MADRASAHDIGITAL.CO,- oleh Tiqom Tarra
Awalnya dia datang serupa embusan angin; melewati tengkuk hingga membuatku merinding. Dengan tawa melengking dia memasukki rumahku. Apa itu? Mataku waspada. Secepat kilat dia bersembunyi di balik gelap di sudut rumahku, tapi mata merahnya mengawasi. Dia mengintai, menungguku lengah. Aku tahu dia sedang mengincar nyawaku.
“Ada yang ingin membunuhku!” kataku pada seorang teman di ujung telepon sana.
Hening, tidak ada sahutan. Aku tahu dia tidak akan percaya dengan apa yang aku katakan.
“Halo?”
“Kau habis nonton film horor?” tanyanya enteng.
“Aku tidak bohong. Dia akan membunuhku.”
“Ini sudah malam, jadi lebih baik kau tidur.” Temanku sama sekali tidak peduli dengan ketakutanku dan langsung menutup telepon; membiarkanku menghadapi ketakutan ini sendirian.
Tidak akan ada yang percaya padaku, sedangkan di balik pintu kamar sepasang mata itu mengintip menatapku, bibirnya menyeringai menampilkan taring yang tajam. Aku yakin taring setajam itu mampu mengoyak urat-urat nadiku hingga putus dan mengucurkan darah segar. Aku mungkin akan mati pucat kehabisan darah. Perlahan dia terkekeh menyadari ketakutanku.
Aku tidak tahu siapa dia. Kenapa juga dia harus datang ke rumahku dan menginginkan nyawaku. Yang pasti dia adalah sesuatu yang jahat karena semua hal jahat pasti bersembunyi di balik gelap seperti yang dia lakukan sekarang. Mungkinkah itu iblis? Aku pernah mendengar tentang iblis yang memakan jiwa-jiwa yang tersesat untuk dibawa ke neraka. Di sana mereka menjadikan jiwa-jiwa itu sebagai budak. Tapi, aku tidak pernah berhubungan dengan iblis.
Kulirik jarum jam dinding yang telah melewati pukul dua dini hari. Sejujurnya aku lelah dan mengantuk, tapi teringat bagaimana tajamnya taring itu membuatku bertekad untuk tidak memejamkan mata. Aku akan tetap terjaga hingga pagi. Tidak akan aku biarkan sesuatu di balik gelap itu mengambil nyawaku, apalagi dengan cara mengoyak urat nadiku. Aku tidak akan tidur selama sesuatu di balik gelap itu masih berada di rumahku!
Namun, hingga bermalam-malam kemudian, sesuatu di balik gelap itu tidak beranjak dari rumahku. Dia tetap bersembunyi di kegelapan yang menyelimuti rumahku; menunggu untuk membunuhku. Dia sama sekali tidak membiarkanku terlelap barang sesaat. Di pagi hari ketika cahaya matahari sedikit mengintip dari balik tirai jendela, kupikir aku bisa tidur, tapi dia malah muncul dalam mimpiku. Dia menjelma mimpi buruk ketika aku terlelap. Ketika aku terbangun dengan napas memburu, dia tertawa terbahak-bahak mengejekku.
Sial! Aku tidak tahu bagaimana harus mengusir makhluk itu.
“Kau tahu cara mengusir hantu?” Kembali aku menelepon temanku, meski aku tidak yakin sesuatu yang bersembunyi di balik gelap itu adalah hantu. Hantu tidak membunuh manusia; itu hanya dongeng untuk menakut-nakuti anak kecil agar tidak keluyuran di malam hari.
“Kau minum bir pagi-pagi begini?”
Ingin aku meneriakkan sumpah serapah pada temanku ini yang tidak mengerti kondisiku tapi justru menuduhku macam-macam. Aku ini sedang ketakutan karena ada yang ingin membunuhku, tapi dia justru menuduhku minum bir di pagi hari. Walaupun aku sering melakukannya, tapi ini bukan waktu yang tepat untuk minum-minum.
“Ada sesuatu yang gelap bersembunyi di rumah. Dia ingin membunuhku!”
“Lebih baik kau berhenti minum. Dengar, tidak ada sesuatu yang gelap yang bersembunyi di dalam rumahmu. Itu hanya halusinasimu saja.”
Halusinasi katanya? Aku bahkan bisa mendengar suara tawa jahatnya setiap malam. Sesuatu yang bersembunyi di balik gelap itu terus tertawa, menerorku, dan kadang menyanyikan lagu tentang kesedihan, tentang kematian.
“Dia ingin aku mati,” ucapku lirih.
“Ya, kau memang pantas mati. Setiap laki-laki yang menyia-nyiakan keluarganya memang pantas mati.”
“Apa?”
“Tidak ada sesuatu yang bersembunyi di rumahmu. Sudah aku katakan, berhentilah minum-minum dan bayar utangmu padaku!”
Di situasi seperti ini dia justru menagih utang. Nyawaku dipertaruhkan di sini. Bisa aku bayangkan, sepasang taring tajam di antara seringaian itu.
“Itu adalah kesedihanmu yang bertumpuk-tumpuk. Bir tidak akan menggantikan keluarga yang sudah kaubuang.”
Kesedihan dan keluarga? Aku tertegun mendengar ucapan temanku. Ketika telepon itu ditutup dan ponselku meluncur dari genggaman, mataku menyusuri sudut-sudut rumahku yang sepi; tidak ada orang lain, hanya ada aku dan botol-botol bir yang isinya telah berpindah ke tubuhku, dan sesuatu di balik gelap yang kini menyeringai makin lebar. Benar, aku sendirian, bahkan tidak ada yang peduli padaku yang ketakutan menghadapi sesuatu yang jahat di rumahku.
Orang-orang yang harusnya bersamaku telah lama pergi. Istri dan anakku telah meninggalkanku. Aku sendirian. Rumah ini pernah begitu ceria dan hangat, tapi sejak aku kehilangan pekerjaan dan botol-botol bir itu menjadi lebih akrab denganku, keluargaku menjauh. Aku benci mereka yang meninggalkanku ketika aku terpuruk, ketika aku berada di bawah. Terakhir kali aku melihat istriku bersama laki-laki lain. Dia bilang, dia tidak tahan lagi hidup bersamaku, terlebih dengan botol-botol yang membuatku lupa, botol-botol yang kadang membuatku melayangkan tamparan dan pukulan ke tubuh istriku, botol-botol yang membuatku mengucapkan sumpah serapah pada keluargaku. Sedangkan putri semata wayangku telah lama pergi ke rumah neneknya. Gadis muda itu bilang tidak mau mempunyai ayah yang pengangguran dan pemabuk. Mereka tidak pernah kembali padaku.
“Harusnya kalian tidak meninggalkanku sendirian.” Aku kembali terpuruk, sedangkan di luar sana gelap telah menyelimuti bumi.
Aku mengambil botol hijau di sebelahku. Kosong. Botol-botol lain pun kosong seperti diriku. Aku benci kekosongan. Aku benci ketika aku tidak memiliki siapa-siapa kecuali seorang teman yang terus menagih utang padaku. Kini hanya ada aku dan dia yang tidak lagi bersembunyi di balik gelap. Sosok itu berdiri di hadapanku. Aku bisa melihat mata merahnya, tajam taringnya, dan jubah hitamnya yang menjuntai.
Aku tahu siapa dia sekarang. Dia tidak datang untuk membunuhku dengan taringnya, melainkan membebaskanku dari kesengsaraan. Dalam diam dia menatapku yang terpuruk di hadapannya. Perlahan, sosok itu berbalik kemudian melangkah menuju gudang yang gelap. Di dalam sana dia menungguku. Kembali aku mengedarkan pandangan ke setiap sudut rumahku. Sepi. Benar-benar sepi seolah dunia telah meninggalkanku, dan memang begitulah adanya. Maka aku bangkit menuju gudang; mengikuti sosok berjubah hitam itu.
Hanya ada barang-barang rongsok di dalam gudang; barang-barang yang mengingatkanku pada kenangan masa lalu yang tidak bisa lagi aku dapat. Sepeda roda empat milik putriku ketika masih kanak, mesin jahit milik istriku dan bingkai foto pernikahan yang kacanya telah tersepai.
Aku menatap sepasang mata merah di balik tudung hitamnya. Jangan bersedih lagi, begitu katanya. Perlahan tangannya menunjuk seutas tali yang telah terikat dengan rangka atap.
“Lupakan kesedihanmu.”
Di ruang tamu, di antara botol-botol kosong, ponselku berdering berulang kali tapi tidak kuhiraukan. Mungkin itu dari temanku yang akan menagih utang seperti yang biasa dia lakukan. Aku mulai mendekati seutas tali yang telah disiapkan untukku. Setelah ini aku tidak akan kesepian lagi, bukan?
Biodata Penulis
Tiqom Tarra, lahir dan besar di Pekalongan. Kini tinggal di Jembrana, Bali. Cerpen-cerpennya pernah dimuat di Tempo, kompas.id, Majas, Media Indonesia, detik.com, Gogirl, Tribun Jabar, Denpasar Post, Harian Solopos, Radar Surabaya, Fajar Makassar, apajake.id, beritabaru.co dan ideide.id