MADRASAHDIGITAL,CO, Oleh: Muhammad Fakhruddin*
Dalam sebuah dialog antarmahasiswa tingkat akhir biasanya muncul pertanyaan mau kerja di mana setelah lulus? Mau pilih melamar di korporasi atau startup? Enakan kerja kantoran atau tanpa jam kerja? Pertanyaan ini kerap muncul terutama dalam diskusi antarcalon sarjana, terutama mahasiswa studi non profesi. Sehingga memunculkan kegalauan di benak mereka. Pertanyaan seperti ini timbul seiring dengan derasnya arus informasi. Kalau dahulu sulit mencari kerjaan karena derasnya informasi, namun sekarang justru sebaliknya, derasnya arus informasi membuat para calon sarjana bingung menentukan pilihannya.
Hal ini terjadi karena para sarjana belum tahu passion-nya di mana, hingga mau tamat kuliah. Sementara pada saat yang sama banyak bermunculan bisnis startup. Kondisi ini sangat menjanjikan karena selain gajinya yang menggiurkan, suasana dan kebijakan kerjanya biasanya cocok dengan selera milenial. Misalnya, kerja dengan tidak perlu datang ke kantor. Bandingkan dengan dunia kerja di korporasi yang menuntut karyawan harus datang ke kantor dengan ketentuan jam kerja.
Saat ini terdapat 4 unicorn di Indonesia. Pemerintah menargetkan muncul dua unicorn lagi dan menggalakkan bermunculannya start up baru. Pemerintah seperti menemukan core bisnis yang menjanjikan di bidang ini. Pusat Kebijakan dan Tata Kelola Inovasi (CIPG) mengeluarkan laporan tentang identifikasi tren, proyeksi, dan agenda perubahan di bidang TIK dan media di Indonesia. CIPG adalah kelompok penasihat berbasis penelitian yang bercita-cita untuk unggul di bidang sains, teknologi, inovasi dan tata kelola. Beberapa temuan sangat relevan, terutama tentang tren yang muncul dan proyeksi ekonomi digital di Indonesia. Laporan ini mengacu pada temuan dari penelitian yang bertujuan untuk memberikan pemahaman tentang lanskap ekonomi digital di Indonesia. Visi ekonomi digital Indonesia yang ingin menjadi yang terbesar di ASEAN pada tahun 2020, dengan transaksi e-commerce mencapai US $ 130 miliar pada tahun 2020.
Indonesia adalah negara digital. Terdapat 132.7 juta pengguna aktif internet dari total populasi penduduk Indonesia sebanyak 256,2 juta (APJII (2016), We Are Social (2017)). Terdapat 123,3 juta pengguna aktif mobile internet dan 95.87 juta pengguna smartphone. Rata-rata pengguna mobile internet menghabiskan waktu hingga 4 jam sehari. Namun, infrastruktur sambungan internet belum dikembangkan secara merata sehingga membuat pengguna internet menjadi terpusat di pulau Jawa. Saat ini terdapat total 371,4 juta sambungan mobile internet. Perkembangan teknologi internet ini membuat smartphone menjadi barang yang diperlukan. Sehingga dapat kita saksikan juga terjadi booming media sosial seperti Facebook, Twitter.
Tren yang muncul dari perkembangan internet di Indonesia yakni melahirkan Go-Jek, layanan transportasi on-demand pertama di Indonesia yang didirikan sejak 2010, kemudian aplikasinya diluncurkan pada 2015. “Sebuah aplikasi untuk setiap kebutuhan”, memfasilitasi (hampir) apa pun sesuai permintaan. Startup resmi unicorn pertama di Indonesia. Salah satu pendorong utama ekonomi digital hype di Indonesia.
Efek yang muncul dari lahirnya Go-Jek ini menciptakan pasar kerja baru, lebih dari 20.000 pengemudi wiraswasta. Penghasilan mereka lebih tinggi dari pengemudi konvensional. Aplikasi ini memfasilitasi mobilitas, sehingga lebih banyak orang menggunakan angkutan umum. Selain efek positif, ada juga efek yang mengganggu dari kelahiran Go-Jek, yakni benturan antara ojek berbasis konvensional dengan driver ojek berbasis aplikasi. Peraturan tentang pengemudi berbasis aplikasi juga belum mendukung.
Selain aplikasi gojek muncul juga model bisnis FinTech. Pemain FinTech berkembang pesat sebesar 78% dalam dua tahun terakhir. Terutama fokus di sektor pembayaran, mempromosikan inklusi keuangan, tagihan operator, agen pembayaran, dan perbankan tanpa cabang. Peningkatan FinTech didukung oleh populasi penduduk yang tidak memiliki rekening bank di Indonesia. Hanya 36% orang dewasa yang memiliki rekening bank. Selain itu, pemerintah mendukung perkembangan FinTech dengan peraturan tentang pinjaman P2P FinTech di Indonesia. Bahkan sudah ada Kantor FinTech Bank Indonesia (BI FTO).
Bisnie e-commerce juga mengalami peningkatan, sebanyak 8 juta orang berbelanja online dan terus meningkat. Hal ini didorong oleh meningkatnya jangkauan pasar dan kelas menengah, prilaku konsumtif dan digital orang Indonesia. Jual beli online di Indonesia masih hanya 0,8% dari total penjualan ritel, sedangkan China mencapai 11%, dan Amerika Serikat 8%. Pemerintah menargetkan transaksi online meningkat hingga US $ 130 miliar pada 2020. Salah satu caranya, dengan mengeluarkan beberapa kebijakan yang mendukung, seperti paket kebijakan ekonomi berupa peta jalan e-commerce. Pemerintah juga menggalakkan penciptaan lapangan kerja baru di UKM, sehingga memungkinkan semua orang untuk memulai bisnis mereka sendiri melalui internet, mendorong ekspansi perdagangan dengan menjangkau pemirsa yang lebih luas, mengizinkan UKM untuk menjual produk dan layanan online.
Perusahaan digital mulai tumbuh pesat di Indonesia. Terdapat 1463 perusahaan baru di Indonesia, 3 tertinggi di dunia setelah AS dan India. Kebanyakan dari mereka memiliki tujuan bersama memecahkan masalah sosial dan memberi dampak signifikan bagi masyarakat. Lalu di manakah posisi para sarjana Indonesia di tengah arus baru ini. Kebanyakan mereka baru membaca peta setelah tamat kuliah namun telat mempersiapkan diri memasuki dunia kerja di era revolusi industi 4.0 saat ini. Kecuali pada jurusan tertentu, mahasiswa tidak mendapatkan keterampilan tertentu di ruang-ruang kelas. Ada gap antara dunia kampus dengan dunia kerja. Di sinilah peran Madrasah Digital yang mencoba menjembatani gap tersebut. Madrasah digital berusaha memberikan pelatihan gratis yang menyasar ke generasi milenial. Masing-masing kader komunitas Madrasah Digital diharapkan memiliki satu keahlian dari tiga fokus yang diajarkan di Madrasah Digital, yakni workshop menjadi konten kreator, membuat dan mengelola web, dan jurnalisme siber.
*Inisiator Madrasah Digital