MADRASAHDIGITAL.CO- Oleh: Muh Akmal Ahsan (Dewan Pakar Madrasah Digital)
Tahun ini, Prof. Muhammad Azhar, M.Ag genap berusia 64 tahun sejak dilahirkan di Medan, 8 Agustus 1961. Waktu telah memakan usianya, tapi tidak dengan semangat intelektual yang masih menyala. Dalam usianya yang semakin menua, ia masih setia menemani kaum muda, berbagi hikmah di tiap-tiap percakapan.
Beliau bukan hanya dosen yang giat mengajarkan pengetahuan, melainkan juga guru hidup yang selalu menyalakan api keberanian. Berani untuk berpikir bebas dan kritis, melawan arus kebanyakan.
Perjumpaan dengan Prof Azhar adalah salah satu babak penting dalam hidup saya. Selama tiga tahun, beliau mengasah diri saya untuk menjadi pribadi yang punya tekad kuat, ketajaman intelektual dan keberpihakan penuh terhadap kebenaran.
Perjumpaan
Perjumpaan saya dengan Prof Azhar persis serupa menyesap secangkir kopi hitam–pahit, tajam tapi menggugah pikiran.
Di penghujung tahun 2015, saat saya masih menjadi mahasiswa baru di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Kala itu civitas akademika UMY geger akibat “ulah” Prof Azhar. Ia dengan berani mengusulkan masjid Al-Aqsa diserahkan kepada komunitas Yahudi.
Pendapat tersebut segera mengundang keributan. Ramai-ramai ia dihujat di media sosial. Pendapat tersebut bukanlah pandangan yang sekonyong-konyong. Prof Azhar dalam hal ini melihat konflik Palestina-Israel dalam kacamata kemanusiaan, alih-alih terjebak dalam pandangan keagamaan yang konservatif.
Pandangan Prof Azhar jelas mencengangkan bagi saya sebagai mahasiswa baru. Kendati tak sepenuhnya sepehaman atas pandangan beliau. Pandangan tersebut setidaknya membuat saya kagum pada keberaniannya menantang arus. Pemikirannya turun memantang pemahaman saya sekaligus membuka cakrawala baru dalam melihat isu-isu kontemporer.
***
Tak cukup sampai di situ, pemikiran kontroversial Prof Azhar kembali mencuat kala dengan lugas ia mendukung kepemimpinan Basuki Tjahya Purnama (Ahok) di Jakarta. Prof Azhar, seperti Buya Syafii Maarif enggan terbawa emosi kolektif ummat Islam dalam Pilkada DKI 2017 silam. Alih-alih ikut dalam amarah kolektif yang reaksioner, Prof Azhar menunjukkan sikap rasional dan objektif, melihat kasus ini dalam kacamata kenegaraan.
Pemikiran kontroversial Prof Azhar bukan hanya ia lemparkan di meja publik, secara konsisten, ia mengajak para mahasiswa (termasuk saya) untuk berani berpendapat. Seluruh pandangan dan isi nuraninya ia sampaikan di dalam kelas sembari kerap mengakhiri kuliah dengan ucapan “jangan percaya dosen 100% persen”. Beliau tak mendaku diri paling benar, sebaliknya ia berharap lahir kutub pandangan yang berbeda, agar kelas ramai dengan perdebatan dan dialog.
Pada tahun 2021, Prof. Azhar mengundang saya ke kantornya. Dengan penuh ketulusan, beliau secara langsung meminta saya untuk membersamai beliau di dalam kelas sebagai Asisten Dosen. Bagi saya, ini bukan sekadar tugas, tetapi sebuah kehormatan yang mendalam. Sejak saat itu, perjumpaan kami semakin intens, membuka ruang bagi pembelajaran yang lebih luas, diskusi yang lebih dalam, dan inspirasi yang tak terhingga.
Pokok Pemikiran
Sebagai seorang pemikir, Prof Azhar tampak berupaya membentuk jembatan antara sekularisme-liberalisme dengan fundamentalisme keagamaan yang tampak terus berbenturan di negeri ini. Ijtihad intelektual tersebut sebangun dengan upaya menjaga keutuhan sosial, mencegah konflik serta membumikan demokrasi inklusif. Di titik inilah, Prof Azhar mencetuskan gagasan demokrasi religius yang kemudian kelak menjadi tema besar dalam orasi Guru Besarnya. Semua ini didorong oleh kehendak Prof Azhar membangun Indonesia yang berkeadaban.
Demokrasi religius dalam pemaknaan Prof Azhar ialah bentuk demokrasi yang mengandung nilai-nilai ketuhanan sebagai basis moral dalam mengelola negara. Pandangan demokrasi semacam ini berbeda dengan paham demokrasi liberal yang menurut Prof Azhar justru lebih banyak menguntungkan segolongan kecil orang serta mengorbankan hajat hidup rakyat kebanyakan.
Dalam konteks keindonesiaan, demokrasi religius itu berpedoman pada nilai-nilai Pancasila sebagai landasan utama, atau sebagai common platform (kalimatun sawa’).
Pancasila dalam hal ini bukan saja diletakkan sebatas “penengah” antara islamisme dengan sekularisme, namun lebih dari itu dikelola sebagai modal spiritual, modal sosial dan modalitas lainnya. Pancasila niscaya harus menjadi living tradition dalam kehidupan bangsa Indonesia. Pada wilayah aplikatif, demokrasi religius diimplementasikan melalui penguatan demokrasi dan kedaulatan rakyat, penegakan kedaulatan hukum serta penguatan relasi antara agama dan negara.
64 Tahun Muhammad Azhar
Dalam usianya yang ke-64 tahun, Prof Azhar masih bugar, buah pemikirannya masih bisa kita dapatkan dari tulisan-tulisannya atau lewat perbincangan dialogis di kantornya.
Perjalanannya Prof Azhar adalah jalan sejarah yang tidak saja diwarnai oleh gagasan-gagasan besar, namun juga soal ketulusan, keberanian dan rasa cinta yang demikian besar terhadap negeri ini. Pemikiran dan sikap Prof Azhar bukan hanya layak untuk dikenang, tapi juga pantas untuk menjadi inspirasi dalam jejak langkah kita sebagai kaum muda, utamanya dalam melihat Islam, kebangsaan dan kemanusiaan.
Prof Azhar hidup bukan sekadar sebagai seorang pemikir, lebih dari itu, ia adalah lentera yang menerangi jalan banyak orang. Sebagai seorang muslim, ia menunjukkan bahwa Islam bukanlah sekadar tentang simbol-simbol formalisme, melainkan juga soal akhlak-perilaku, kearifan hidup serta keadilan. Ditengah hiruk pikuk dunia kebangsaan dan keagamaan kita, pemikiran Prof Azhar bak lentera yang memimbing kita memahami dunia secara kritis dan berani.
Red: Ramadhanur Putra