Oleh: Dwi Bagus Irawan*
Islam lahir di tengah bangsa Arab pada 14 abad yang lalu sebagai agama samawi yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. Kehadira Sang Nabi yang menjadi rahmat bagi alam raya, bukan hanya untuk umat Islam sendiri. Agama ini menjadi penyempurna atas agama samawi terdahulu, Nabi Muhammad pun dinobatkan menjadi nabi terakhir atau penutup para nabi.
Sebagai agama penutup, Islam memiliki keunikan tersendiri dibanding dengan agama lainya. Islam menghadirkan konsep agama sebagai tatanan utama dalam kehidupan. Islam tidak hanya mengatur tentang hubungan manusia dengan Tuhan, tapi juga mengatur hubungan manusia dengan alam raya dan sesama.
Dilihat dari sejarah, Islam mampu mengubah peradaban bangsa Arab. Tatanan bangsa Arab yang semula kolot dan jumud, bahkan tidak mengenal perikemanusiaan, menjadi berubah 180 derajat berkat hadirnya risalah Islam. Dapat pula dikatakan Islam menjadi ideologi dan menjadi pedoman kehidupan baru warga Timur Tengah.
Refleksi Al-Quran
Al-Quran adalah kitab suci umat Islam. Wahyu Tuhan yang menjadi kitab suci terakhir dari rahim agama samawi untuk pedoman umat Islam. Di dalamnya banyak menerangkan secara konseptual peran Islam dalam memandang kehidupan. Keunikan Al-Quran dibandingkan kitab lainnya sangat tampak.
Sebagian besar kitab menerangkan tentang ketuhanan dan hubungan manusia dalam bertuhan dan menghamba. Al-Quran juga menerangkan tentang konsep kehidupan yang universal dan menyeluruh. Di dalamnya sangat menekankan konsep kehidupan bagi umat Islam agar menjadi saleh. Saleh secara pribadi, sosial, dan universal.
Hal ini sangat tercemin dari berbagai ayat yang terdapat di dalamnya, sebagai contoh dalam suatu ayat yang sering dipakai Muhammadiyah, yakni QS Ali Imran ayat 104. Ayat ini mengandung dua lapis dimensi humanisasi. Pertama, terdapat kata al-khair dan al-ma’ruf.
Al-khair adalah kata kebaikan yang bersifat diakui oleh semua golongan dan agama apa pun, kebaikan universal secara duniawiah. Dimensi humanitas kedua adalah al-ma’ruf. Al-ma’ruf adalah kebaikan khusus yang hanya berlaku secara internal Islam dan kebaikan yang lebih mengandung makna transendental; ketuhanan.
Islam dalam Dinamika Global
Islam mengalami dinamika dan pergolakan yang kuat. Banyak kejadian yang terjadi di dunia ini karenanya. Bukan hanya dalam hal kebaikan yang mengarah ke internal umat Islam sendiri, namun banyak juga peristiwa yang terjadi menjadikan citra Islam buruk. Dari banyaknya peristiwa ini munculah fenomena phobia terhadap Islam. Terutama di dunia Barat, fenomena Islamofobia menjadi momok bagi masyaratkat Barat.
Islamofobia hari ini yang paling populer adalah soal teroris. Banyak peristiwa yang menjadikan Islam lekat dengan diksi terorisme. Hal ini mengubah pengartian Islam yang damai dan sejuk menjadi agama yang membawa peperangan dan permusuhan. Ditambah lagi dengan makin berkecamuknya perang di negara-negara Timur Tengah yang notabene negara Islam, makin menjadikan citra Islam buruk dan jahat dalam pendangan masyarat global.
Perlu diketahui, perkembangan Islam tidak hanya dalam aspek akidah, ibadah, dan hal yang berkaitan dengaan jihad semata. ada aspek sosial yang berkembang dan kemudian memberi warna di suatu daerah dimana Islam tersebut hadir dan berkembang. Dalam kebudayaan dan dinamika sosial, Islam mengaturnya dalam ketentuan muamalah.
Dalam hukum dasar muamalah adalah semuanya boleh asal tidak ada dalil yang melarang. Melihat perkembangan dan metode pengembangan Islam akhir-akhir ini, terkhusus di Indonesia, sangat memungkinkan Islamofobia pada aspek budaya akan muncul ke depan. Hal ini dengan melihat kian banyaknya paham Islam transnasional di Indonesia.
Bukan masalah kehadirannya yang membawa aliran, tapi lebih pada metode dan sistem gerakan dakwah yang digunakan. Bahkan, secara subjektif dapat dikatakan dengan taktik mencari perlindungan di bawah ormas yang sudah ada. Mereka membangun sebuah rumah di dalam rumah, jika rumah yang mereka bangun sudah berkembang kemudian merusak jati diri pemikiran rumah yang asli. Mungkin jika dianalogikan, sesederhana itu perumpamaan cara mereka melakukan penyebaran pahamnya.
Dinamika Islam Indonesia
Dalam konteks historis, di Indonesia ada dua ormas besar yang asli milik Indonesia. Walau masih banyak lagi, tapi dua ini sering mewakili sebagian besar kalangan umat Islam di Indonesia. Dua ormas ini adalah Muhammadiyah dan NU.
Secara kultur memang kedua ormas ini berbeda. Muhammadiyah lahir dari Yogyakarta dengan geografi perkotaan dan didirikan oleh seorang Muhammad Darwis yang bekerja sebagai seorang pedagang. Muhammadiyah sering diwakili dengan kalangan menengah dan kaum intelektual.
Sedang saudara Muhammadiyah, yaitu Nahdatul Ulama, dilahirkan di Jombang, Jawa Timur, yang secara geografi adalah daerah kota kecil dan pedesaan, dengan seorang pendiri adalah sosok kiyai pondok pesantren. Kalangan NU sering mewakili kalangan tani dan kaum santri.
Perbedaan inilah yang membuat dua organisasi ini memiliki perbedaan. Tapi pada hakikatnya keduanya banyak memiliki kesamaan. Muhammadiyah dan NU sama-sama berislam secara kaffah tanpa meninggalkan corak asli bangsa Indonesia semangat keindonesiaan. Bahkan, keduanya terlibat dalam usaha merebut kemerdekaan Indonesia.
Pertentangan budaya dan agama bukan hal baru dalam perjalanana dunia. Namun, terkhusus di Indonesia, sampai saat ini semua masih dapat berjalan secara seimbang. Agama yang hadir mampu berkembang dengan tetap memberi ruang untuk budaya bertahan. Bagaimana gerakan Islamisasi budaya dilakukan oleh para pendakwah.
Islam indonesia berkembang menjadi agama terbesar di Nusantara, tapi Islam tetap mampu untuk memberikan ruang bagi budaya lokal. Walaupun ada juga konflik antara pemangku adat dan para pemangku agama di beberpa momen tertentu.
Integrasi Adat dan Nilai Agama
Pada era globalisasi, perpaduan antara adat dan agama menjadi identitas tersendiri dan menjadi benteng bagi generasi muda untuk melawan arus globalisasi. Agama dan adat menjadi benteng moral dan perilaku bagi komponen bangsa di tengah abu-abunya identitas nasional.
Perlunya komparasi nilai yang masif dan terstruktur baik dari kalangan adat yang merepresentasikan aspek kebudayaan dan nilai lokal. Agama yang mereprentasikan nilai yang bersifat ketuhanan dalam aspek spiritualitas, walau pada banyak kasus adat juga mengandung nilai spiritualitas yang berhubungan dengan leluhur atau kepercayaan para nenek moyang yang ada.
Yang diambil dari adat bukan pada aspek kepercayaan atau ritualitas yang terdapat di dalamnya semata. Melainkan, lebih dititikberatkan pada nilai yang terkandung dalam adat tersebut. Secara tidak langsung, adat telah memberikan kita pelajaran secara tidak tertulis kepada para pendahulu kita.
Sejarah adat lahir dari dinamika antarpemikiran penduduk yang kemudian melahirkan kesatuan tradisi yang dihasilkan dari kesepemahaman pikiran, kelahiran adat menyesuaikan dengan kondisi lingkungan dan situasi sosiologi yang berkembang dalam masyarakat tersebut. Sehingga, nilai yang lahir dari adat suatu daerah dapat dipastikan mengandung nilai lokal yang autentik dari kondisi masyarakat di daerah tersebut.
Agama, secara arti kata menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah suatu sistem yang mengatur tata keimanan serta peribadatan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa serta aturan atau tata kaidah yang memiliki hubungan dengan pergaulan manusia dengan manusia, manusia dengan Penciptanya serta manusia dengan lingkungannya.
Sehingga, dapat diartikan bahwa agama adalah norma yang lahir perangkat wahyu berupa kitab suci. Aagama berbeda dengan adat, adat lahir dari manusia sedangkan agama lahir dari wahyu. Namun, dalam ranah nilai, agama senantiasa mengajarkan kebaikan kepada para umatnya, baik secara universal maupun kebaikan dalam ranah mikro khusus untuk golongan agama sendiri.
Mungkin dalam arti sempit, penulis berpendapat, perbedaan agama dan adat adalah secara aspek kelahiran. Agama lahir dari atas berupa wahyu yang merupakan bahasa langit dan kemudian diturunkan ke bumi. Sedangkan adat muncul dari bawah yang brupa kesepakatan masyarakat dan kemudian menjadi nilai yang melekat pada masyarakat tersebut.
Integrasi agama dan adat bukan juga mencampuradukkan ajaran keduanya secara bias, yang kemudian menghilangkan nilai-nilai pokok yang lahir dari keduanya. Kita akan menjadi umat Islam yang kaffah dalam ranah ibadah dan aqidah, tapi menjadi manusia yang berbudaya dan beradat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Maka, diperlukan sebuah integrasi dan interkoneksi antar keduanya. Bagaimana adat yang mengandung nilai Ketuhanan sesuai dengan tujuan agama dan dakwah agama yang beradat.
*Ketua PK IMM FAI UMY Periode 2019/2020