MADRASAHDIGITAL.CO,- oleh Tjak S. Parlan
Fahmi mengedutkan keningnya. Apa saja yang keluar dari mulut Ahmad Saleh, seolah benar adanya—dan dia tidak berniat membantahnya. Bagaimana pun, teman dekatnya itu memiliki reputasi yang cukup gemilang dalam urusan jual-beli. Sementara, dia hanya bisa mengutuk dalam hati ketika seorang pembeli datang ke rumahnya dan menawar sebuah tabung gas ukuran 12 kilogram dengan harga yang tidak masuk akal.
“Delapan puluh ribu!” Fahmi bersungut-sungut. “Coba kamu bayangkan. Saya beli barang itu dua ratus lima puluh ribu. Baru tiga bulan, saya jual. Harganya jadi hancur seperti itu. Sialnya, saya terima saja uangnya.”
“Hahaha!” Ahmad Saleh malah tertawa. “Mungkin kamu terlihat sedang sangat butuh uang. Akan jadi makanan empuk kalau begitu kondisinya. Lagi pula, kenapa mesti pakai tabung gas yang dua belas kilo? Mau buka rumah makan?”
Fahmi mengibaskan tangannya, lalu berdiri dan melongok ke pintu. Istrinya sedang menyiapkan makan malam di dapur. Bunyi renyah ikan asin dalam penggorengan panas, mengirim aroma hingga ke beranda rumah petak yang ditinggalinya. Dia menelan ludah, rasa lapar mulai menjalar ke dalam perutnya.
“Kamu tahu,” ujar Fahmi—suaranya terdengar berbisik. “Dulu kami pernah berniat jualan makanan. Kecil-kecilan saja. Tapi mungkin nantilah, kalau sudah tinggal di tempat yang lebih layak.”
“Kenapa mesti pusing soal tempat? Bisa jualan onlen, kan? Pembeli tidak peduli kamu tinggal di mana. Yang penting jualanmu meyakinkan,” tanggap Ahmad Saleh.
Fahmi tersenyum sinis. Dia menatap layar gawai di tangannya lalu menunjukkannya kepada Ahmad Saleh. Ahmad Saleh menyipitkan matanya karena tidak tahan dengan cahaya yang terlalu terang. “Ini calon pembelinya?” tanyanya kemudian.
Fahmi mengangguk. “Ketimbang jadi rongsokan, mending saya jual saja tivi tabung itu,” ujarnya. “Sudah ada tivi layar datar, meski ukurannya kecil. Lumayan, kan? Ada yang mau beli.”
“Saya kenal sejumlah pengepul barang-barang bekas,” tanggap Ahmad Saleh. “Kenapa tidak bilang sama saya kalau mau menjual sesuatu?”
“Kalau apa-apa harus bilang sama kamu dulu, repot jadinya. Bisa-bisa saya pingsan duluan.”
“Kamu sedang butuh uang, ya?”
“Memangnya siapa yang tidak butuh uang?”
Ahmad Saleh tergelak—dia seperti sedang menggoda teman lamanya itu. Setelah tawanya reda, dia mulai membahas kelebihan—sekaligus kelemahan—televisi tabung. Bukan hanya itu, Ahmad Saleh juga menyinggung harga televisi yang kini sudah jarang ditemui di rumah-rumah warga itu. Fahmi hanya manggut-manggut. Sedikit-banyak, dirinya juga paham perihal barang-barang semacam itu. Bahkan dia bisa memperbaiki beberapa jenis barang elektronik yang rusak.
Fahmi memang ingin menjual televisi tabung yang sudah tidak pernah dinyalakannya sejak sebuah televisi layar datar menggantikannya. Kecuali usia barangnya, televisi berbadan tambun itu masih terlihat kokoh. Hari itu, ketika dia melihatnya teronggok di sudut dapur yang sempit, dia mulai membersihkan bagian-bagian yang dihinggapi debu dan sawang. Dia juga telah bergabung dalam sebuah group media sosial ‘Jual-Beli Barang Bekas’—dia membaca sebuah komentar dari seseorang yang mencari televisi tabung dan langsung mencatat nomor kontak yang bisa dihubungi.
“Jangan salah. Biar pun sudah bukan jamannya, tivi yang seperti itu masih ada harganya. Apalagi kalau pembelinya memang suka barang-barang langka. Tapi tergantung kondisi barangnya juga, sih. Ingat, barang-barang tua biasanya lebih tahan lama,” jelas Ahmad Saleh.
“Sebenarnya, saya tidak terlalu berharap,” jawab Fahmi. “Bisa laku seratus lima puluh ribu saja, saya sudah senang.”
“Gila!” sambar Ahmad Saleh. “Kalau kamu mau, barang itu bisa laku tiga ratus ribu lewat saya. Tapi besok sore. Kamu tinggal mengantarnya ke salah satu kenalan saya. Bagaimana?”
Fahmi tidak begitu menggubris. Tangannya mulai menjumput tembakau dan memilinnya denga cekatan. Setelah menyalakan rokok lintingnya, dia kembali memelototi layar gawainya, memindai-mindai sesuatu.
“Saya serius!” tegas Ahmad Saleh kemudian.
“Saya sudah telanjur menghubungi calon pembeli,” ujar Fahmi. “Tidak mungkin dibatalkan. Sebentar lagi orangnya datang.”
“Hmm. Sayang sekali…”
“Coba kamu bilang dari kemarin.”
Ahmad Saleh menatap Fahmi dengan kening berkerut. Fahmi tampak tidak peduli. Dia mengisap rokoknya dalam-dalam dan mengembuskan asapnya dengan enteng. Suara batuk-batuk kecil dan tertahan terdengar dari dapur. Istri Fahmi baru saja menuang sambal pedas ke dalam penggorengan yang panas. Batuk-batuk kecil itu menular hingga ke beranda.
“Tapi kamu… harus ingat,” ujar Ahmad Saleh seraya berusaha menahan batuk. “Jangan sekali-kali terlihat seperti orang yang sedang butuh uang. Santai saja. Biar dia tidak menawar semau-maunya.”
“Itu soal gampang, akan saya pertahankan harganya,” jawab Fahmi seraya berdiri. “Ngomong-ngomong pulangnya nanti dulu saja, ya. Makan dulu. Istri saya bikin masakan enak sepertinya. Bisa tercium baunya dari sini, kan?”
Sebuah notifikasi berdenting pelan. Ahmad Saleh memeriksa layar gawainya dan seketika dahinya berlipat-lipat. “Nah, saya harus cepat pulang,” ujarnya.
Fahmi tidak bisa menahan lebih lama kawan karibnya itu. Dia hanya memandanginya ketika Ahmad Saleh menghidupkan sepeda motor dan berlalu dari halaman rumah petak itu. Setelah suara sepeda motor itu menjauh, perutnya mulai terasa keroncongan. Dia bergegas masuk ke ruangan, tapi suara istrinya terdengar meminta tolong. “Sebelum makan, tolong sekalian periksa meteran listrik.”
Fahmi melongok ke arah meteran. Dia memandangi sejenak deretan angka yang tertera di layar kaca mungil yang buram itu. “Masih sekitar lima menit lagi,” ujarnya. “Kenapa alarm meteran ini tidak pernah berbunyi, biar kita bisa berjaga-jaga.”
“Sudah lama seperti itu,” tanggap istrinya. “Sudah, makan saja dulu. Sebentar lagi orang itu datang, kan?”
Fahmi melemparkan pandangan ke halaman. Sebuah sepeda motor baru saja memasuki pintu pagar. Tidak salah lagi, dia adalah sosok yang ditunggu-tunggu sejak tadi.
“Pak Fahmi, ya?” sapa pengendara sepeda motor itu seraya menjabat tangan Fahmi. “Saya yang mau beli tivi tabung itu.”
Fahmi mengangguk dan mempersilakan calon pembeli itu duduk. Dia adalah laki-laki menjelang paruh baya berperawakan ceking. Setelah ramah-tamah singkat sewajarnya, laki-laki itu mulai memeriksa televisi tabung yang teronggok di lantai teras. Tangannya mengetuk-ngetuk, meraba-raba; matanya—yang berkacamata minus tebal—memperhatikan dengan saksama setiap inci barang yang akan dibelinya.
“Kelihatannya memang masih bagus,” ujar laki-laki itu. “Nyalanya masih normal, ya?”
“Oh, mungkin perlu dicoba,” tanggap Fahmi seraya mengulur kabel roll yang sudah disiapkannya di ambang pintu.
Laki-laki itu baru saja hendak mencocokan steker ke lubang soket, ketika lampu tiba-tiba padam. Fahmi masuk ke ruangan dipandu dengan senter gawai ditangannya dan kembali ke beranda dengan sebatang lilin yang sudah menyala.
“Kumat lagi. Belakangan mulai sering pemadaman bergilir,” celetuk laki-laki itu.
Apa yang dikatakan laki-laki itu benar adanya. Sudah satu bulanan pemerintah kota memberlakukan kebijakan pemadaman bergilir untuk wilayah tertentu. Namun, apa yang terjadi di rumah petak Fahmi malam itu adalah sebuah pengecualian.
“Tidak ada masalah. Saya bisa mencobanya sewaktu sampai rumah. Yang jelas kondisinya masih bagus, kan?” ujar laki-laki itu.
“Tentu,” Fahmi mengangguk dengan cepat. “Terakhir saya nyalakan, baik-baik saja.”
Laki-laki itu merogoh dompetnya dan mengeluarkan tiga lembar uang lima puluh ribuan. “Saya hanya bisa dengan harga sebesar ini,” ujarnya.
Fahmi menatap sejenak lembaran uang lusuh dalam genggaman laki-laki itu. Seratus lima puluh ribu, pikirnya—itu jumlah yang nyaris sama dengan perkiraannya. Namun, dia juga teringat apa yang ditegaskan oleh Ahmad Saleh bahwa dirinya tidak boleh terlihat seperti seseorang yang sedang benar-benar membutuhkan uang.
“Kalau Bapak tidak datang malam ini, besok tivi ini bisa laku tiga ratus ribu. Teman saya baru saja pulang dari sini. Tapi karena sudah janji sama Bapak, saya tidak mau melepas barang ini ke dia. Jadi, bagaimana kalau ditambah lima puluh ribu?”
“Hmm, bagaimana kalau begini saja,” laki-laki itu tersenyum sesaat. Dalam keremangan cahaya lilin, dia kembali mengamati televisi tabung itu. Fahmi menyorotkan senter gawainya untuk membantu menerangi. “Saya akan tambahkan lima puluh ribu. Tapi tivi ini harus dicoba dulu. Yang penting bisa hidup saja, sisanya bisa saya perbaiki. Saya tinggal tidak jauh dari sini. Kalau Pak Fahmi setuju, akan saya bawa barangnya sekarang juga.”
Fahmi terdiam sejenak. Dia berusaha berpikir keras. Dari dalam ruangan, istrinya terdengar berdeham beberapa kali. Lalu sebuah gawai terdengar berdering. Laki-laki itu segera menyambutnya—beberapa saat dia berbicara dengan seseorang, entah siapa. Sepertinya hal yang cukup penting, hingga dia terburu-buru memasukkan gawai itu ke kantong jaketnya setelah menyudahi pembicaraan.
“Saya harus cepat pulang. Tetangga saya menelepon, anak saya sudah pulang dari mengaji. Masalahnya, kunci rumah saya bawa,” jelas laki-laki itu.
Fahmi tampaknya tidak berkutik. Dia menerima begitu saja ketika laki-laki itu mengulurkan tiga lembar lima puluh ribuan ke tangannya. Laki-laki itu mengucapkan terima kasih seraya mengangkat televisi tabung itu dan meletakkannya di atas sepeda motor. Namun, beberapa saat kemudian laki-laki itu tampak kesulitan mengatur posisi barang yang akan dibawanya. Fahmi yang semula hanya memperhatikan, akhirnya menghampirinya.
“Tidak bawa tali atau semacamnya?” tanya Fahmi.
Laki-laki itu menggeleng. “Begini susahnya kalau bukan sepeda motor matic. Agak susah ditaruh di depan. Takutnya malah jatuh. Saya juga lupa bawa tali tadi.”
Fahmi tampak keheranan. Laki-laki itu rupanya juga membawa sebuah tabung gas sehingga cukup menyulitkannya jika harus mengangkut kedua barang itu tanpa bantuan orang lain. Setelah beberapa kali mencoba dengan sejumlah posisi, akhirnya laki-laki itu menyerah. Sesekali dia menatap Fahmi seolah-olah sedang meminta saran. Namun, bagi Fahmi, tatapan laki-laki itu menjelma sebuah teror yang tiba-tiba menyergapnya begitu saja—seolah dia harus ikut membereskan urusan itu secepatnya.
“Hidupkan saja sepeda motornya,” ujar Fahmi. “Pastikan tabung gas itu tidak jatuh di tengah jalan. Biar saya yang pegang tivi ini di belakang. Rumah Bapak tidak jauh dari sini, kan?”
“Terima kasih banyak. Saya langsung antar Pak Fahmi ke sini lagi nanti,” ujar laki-laki itu seraya bergegas menghidupkan sepeda motornya.
Fahmi menyesap kopi hangatnya dengan terburu-buru. Dia tidak bisa menolak ketika laki-laki itu menyeduhkan kopi dan memintanya untuk menikmatinya barang sejenak. Seraya menanggapi sewajarnya keramahtamahan tuan rumah, dia mencuri-curi pandang memperhatikan sekitar. Beranda rumah petak itu tampak lengang. Tidak terlihat barang-barang yang teronggok atau sengaja dipajang layaknya para pengepul barang-barang bekas.
“Ngomong-ngomong, barang-barang yang lain di mana, Pak?” tanya Fahmi, penasaran.
Laki-laki itu urung menyesap kopinya. Dia meletakkan kembali gelas kecil bermotif bunga-bunga itu di lantai teras yang kasar dan dingin. Sepintas dia menatap heran kepada Fahmi, lalu tersenyum seperti tersadar dengan maksud pertanyaan itu. Namun, sebelum dia menjelaskan sesuatu, seorang anak perempuan usia tujuh melintas di depan mereka.
“Ke sini,” laki-laki itu memanggil anaknya. “Sebentar lagi kamu bisa nonton film kartun kesukaanmu. Coba kamu lihat. Ini tivi langka, lho…”
Gadis kecil itu mendekat. Dia menggosok-gosokkan tangannya ke layar kaca seraya menatap televisi kembung itu dengan mimik muka yang datar. Seorang teman sepantaran memanggil namanya dan gadis kecil itu langsung menyongsongnya.
“Jangan lama-lama mainnya,” ujar laki-laki itu sebelum kemudian menatap Fahmi. “Kami tinggal berdua di sini. Dia anak saya satu-satunya. Saya beli tivi lama ini untuk dia. Sebelum punya yang lebih canggih, saya kira ini juga tidak apa-apa. Yang penting masih bisa keluar gambar sama suaranya.”
Fahmi cukup kaget mendengarnya, tapi dia tidak tahu harus mengatakan apa.
“Pasti dikira bisnis barang-barang bekas, ya?” ujar laki-laki itu kemudian. “Tapi saya senang bisa ketemu barang ini. Anak saya pasti suka nantinya. Dia belum tahu saja, kalau tivi kembung semacam ini juga bisa mengeluarkan suara dan gambar. Hahaha!”
Suasana lebih mencair beberapa saat. Namun, ketika laki-laki itu mulai mengulur kabel roll dan mencoba mencocokan steker televisi itu ke dalam lubang soket, jantung Fahmi berdegub kencang. Dia mengingat-ingat, kapan terakhir kali menghidupkan televisi tua itu di ruang tamu rumah petaknya yang sempit. “Mungkin sudah setahun lalu,” gumamnya dalam hati. “Semoga benar-benar masih bisa dihidupkan.”
Listrik sudah tersambung dengan tepat. Laki-laki itu menekan sebuah tombol. Layar berkedip sebentar, lalu memutih dan menyala terang. Lalu suara-suara, sedikit gemerisik—sebuah tayangan di salah satu stasiun televisi muncul dengan gambar bergelombang-gelombang.
“Beres,” kata laki-laki itu seraya mengedutkan keningnya. “Saya tinggal perbaiki antenanya saja. Saya punya antena bekas.”
Fahmi merasa lega. Saking leganya, dia bahkan tidak peduli dengan uang tambahan yang sudah dijanjikan kepadanya. Dia bergegas pamit dan laki-laki itu bersiap mengantarnya. Ketika laki-laki itu masuk ke ruangan untuk mengambil jaket, sebuah pesan pendek masuk ke gawainya: Jam berapa pulang? Gelap sekali. Sebentar lagi lilinnya mati.
Fahmi membalas pesan pendek dari istrinya. Dia harus segera membeli pulsa listrik dengan uang hasil penjualan televisi bekas itu. ()
Ampenan, 30 Agustus 2021
Biodata Penulis
Tjak S. Parlan, lahir di Banyuwangi, Jawa Timur. Menulis cerita pendek, esai, resensi, sejumlah feature perjalanan, dan novel. Sejumlah bukunya telah terbit, antara lain Kota yang Berumur Panjang (Basa-basi, 2017—Kumpulan Cerita Pendek), Berlabuh di Bumi Sikerei (Badan Pengembangan Bahasa dan Perbukuan, 2019—Feature Perjalanan), Sebuah Rumah di Bawah Menara (Rua Aksara, 2020—Kumpulan Cerita Pendek), Cinta Tak Pernah Fanatik (Rua Aksara, 2021—Kumpulan Puisi). Selain menulis, ia menekuni perwajahan (desain) buku dan media cetak (koran, majalah, bulletin, jurnal, zine). Saat ini mukim di Ampenan, Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat.