MADRASAHDIGITAL.CO – Oleh: Ahmad Soleh
Bicara soal hakikat agama dalam kehidupan manusia, saya yakin semua sepakat bahwa agama adalah sumber ketenangan, ketenteraman, dan kedamaian hidup. Agama juga memberikan ajaran-ajaran moral dan etis serta harapan akan hari esok kepada penganutnya. Siapa pun orangnya, dengan adanya keyakinan bernama agama pasti selalu memiliki harapan untuk menjalani hidup.
Namun, tak bisa dimungkiri kadang dengan adanya ragam agama di dunia ini, pasti ada yang merasa paling benar. Tentu saja dengan dalil-dalil agamanya masing-masing, bahkan dalil paham golongannya masing-masing. Lalu tebesit pertanyaan. Mengapa Allah tidak membuat semua manusia sebagai pemeluk satu agama?
Padahal, saya meyakini, itu bukanlah hal yang sulit bagi Sang Pencipta yang telah menciptakan alam semesta ini. Namun, Allah berfirman, “Dan seandainya Allah menghendaki niscaya Dia akan menjadikan kamu satu umat, akan tetapi Dia hendak menguji kamu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Maka berlomba-lombalah kamu dalam kebaikan.” (QS al-Maidah: 49).
Dalam ayat lain, Allah juga berfirman, “…dan tak ada satu orang pun yang beriman, kecuali atas izin Allah Swt dan Allah Swt akan menjauhkan kepada keburukan dan kekejian bagi orang-orang yang tidak menggunakan akalnya.” (QS Yunus: 99-100). Allah Maha membolak-balikkan hati hamba-Nya. Siapa pun yang ia kehendaki akan mendapat hidayah untuk beriman kepada-Nya, begitu pun siapa yang ia hendaki tidak beriman maka akan tertutup dari hidayah-Nya.
Agama Cinta
Islam adalah agama cinta. Ajaran cinta dalam Islam tercermin dalam ungkapan rahmatan lil alamin, rahmat bagi alam semesta. Pembahasan mengenai poin ini dijabarkan Edi AH Iyubenu dalam bukunya bertajuk Agama adalah Cinta, Cinta adalah Agama (Diva Press, 2020).
Agama adalah cinta, cinta adalah agama. Ada penegasan antara dua ungkapan tersebut. Agama adalah cinta dan cinta adalah agama. Kedua kata itu dalam catatan Iyubenu, pernah diungkapkan oleh tokoh masa awal Islam bernama Imam Jafar ash Shidiq.
Iyubenu juga mengutip Haidar Baqir. Dalam catatannya, pengulangan dua narasi yang mengandung makna yang sama dengan susunan dibalik itu mencerminkan makna balaghah keduanya sebagai:
- Saling mengisi satu sama lain (sublimasi).
- Saling mengindentifikasi satu sama lain, dan
- Agama adalah pembumian dimensi Langit dan cinta adalah pelangitan dimensi Bumi.
Aspek-aspek agama Islam pada dasarnya adalah untuk menghidupkan kemanusiaan, etika, dan persaudaraan antar sesama manusia. Terdapat nilai-nilai universal di dalamnya. Jadi, ungkapan habluminallah dan habluminannas itu merupa sebagai keseimbangan mutlak agar Islam itu benar-benar menjadi rahmat bagi semesta alam.
Surah al-Anbiya ayat 107 berbunyi, “Dan tidaklah Kami mengutusmu (Muhammad) selain untuk menjadi rahmat bagi alam semesta ini.” Ayat ini juga dikuatkan oleh banyak ayat dan hadis. Misalnya surah an-Naml ayat 77, surah al Furqon ayat 63, al-Maidah ayat 8, Ali Imran 110, al Hujurat ayat 10, surah al Maun, dan lainnya.
Keselamatan terhadap orang lain adalah salah satu tujuan dari Islam karena Islam sendiri bermakna selamat dan menyelamatkan. Hadis riwayat Ahmad dan an Nasai berbunyi, “Orang mukmin adalah orang yang mampu menjamin keselamatab orang lain dari lisan dan tangannya.”
Iyubenu menyebutkan bahwa ajaran Islam dalam perkara cinta dapat digolongkan dalam dua kategori, yakni cinta secara akidah dan cinta secara kemanusiaan. Kita biasa mendengar ungkapan habluminallah dan habluminannas, hubungan vertikal dan horizontal. Benar sekali, antara keduanya harus seimbang. Keseimbangan itulah yang bakal membuat ajaran Islam menjadi rahmatan lil alamin sebagaimana kita idam-idamkan.
“Cinta secara akidah merupakan cinta paling hakiki antara manusia dan Tuhannya, Allah Swt. Tidak ada derajat cinta yang boleh lebih tinggi dibanding urusan ini,” kata Iyubenu dalam catatannya. Lalu bagaimana ejawantah cinta secara akidah ini? Menurut Iyubenu, ejawantah cinta ilahiah ini adalah khauf dan raja’ (takut dan harap).
Sementara cinta secara kemanusiaan, Iyubenu menjelaskan, ada dua petanya, yakni seiman dan tak seiman. Cinta terhadap sesama Muslim dan non-Muslim. “Kepada saudar seiman, seakidah, sudah terang tiada keraguan sedikit pun perihal kewajiban untuk saling menghormati dan memuliakan satu sama lainnya,” kata Iyubenu dalam buku setebal 200 halaman ini.
Dia juga mengacu pada al-Hujurat ayat 110. Sementara terhadap non-Muslim, Iyubenu mengutip surah al-Baqarah ayat 220, “…katakanlah: Berbuat baik kepada mereka itu lebih baik, dan jika kalian bergaul dengan mereka maka mereka menjadi saudara kalian…” Ia juga menegaskan dengan mengutip pendapat Quraish Shihab. Menurut Quraish, ayat tersebut juga relevan menjadi landasan untuk berbuat baik kepada sesama manusia tanpa embel iman. Jadi, termasuk non-Muslim juga.
Ajaran Islam sebagai agama cinta membuat kita sebagai umat Muslim mesti senantiasa berusaha sekuat tenaga, iman, dan nalar untuk bisa menghormati seluruh umat manusia. Karena cinta itulah ajaran Islam memiliki nilai yang universal dan objektif, bisa diterima semua golongan dan kalangan. Saat hendak berbuat baik terhadap seseorang, berbuatlah. Tak perlu menanyakan lebih dulu apa agamanya, bukan?
Buya Syafii tentang Persatuan
Dalam catatan Iyubenu tak luput juga mengenai pesan ukhuwah Islamiyah, persatuan umat Islam. Kritik mengenai ukhuwah Islamiyah ini kerap dilontarkan oleh Buya Ahmad Syafii Maarif, mantan ketua umum PP Muhammadiyah. Salah satu ayat yang sering dikutip Buya Syafii yaitu Ali Imran ayat 103, “Dan hendaklah berpegang teguhlah kalian kepada tali Allah semua dan janganlah berpecah belah…”
Problem umat Islam seperti sekarang ini adalah tidak bisa membedakan sumber pokok ajaran Islam yakni Al-Quran dan sunah dengan tafsiran-tafsirannya, yakni mazhab, aliran, dan sebagainya. Problem ini, menurut Buya Syafii, membuat ekpresi keberagamaan kita kerap tidak tepat dan menyulut pertikaian.
Dalam catatan itu, Iyubenu menceritakan dirinya memberikan pantikan pertanyaan kepada Buya Syafii. Inti pertanyaannya mengenai perpecah-belahan yang kerap terjadi di antara umat Islam itu sendiri yang kadang terkotak-kotak oleh paham, pandangan, mazhab, aliran, dan gaya bahasa.
Lalu, Buya Syafii menjawab sembari tersenyum, “Kata kuncinya (selain memahami Al-Quran yang mutlak benar dan tafsir-tafsirnya yang tak mutlak benar) ialah aqlun salim (akal sehat) dan qalbun salim (hati bersih). Keseimbangan antara iman, intuisi, dan rasio menjadi kuncinya. Ya, Islam adalah agama bagi orang-orang yang berpikir. Maka, beragama (berislam) amat membutuhkan yang namanya akal sehat.
Maka, kata Iyubenu, fondasi besar yang harus kita koreksi dari ruahnya perpecah-belahan di antara umat Islam hari ini harus lebih menyasar pada kualitas hati. Hati yang bersih, hati yang lillahi taala.
“Soal kemampuan ilmu pengetahuan kita, kemajuan metodologi kita, dan khazanah literatur yang bisa kita rujuk, amatlah berlimpah. Akal sehat kita pun terinfeksi oleh hati yang kotor itu, akibat syahwat kekuasaan dan hawa nafsu itu, sehingga ungkapan dan perbuatan kita terjerembap pada menang-menangan, benar-benaran, saleh-salehan,” kata Iyubenu.