MADRASAHDIGITAL.CO- OLEH: Syahuri Arsyi (Pegiat Komunitas Diskusi Buku dan Diskusi Malam Sabtu)
“Man arafa qalbah faqad arafa nafsah; wa man arafa nafsah faqad arafa Rabbah”
(Barang siapa yang mengetahui hatinya, sungguh ia mengetahui dirinya sendiri, dan barang siapa mengetahui dirinya, sungguh ia mengetahui Tuhannya).
Demikian hadits Nabi yang kemudian diadopsi sebagai konsep makrifat dalam pandagan tawasuf Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ta’us Ath- Thusi Asy-Syafi’i al-Ghazali (450 H/1058 M).
Pandangan al-Ghazali ini, dikemudian hari tak hanya dipahami sebagai konsep makrifat saja dalam bertasawuf, melainkan juga dipahami sebagai konsep dan pengetahuan diri dari lahirnya keilmuan psikologi dalam Islam. Walaupun, al- Ghazali tak dapat dikatakan sebagai pelatak dasar dari keilmuan psikologi, karena sudah banyak para intelektual Islam sebelum al-Ghazali telah berbicara mengenai konsep diri, akan tetapi al-Ghazali yang paling detail berbicara tentang diri ini.
Tiga Alat Komunikasi Menurut Al-Ghzali
Perihal konsep pengetahuan atau kesadaran diri, al-Ghazali memulai dengan tiga alat komunikasi yang lebih bersifat rohaniah seperti, hati (qalbu) digunakan untuk mengetahui Tuhan; roh (ruh) untuk mencintai Tuhan, dan jiwa (sirr) untuk merenungi kekuasaan Tuhan.
Dari ketiganya ini, bukan roh (ruh), dan jiwa (sirr), bukan pula perasaan, serta apalagi akal budi. Akan tetapi, hati yang menjadi alat atau sarana paling utama.
Hati yang dimaksud al-Ghazali sini bukan hati dalam pengertian bagian tubuh terletak di bagian kiri dada seorang manusia, seperti yang selama ini kita pelajari di buku-buku biologi dan kita dikenal dalam dunia ilmu kedokteran saat ini. Yang dimaksud al-Ghazali dengan hati ini adalah hati yang secara rohani dan jasmani memang perlu disucikan dari segala bentuk sampah kotoran.
Karena ini merupakan media dan sarana dalam mendapatkan ilmu pengetahuan. Disini, al- Ghazali, mengatakan kalau hati memiliki dua pintu; salah satunya menghadap ke luar dan ke dalam.
Pintu yang menghadap keluar ini, bisa menangkap ilmu pengetahuan melalui panca indera, sementara yang ke dalam, bisa menangkap pengetahuan yang berasal dari alam ghaib, berupa nur ilahi.
Adanya pengetahuan ini kalau boleh dikatakan sebagai bagian bentuk lain dari konsekuensi logis dari ilmu lahir yang dapat dikuasi dengan berbagai studi dalam pelbagai bidang dan komentar. Dan, ilmu batin bisa dijelaskan dengan ilmu tasawuf atau sufistik (gnosis).
Semacam yang hanya bisa didapatkan oleh para khawash auliya’ tanpa melalui perantara, langusng dari Tuhan. Ilmu Laduni, demikian al-Ghazali menyebutnya. Ilmu ini kemudian dikembangkan oleh Suhrawardi sebagai ilmu huduri. Kalau boleh mengatakan, hal ini hampir sama dengan realitas yang ada alam ini, dari segi bentuknya dapat di bagi dua bagian: yaitu alam empirik atau alam indrawi (‘alam al-syahadah) dan alam metafisik atau alam tidak kasat mata (Alam al-Malakut atau Alam al-Ghaib).
Konsep Hati Al-Ghazali
Terlepas itu, namun lebih lanjutnya lagi al-Ghazali dalam Magnum Opus-nya Ihya’‘Ulum al-Din (kebangkitan ilmu-ilmu agama) mengartikan hati dengan dua pengertian; hati jasmani (al-Qalb al-Jasmani) atau daging sanubari (al-Lahm al-Sanubari), dan esensi spiritual lembut (Lutd Rabbani Ruhi).
Hati pertama, daging khusus berbentuk jantung pisang letaknya dalam rongga dada sebelah kiri dan berisi darah hitam kental, sebagaimana yang kita kenal saat ini dalam ilmu kedokteran. Hati kedua, secara literal diartikan sebagai lubuk hati, jantung, inti, kekuatan semangat keberanian, yang diambil dari akar kata qalaba mengandung arti lain seperti merubah, membalikkan, menjadikan batin menajdi lahir, menumbangkan, mempertimbangan dan terbalik.
Ketiga komposisi al-Ghazali ini, ada dalam diri manusia dan menjadi satu kesatuan tak terpisahkan dalam diri manusia yang kemudian disebut dengan tubuh.
Dari tubuh ini, struktur manusia terdiri dari dua unsur utama: jasmani dan ruhani atau materi dan immateri. Dan, semua para ulama sufi dan filosof mengakui hal tersebut. Sebab, pandangan ini sejalan dengan pandangan dasar yang terdapat al-Quran tentang manusia. Dari unsur jasmani dan ruhani ini, kemudian al-Ghazali mendeskripsikan al-nafs atau jiwa yang ada dalam diri manusia. Jiwa ini, menjadi inti dan hakikat manusia sebagai makhluk spiritual rabbani sangat halus (Lathifa Rabbaniyah Ruhaniyyah). al-Ghazali sendiri mendeskripsikan jiwa ini adalah hati (al-Qalb), akal (al- Aql), ruh (al-Ruh), dan jiwa (al-Nafs).
Tiga komposisi manusia
Isitilah-istilah ini memiliki persamaan dan perbedaan, masing-masing dan memiliki dua pengertian yaitu pengertian fisik dan pengertian psikis. Dalam karyanya Mi’raj al-Salikin, al-Ghazali menggambarkan manusia terdiri dari al-nafs, al-ruh dan al-jism. Di sini, al-Ruh, bukan dalam pengertian ruh sebagai esensi manusia dalam pengertian jiwa. Untuk itu, al-Ghazali memberi pengertian berbeda terkaitan tiga komposisi manusia ini.
Misalnya, jiwa merupakan substansi yang berdiri sendiri, tak memiliki tempat; al-ruh adalah panas alam (al-Hararat al-Ghariyyat) mengalir pada tiap pembuluh nadi, otot-otot dan syaraf manusia. al-Jism sendiri adalah suatu tersusun dari unsur materi, berupa daging, tulang dan sebagainya.
Dengan demikian, jiwa ini bisa dikatakan esensi manusia kekal. Jiwa tak akan hancur, tak akan mati, ia hanya berpisah dari badan saja di saat manusia meninggal dunia.
Sebab ruh bisa dijumpai pada setiap makhluk hidup selain manusia seperti hewan dan tumbuhan. Dalam karya lain seperti, al-Madhnun al-Shaghir, al-Ghazali menyebut al-Ruh al-Hayawani, yang dijelaskan sebagai sesuatu sejenis uap yang sangat halus serta berpusat di rongga jantung dan menyebar ke seluruh tubuh melalui syaraf dan pembuluh-pembuluh nadi.
Sedangkan tubuh sendiri dalam pandangan al-Ghazali, merupakan bagian paling tak sempurna yang ada pada diri manusia, serta terdiri dari unsur-unsur materi, pada suatu waktu komposisinya bisa rusak, hancur, binasa.
Selain itu, tubuh tak miliki kekuatan, yang dimiliki hanyalah prinsip alamiah (mabadi habi’i). Dengan demikian dari konsep jiwa ini, kemudian al-Ghazali secara tak langsung membagi dimensi jiwa menusia menjadi: Dimensi ragawi seperti, dalam diri manusia mengalami kerusakan dan kehancuran berupa benda masif yang tak berdaya.
Dimensi Nabati seperti dalam diri manusia terdapat nutrisi, memiliki fungsi reproduksi. Kemudian, Dimensi Hewani seperti, dalam diri manusia terdapat daya penggerak dan persepsi. Lalu yang terakhir dimensi insani, bahwa dalam diri manusia terdapat jiwa rasional dan jiwa realitas yaitu daya praktis dan teoritis. Dimensi ini dikemudian hari dikenal sebagai akal teoritis dan akal praktis.
Pengetahuan, kesadaran diri atau self-knowledge ini merupakan pengenalan awal yang harus diketahui oleh pelaku tasawuf, dan juga bagi manusia pada umumnya.
Karena ini erat kaitanya dengan mengenalan dan penyadaran jati dirinya. Dengan mengenal dan menyadari jati dirinya, ia akan mengenal dan mengetahui Tuhannya.
Red. Amin Azis