MADRASAHDIGITAL.CO- Oleh: Maura Pemelie Walidain (Mahasiswa Magister Kenotariatan, Universitas Gadjah Mada)
Di tahun 2024, dalam era di mana perceraian semakin umum, tidak mengherankan jika perjanjian kawin semakin populer. Akhir-akhir ini banyak orang yang membahas perjanjian Kawin lewat media sosial, fenomena ini menjadikan masyarakat jadi terbuka untuk mempelajari hal mengenai perjanjian Kawin itu sendiri. Namun, meskipun kesadaran terhadap perjanjian kawin meningkat, masih terdapat tantangan dalam implementasinya. Salah satunya adalah stigma sosial yang masih melekat, di mana perjanjian kawin seringkali dianggap sebagai indikasi adanya ketidakpercayaan antara pasangan. Selain itu, akses terhadap informasi dan layanan hukum yang memadai juga menjadi kendala, terutama bagi masyarakat di daerah terpencil. Hal ini sebelumnya memang dipenuhi pro dan kontra oleh masyarakat, beberapa yang pro melakukan Kawin karena menganggap hal ini adalah sesuatu yang bijak agar melindungi pernikahan dari orang ketiga, melindungi anak-anak, melindungi asset dan harta bawaan yang didapatkan melalui warisan. Hal ini juga ada beberapa yang kontra, kebanyakan masyakarakat negara Timur, menganggap perjanjian Kawin adalah sesuatu yang menyalahi apa yang telah diatur dalam pedoman, terkesan cenderung materialistis dan egois serta tanda ketidakpercayaan dalam pernikahan. Terutama karena perjanjian ini mencakup masalah finansial yang sensitif untuk diperbincangkan bagi sebagian besar orang.
Peran Pemerintah
Menghadapi tantangan ini, peran pemerintah dan lembaga swadaya masyarakat dalam menyediakan pendidikan dan akses informasi tentang perjanjian kawin menjadi sangat penting. Dengan demikian, masyarakat dapat membuat keputusan yang lebih terinformasi dan matang terkait dengan perjanjian kawin, sehingga dapat memanfaatkannya sebagai alat untuk menciptakan pernikahan yang lebih adil dan aman.
Sebenarnya, perjanjian Kawin aspeknya bukan hanya ketika bercerai, justru yang diatur adalah ketentuan-ketentuan hak dan kewajiban pada saat pernikahan itu berlangsung. Hal-hal yang diperjanjikan bukan hanya sebatas soal harta, dapat juga terkait masalah lainnya yang penting untuk diperjanjikan, misalnya kejahatan rumah tangga seperti selingkuh, Kekerasan Dalam Rumah Tangga (physical abusive) dan sesederhana setelah menikah bagaimana perjanjian karirnya, dan sebagainya. Karena hal ini perlu diperjanjikan untuk melindungi kedua belah pihak dari perbuatan-perbuatan yang tidak diinginkan di kemudian hari. Perjanjian Kawin juga menjadi perlindungan terjaganya bahtera rumah tangga.
Kesadaran terhadap perjanjian kawin yang meningkat merupakan langkah maju menuju pemahaman bahwa pernikahan bukan hanya tentang cinta dan romansa, tetapi juga tentang kemitraan yang memerlukan pengaturan yang jelas dan adil. Dengan demikian, perjanjian kawin tidak hanya menjadi simbol kesetaraan dan keadilan, tetapi juga bukti dari kedewasaan berpikir dalam membangun fondasi pernikahan yang kuat. Selengkapnya mengenai perjanjian kawin dapat dilihat pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, di undang-undang tersebut mengatur jenis-jenis perjanjian yang dapat dilakukan oleh pasangan kawin. Dalam undang-undang tersebut, perjanjian kawin dibuat sebelum perkawinan dilangsungkan dan sebelumnya disebut Perjanjian Pranikah, namun setelah kelarnya Putusan MK Nomor 69/PUU-XIII/2015 sebutannya diubah menjadi Perjanjian Kawin dan sudah bisa dibuat setelah perkawinan berlangsung, maka dari itu pasangan yang telah menikah berapapun lamanya masih bisa melakukan pembuatan perjanjian kawin dengan syarat tidak boleh ada yang dirugikan, baik itu pihak isteri, pihak suami maupun pihak ketiga.
Perjanjian Kawin ini merupakan bentuk mencatat semua kepercayaan dalam bentuk surat. Jadi perlu diketahui, Suami dan Isteri harus sepenuhnya sadar, mengerti dan ikhlas ketika akan membuat perjanjian Kawin. Adanya perjanjian Kawin bukan berarti melepaskan tanggungjawab suami dalam menafkahi isteri dan anak-anak, karena dalam Pasal 80 ayat (2) dan ayat (4) KHI, menjelaskan yaitu bahwa suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya. Singkatnya, dalam Hukum Islam mengatur apabila harta isteri dan suami terpisah, harta isteri 100% punya isteri, sedangkan dalam harta suami, terdapat hak isteri di dalamnya.