MADRASAHDIGITAL.CO- Oleh: Agil Asrifalgi (Pimpinan Umum Media Informasi PC IMM Gowa)
Apakah kita pernah berfikir bahwa negara Indonesia merupakan negara hukum? ketika kita mengamini hal tersebut. Mari menilik kejadian yang baru saja terjadi di Papua Barat, tepatnya di Kabupaten Sorong.
Melansir dari detikcom, Seorang wanita di Kabupaten Sorong, Papua Barat, dianiaya dan diarak setengah bugil, lalu dibakar oleh sejumlah warga. Hal tersebut dilakukan lantaran korban dituduh sebagai penculik anak.
Lantas kejadian yang menewaskan seorang wanita setelah dirinya diamuk massa dan dibakar hidup-hidup memperlihatkan bagaimana realitas sosial itu terjadi dimana warga dengan gampangnya termakan informasi yang belum jelas kebenarannya.
Akibatnya warga langsung saja menghakimi korban tanpa berfikir panjang, terlepas apakah itu benar atau salah. Sehingga dampak dari perbuatan yang dilakukan seolah menyaratkan sebuah kebenaran mutlak terhadap dirinya (masyarakat yang menghakimi).
Layakkah kita disebut sebagai pendukung tegaknya keadilan yang seadil-adilnya ketika kita dengan gampangnya menghakimi tanpa ada kejelasan dan hukum yang membenarkan? apa yang membedakan diri kita dengan pelaku kejahatan? bagaimana jika yang dihakimi itu tidak terbukti melakukan tindak kejahatan? apakah kata ‘maaf’ yang dilontarkan masih bisa menjadi penawar dari nyawa yang sudah lenyap?
Ketika melihat kejadian yang ada di Sorong, disinformasi yang dikonsumsi oleh masyarakat saat ini bukan lagi menjadi hal yang tak lazim. Dimana ketika terjadi sebuah tindakan kejahatan, masyarakat akan serta merta menggiring isu tersebut sebagai sebuah kasus ‘penculikan anak’ yang juga sempat hangat di kalangan masyarakat hingga menjadi isu nasional, padahal fakta di lapangan berbicara sebaliknya.
Salah satu dampak era digitalisasi yang harus diterima ialah proses penyebaran dan pertukaran informasi yang sangat cepat. Sisi positifnya, masyarakat bisa dengan mudah mengakses berbagai informasi, namun disisi lain yang menerima informasi akan dibanjiri oleh banyaknya informasi yang beredar sehingga kesulitan untuk membedakan antara yang real dengan yang sifatnya masih simpang siur.
Masyarakat perlu didorong untuk lebih kritis lagi dalam menanggapi suatu peristiwa yang beredar sehingga tidak menimbulkan polemik yang tidak perlu terjadi. Jikalau peluru dapat membunuh satu orang, maka informasi bohong atau hoaks bisa menembus ribuan bahkan jutaan orang.
Negara Hukum Tapi Suka Main Hakim Sendiri?
Dalam pasal 1 ayat 3 Undang-undang dasar 1945 berbunyi “Negara Indonesia adalah negara hukum”. Republik Indonesia yang terletak di Benua Asia merupakan sebuah negara yang memiliki dua sistem kedaulatan, yakni, negara kedaulatan rakyat dan negara kedaulatan hukum.
Hukum dan keadilan merupakan satu-kesatuan. Dimana hukum ini bertujuan untuk mengatur tatanan kehidupan bermasyarakat agar tercipta ketertiban. Sedangkan keadilan yang didefinisikan oleh KBBI merupakan suatu hal yang sama berat, tidak memihak, berpegang pada kebenaran dan tidak sewenang-wenang. Tegaknya kedua hal tersebut akan memberikan rasa aman dan nyaman pada setiap lapisan masyarakat, namun jika hal itu tercederai maka aka muncul suatu tatanan yang kacau, tidak percaya hingga saling mencurigai.
Jika kita memahami konsep hukum yang ada di negara ini seharusnya jika terjadi hal yang melenceng dari aturan dan norma hal itu harus diserahkan langsung kepada pihak yang berwenang untuk diadili. Terlebih lagi jika termasuk sebuah tindak pidana.
Akhir-akhir ini memang banyak media yang membenarkan maraknya terjadi tindakan yang jauh dari aturan hukum bahkan dangkal akan definisi dari ‘memanusiakan manusia’ dan ketika kita menilik kembali kejadian di Sorong tempo hari, bisa saja terjadi karena ramainya informasi yang akhir-akhir ini sering dikonsumsi oleh masyarakat sehingga terdorong untuk melakukan tindakan yang jauh dari koridor kemanusiaan. Menghakimi seseorang bukanlah sikap yang bisa dibenarkan. Sebab belum ada bukti konkrit yang menunjukkan apakah korban yang diduga pelaku itu benar-benar bersalah atas perbuatan yang Ia lakukan.
Asas praduga tak bersalah sebagai ketentuan yang menganggap seseorang yang menjalani proses pidana tetap tidak bersalah sehingga harus dihormati haknya sebagai warga negara sampai ada putusan Pengadilan Negeri yang menyatakan status perbuatannya. Bukan mendahului hakim untuk menjatuhkan hukuman terhadap pelaku.
Sangat disayangkan beberapa kejadian yang menjadi realitas dari kehidupan bermasyarakat kita saat ini yang dengan gampangnya ‘main hakim sendiri’ dan mengesampingkan proses hukum yang berlaku.
Refleksi Kemasyarakatan Indonesia
Perlu adanya refleksi baik secara individual maupun secara kolektivitas terkait sejauh mana pemahaman kebermasyarakatan kita, sejauh mana kita bisa mendefinisikan humanisme itu sendiri. Karena ketika kita sudah tidak bisa lagi memandang dan menghormati mempunyai hak-hak dasar pada setiap orang yang sama dan setara dengan yang lainnya maka akan mengundang ketidakstabilan dalam tatanan kehidupan.
Serta yang perlu dibenahi adalah ‘ketidaktahuan’ kita pada banyak hal. Ketidaktahuan akan membuat kita bungkam pada hukum yang seharusnya ditegakkan, membenarkan apa yang sebenarnya salah serta menyalahkan apa yang sebetulnya benar. Ketidaktahuan juga akan menggiring kita pada perbuatan sewenang-wenang dan kadang merasa ‘benar sendiri’ sehingga mencederai prinsip-prinsip kemanusiaan dalam bermasyarakat. Oleh karena itu setiap orang berpengetahuan dalam menjalani setiap proses kehidupan, agar tercipta ruang-ruang yang tentram, ramah dialektis serta tidak mudah tersulut oleh hal-hal yang belum jelas kebenarannya.
Red: Saipul Haq