya, ia adalah Jokowi. Jalannya realitas politik semakin menegang kala akhirnya ulama turut terlibat mengadakan ijtima’ ulama untuk mendukung salah satu diantara keduanya. Disela-sela ketegangan inilah, media digital menjadi senjata kedua belah pendukung calon untuk saling menyudutkan satu sama lain, perang tagar lalu menghiasi Twitter demi upaya menggiring opini publik. Secara lebih singkat saya memandang bahwa persoalan politik nasional hari ini ialah :
Pertama, menguatnya politik identitas. Tentu dinamika ini tidak selalu buruk dalam negara yang demokratis dan multikultur, justru ia merupakan buah dari kebebasan berekspresi masyarakat. Persoalannya ialah, sejauh mana kemudian kita mampu menahan identitas diri dan golongan agar tidak masuk dalam jurang kebencian. Semenjak rangkaian aksi bela Islam dilaksanakan, idenititas golongan menguat dan cenderung memupuk perbedaan, bukan untuk direkatkan, sebaliknya justru untuk memperkuat sentimen antara pilihan politik. Dalam desakan persoalan seperti ini, tentu yang paling penting adalah mekanisme yang menegaskan bahwa politik identias dilakukan secara edukatif dan beradab. Para aktor politik yang tampil dalam kontestasi idelanya mampu menegaskan batas antara politik identitas yang sah dengan praktik politik identitas yang berpotensi membangun kebencian komunal.
Kedua, politik uang. Menjelang pemilu beberapa waktu silam, Kepolisian mengamankan mobil yang membawa uang senilai Rp 1,075 miliar beserta beberapa atribut salah satu partai di Lamongan, Jawa Timur. Di Kota Pekanbaru, Bawaslu dan polisi melakukan operasi tangkap tangan terhadap empat orang yang diduga akan melakukan politik uang, sebanyak Rp. 506.400.000 disita dari tangan pelaku. Kasus selanjutnya menimpa salah seorang calon anggota legislatif DPRD Sumatera Utara, ia sekaligus merupakan ketua tim pemenangan salah satu paslon.
Seluruh kasus politik uang yang menemani jalannya politik 2019 sesungguhnya merupakan manifestasi dari sikap pragmatis dari para aktor politik juga hasil dari masyarakat bawah yang buta politik hingga mudah tergoda dengan gesekan uang. Perihal ini melanggengkan politik transaksional dan menghidupkan pragmatisme politik.
Ketiga, Cengkeraman Oliarki. Film dokumenter Sexy Killers setidaknya akhir-akhir ini membuka kesadaran kita akan cengkeraman oligarki politik, sebuah film yang menguak sisi gelap di pertambangan batu bara dan PLTU-nya di negeri ini. Kasus ini sungguh hanya satu kasus dibalik oligarki lain yang menemani realitas polik. Kepala Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Forman Noor berpendapat bahwa politik oligarki di Indonesia berumber dari dua hal, ketimpangan ekonomi dengan 0,0000000002 persen masyarakat menguasai 10 persen PDB di Indonesia serta warisan orde baru dalam sistem eknomi politik.
Keempat, Hoax. diskurus politik tidak hanya menjadi konsumsi masyarakat dalam dunia maya, realitas politik juga terjadi dalam ruang maya, khususnya di media sosial. Dalam perjalan politik pemilu, terjadi apa yang disebut sebagai hiper-realitas dimana kepalsuan bersatu dengan keaslian. Perihal inilah yang kemudian menggiring opini publik yang notabene tak memiliki basis literasi yang kuat. Terjebaklah masyarakat dalam informasi yang hoax dan tidak edukatif.
Hardiknas : Apa Gunanya Pendidikan?
Dalam perjalan politik demikian, apa hubungannya politik dan pendidikan?, apa gunanya pendidikan bagi politik?.
Persoalan kita sebenarnya ialah ketidakmampuan memahamkan pelajar akan relasi politik dan pendidikan, sebaliknya dalam ketidaksadaran, masyarakat tak paham bahwa ia sedang terjebak dalam apa yang dikatakan oleh Gramsci sebagai hegemoni. Pendidikan nasional terlihat seolah olah sebagai obat pembius atas kenyataan lingkungan sekitar. Dalam nestapa demikian, sangat diperlukan ideologi pendidikan yang mampu membangkitkan kesadaran rakyat atas kenyataan. Mazhab pendidikan kritis dalam hal ini menyadari kenyataan demikian, pendidikan kritis meyakini adanya muatan poltiik dalam semua aktivitas, termasuk aktivitas pendidikan.
Momentum Hari Pendidikan Nasional adalah evaluasi ideologis dalam tubuh pendidikan saat ini di Indonesia. Tingginya angka golput, mudahnya emosi masyarakat dibakar, politik uang, politik identitas dan hoax yang selama ini menemani perjalanan politik kita adalah peristiwa yang mesti ditangkap oleh lembaga pendidikan sebagai persoalan mendesak yang mesti diperhatikan.
*Kepala Madrasah Digital Yogyakarta