MADRASAHDIGITAL.CO – Hermeneutika merupakan suatu metode atau cara untuk menafsirkan simbol yang berupa teks atau sesuatu yang diperlakukan untuk dicari arti dan maknanya. Metode hermeneutika mensyaratkan adanya kemampuan untuk menafsirkan masa lampau yang tidak dialami, kemudian dibawa ke masa sekarang (Mushadi: 2009). Namun, perbincangan mengenai penggunaan hermeneutika sebagai salah satu metode interpretasi teks agama belum sepenuhnya diterima oleh umat Islam secara umum.
Pro-kontra mengenai penggunaan-nya dalam menafsirkan al-Qur’an dan hadis telah terjadi hingga saat ini. Dan bagaimanapun juga memahami hadis itu pula sebenarnya sekaligus kritik salah satu tokoh intelektualis Fazlur Rahman terhadap sarjana Muslim klasik yang memahami hadis lebih kepada teks dan nalar teologi yang senantiasa menyelimutinya. Selain itu, dalam melihat pemikiran seseorang tentunya harus dilihat dari mana nalar yang ia peroleh itu, sehingga juga sangat penting menelisik genealogi keilmuwan yang ia bangun.
Studi Fazlur Rahman mengenai hadis memiliki arti yang sangat urgen terhadap pembaharuan pemikiran Islam, khususnya sumbangannya dalam bidang metode dan pendekatan. Pendekatan historis yang ia tawarkan adalah kontribusi yang sangat positif terhadap studi hadis yang selama ini disibukkan dengan persoalan kritik sanad.
Hal itu, menurut dia, walaupun memberikan informasi biografis yang kaya dan unik, belum bisa dikatakan sebagai hal yang final. Umat Islam dewasa ini membutuhkan upaya metodologis untuk mencairkan kembali hadis-hadis yang ada dalam bentuk sunnah yang hidup (living sunnah), ide moral, dan legal spesifik.
Istilah Reevaluasi dilakukan menurut Rahman dengan cara mengembalikan hadis menjadi sunnah yang sejak semula memang menjadi sumber hadis dan melakukan penafsiran situasional. Penafsiran situasional ini dilakukan dengan menghidupkan kembali norma-norma yang dapat kita terapkan untuk saat ini, yaitu dengan membangkitkan kembali nilai moral dan riil dari latar belakang situasional hadis bersangkutan menurut perspektif historisnya yang tepat dan menurut fungsinya yang benar dalam konteks historisnya.
Bahkan lebih jauh lagi Rahman menyatakan bahwa fenomena kontemporer diproyeksikan kembali ke dalam bentuk hadis agar kaum muslimin dapat ditempa menurut pola spiritual, politik dan soial tertentu. Hal ini dimaksudkan untuk mengendorkan sifat formalisme hadis dan melanjutkan perjuangan dari titik di mana sunah secara sukarela melebur diri ke dalam hadis.
Dalam hal ini, Rahman membagi hadis menjadi dua. Pertama, hadis-hadis yang bersifat historis dan biografis, yaitu hadis yang mencerminkan kandungan hitoris sunnah Nabi. Hadis-hadis mengenai shalat, zakat, dan haji termasuk tata cara pelaksanaannya secara detail adalah jelas-jelas terkait dengan Nabi sehingga orang-orang yang tidak jujur dan tidak waras sajalah yang menyangkalnya. Kedua, hadis-hadis yang sebagian besar tidak bersifat historis, yaitu hadis yang tidak bersumber dari Nabi tetapi tetap dipandang memiliki nilai normatif dalam pengertian dasar.
Meskipun Rahman hanya menggunakan sejarah murni dan al-Qur’an sebagai acuan utamanya dalam melakukan reevaluasi dan reinterpretasi terhadap hadis-hadis teknis, ia tetap tidak mengingkari bahwa sesungguhnya hadis-hadis historis atau biografis dalam segi-segi utamanya sangat jelas dan dapat dipergunakan sebagai landasan untuk menafsrkan hadis hadis teknis yang sebagian besar tidak bersumber dari Nabi. Begitu juga yang menyangkut masalah isnad sebagai tolok ukur validitas suatu hadis oleh mayoritas umat Islam yang tidak digunakan Rahman sebagai bukti-bukti bagi validitas hadis. bagi Rahman, isnad tetap dipandang penting, karena faktanya isnad telah melahirkan literatur-literatur yang mengandung informasi biografis yang benar dan merupakan sebuah prestasi Islam yang unik. (Rahman:1965)
Rahman menegaskan akan perlunya melakukan reevaluasi terhadap aneka ragam unsur-unsur di dalam hadis dan reinterpretasi yang sempurna terhadap unsur-unsur tersebut sesuai dengan kondisi moral-sosial yang sudah berubah pada saat sekarang. Hal ini hanya dapat kita lakukan melalui studi historis terhadap hadis dengan mengubahnya menjadi sunnah yang hidup (living sunnah) dan secara tegas membedakan nilai ril (real values) yang dikandungnya dari latar belakang situasionalnya.
Berdasarkan prinsip penafsiran situasional yang sama, yaitu dengan membangkitkan kembali nilai moral yang riil dan latar belakang situasional yang bersangkutan, hadis hukum harus ditangani. Hadis-hadis hukum ini harus dipandang sebagai sebuah problem yang harus ditinjau kembali, jadi bukan sebuah hukum yang sudah jadi untuk kita pergunakan langsung. Masalah ini benar-benar sulit dan harus dihadapi dengan bijaksana dan berhati-hati namun tidak dapat dielakkan.