MADRASAHDIGITAL.CO,- oleh Fina Lanahdiana
Akan selalu ada bagian-bagian cerita yang tidak perlu diceritakan kepada siapapun, sebab barangkali jika hal itu terjadi, tidak seorang pun akan mempercayainya, terlebih mendengar dengan saksama tanpa ada keinginan-keinginan untuk memotongnya di tengah-tengah jalan tanpa disusupi petuah-petuah yang bukannya membuat situasi membaik, justru akan semakin menambah kerumitan di dalamnya.
#Babak Pertama
Pagi itu sebenarnya seperti pagi-pagi biasanya. Aku bangun tidur, sarapan, dan berangkat ke kampus untuk mata kuliah fisika kuantum. Segalanya berjalan normal kecuali bahwa hari itu aku mendengar kabar Cadas ditemukan tak bernyawa di kamarnya. Tidak ada tanda-tanda kekerasan di sana. Dia hanya mati. Itu saja. Seperti hanya pergi tidur tanpa ada keinginan untuk bangun. Ya, sesederhana itu.
Kabar itu mengejutkan, tapi juga sekaligus terasa biasa-biasa saja. Aku pernah mendengar keinginan Cadas untuk mengakhiri hidupnya, tapi bukan cara yang terlalu sederhana seperti saat ini. Ketika itu dia menginginkan kematian yang indah dan elegan. Dia banyak membaca buku cara-cara mati yang baik dan menonton film-film sejenis itu.
“Kurasa aku tidak menemukan yang kuinginkan.”
“Mungkin memang tidak seharusnya kamu berpikir untuk mengakhiri hidupmu.”
“Begitu?”
“Ya, begitu.”
Diam-diam aku tersenyum telah mengatakannya tanpa perlu berbusa-busa mengutip kalimat motivasi milik siapapun yang biasanya hanya akan memperburuk keadaan karena bagi orang-orang seperti Cadas, hal semacam itu tidak diperlukan. Dia hanya butuh untuk didengar.
Tetapi usahanya tidak berakhir begitu saja. Dia bukan lelaki yang mudah menyerah jika sudah menginginkan sesuatu, meskipun pada akhirnya dia juga mendengus kesal.
“Gantung diri terlalu menyiksa karena pasti membutuhkan proses yang lama. Selalu ada jarak antara ketika kamu mendorong tubuhmu menjauh dari pijakan hingga tubuhmu terpelanting, terayun-ayun … itu tampak menyakitkan.”
“Bagaimana dengan racun?”
Aku sama sekali tidak bermaksud untuk mendukungnya melakukan upaya bunuh diri. Tidak sama sekali. Aku hanya pura-pura melakukannya, karena tak ingin tampak cemas di hadapannya.
“Cara yang cukup aman sepertinya. Tapi aku juga tidak tahu apakah prosesnya juga tidak akan menyisakan rasa sakit.”
“Mungkin saja tidak, atau …”
“Atau semuanya akan gagal karena terlalu minim risiko.”
“Sepertinya, tapi tidak juga. Buktinya beberapa aktivis mati setelah diracun.”
“Diracun dan meracuni diri jelas dua hal yang berbeda.”
“Ya, kamu benar.”
“Diracun, kamu tidak akan memikirkan apa-apa. Yang kamu tahu, kamu hanya butuh untuk makan atau minum sesuatu hanya karena lapar ataupun haus, dan kamu tidak tahu ada racun di situ. Tapi meracuni diri …”
Kupikir, sebenarnya Cadas tidak benar-benar ingin mati. Maksudku, dia ingin hanya saja dia tidak cukup punya keberanian untuk melakukannya. Bagi orang-orang yang benar-benar ingin mati, pasti tidak memikirkan hal-hal teknis semacam itu. Segalanya telah menjadi pendek dan tak perlu jeda untuk alasan-alasan. Terlebih aku pernah memergokinya ketika duduk di bangku kelas, melamun.
“Kamu sedang memikirkan apa?”
“Apakah menurutmu, orang-orang yang mengakhiri hidupnya akan selalu masuk neraka?”
Aku kesulitan menjawabnya. Tapi pada akhirnya kukatakan, “Aku tidak benar-benar tahu, tapi aku percaya bahwa setiap perbuatan akan menuai balasannya.”
“Ah, aku ada ide yang jika dipikir-pikir akan sangat bagus …”
“Apa itu?”
“Kamu tahu orang-orang yang mengalami kecelakaan di jalan, kan? Prosesnya pasti sangat cepat, ketika seseorang jatuh tersungkur di jalan, lalu dari belakang, sebuah truk menyambar tubuhnya yang tak berdaya. Aku membayangkannya seperti cahaya kilat. Itu pastilah tidak akan terasa menyakitkan. Lagipula, tidak akan ada yang tahu jika itu bunuh diri. Orang-orang hanya akan tahu itu kecelakaan saja tanpa berpikir yang lain-lain. Bisa jadi karena seseorang itu jatuh karena kurang hati-hati, sedang sial, atau terlalu sibuk bermain ponsel saat berkendara.”
“Itu memang terdengar bagus, maksudku bahwa prosesnya bisa sangat cepat sehingga kamu tidak akan perlu merasakan sakit. Tapi cara itu sangat buruk jika kamu menginginkan tubuhmu yang sempurna itu tetap diingat sebagaimana seharusnya. Mungkin saja kepalamu akan hancur, lantas otakmu tumpah di jalan bersama darah yang tercecer, lenganmu tak utuh, kakimu patah …”
“Oke, cukup. Kupikir aku mulai pusing dan mual sekarang.”
“Kurasa kamu perlu berjalan-jalan, Cadas. Kamu sudah memikirkan begitu banyak hal. Tidak mudah untuk mengendalikannya. Kita bisa pergi ke pantai jika kamu mau.”
“Pantai Saloka?”
“Bisa pantai mana pun. Suara ombaknya punya sifat menenangkan. Dan angin … kita bisa duduk-duduk untuk menikmatinya. Menyaksikan senja, yang meskipun sudah menjadi sesuatu yang tidak lagi istimewa karena hampir semua orang menyukainya, bukankah itu tetap saja bagus untuk disaksikan?”
Cadas tertarik dengan saranku dan keesokan harinya kami pergi ke pantai Seloka. Tidak banyak orang di sana. Hanya beberapa nelayan yang menepikan perahu, beberapa remaja tanggung yang sepertinya sepasang kekasih, dan pohon-pohon yang nyiurnya tampak bagai gadis-gadis yang sedang menari. Kami duduk cukup dekat, karena kaki kami menyentuh lidah ombak yang datang dan pergi. Tidak peduli jika pada akhirnya baju kami menjadi basah karena jilatan ombak.
“Bia?”
“Ya?”
“Apakah menurutmu aku cukup punya alasan untuk tetap hidup?”
Kupikir membawanya ke pantai akan membelokkan pembahasan ke hal-hal menyenangkan. Membincangkan puisi misalnya. Tapi rupanya perkiraanku salah. Pikiran, meskipun berada di dalam dan tampak diam, rupanya tetap saja bergejolak meskipun sudah dialihkan ke hal-hal yang seharusnya bisa meredam keributan.
“Tentu saja. Terlalu banyak alasan.”
Aku tidak berani memandang matanya. Terlalu banyak kesedihan dan rasa sakit di sana. Aku tidak terlalu bisa membantunya, tapi juga tidak ingin dia melakukan apa yang diinginkannya. Kali ini aku merasa gagal sebagai seorang teman, meskipun aku tetap berusaha untuk meyakinkannya.
Ayah dan ibunya berpisah selagi dia masih bayi. Ayahnya menikahi ibunya ketika telah memiliki istri dan membiarkan dia tinggal bersama neneknya. Tetapi kehidupannya berubah begitu neneknya meninggal. Dia tinggal bersama ayahnya, tapi seperti tak memiliki siapa-siapa. Berpindah dari satu kota ke kota lainnya.
Cadas memutuskan untuk pergi dari rumah ayahnya dan menghidupi dirinya sendiri dengan bekerja apa saja yang dia bisa. Kehidupannya hampir sama seperti orang lain pada umumnya; berteman, mencintai gadis-gadis, melakukan hal-hal konyol …
“Aca akan menikah. Dia meninggalkanku begitu saja. Padahal aku tidak melakukan kesalahan apa-apa. Dia mengatakannya tanpa memiliki rasa bersalah. Dia mengembalikan benda-benda yang pernah kuberikan padanya. Aku sudah memusnahkan semuanya …”
Rasanya aku tidak bisa berkata apa-apa. Itu pastilah sesuatu yang sangat berat.
“Kamu boleh menangis.”
“Meskipun aku laki-laki?”
“Meskipun kamu laki-laki. Kesedihan tidak semestinya memiliki gender. Ia bisa dan boleh dirasakan oleh siapa saja, termasuk kamu.”
***
#Babak Ke-dua
Cadas bercerita padaku bahwa dia menerima kiriman sebuah amplop berisi kartu pos bergambar. Sesuatu yang asing baginya karena dia hampir tak pernah berkirim surat dengan siapapun. Di amplop itu juga tidak tertulis alamat pengirim yang jelas. Hanya sebuah angka 10 dengan simbol sebuah tongkat. Dia tidak tahu cara membaca gambar itu, juga tidak tahu apakah gambar itu benar-benar bisa dibaca.
“Ini tampak seperti lukisan surealis. Kamu bisa mengartikannya sebagai apa saja.”
Kuperhatikan gambar itu baik-baik, dan aku melihat bangunan-bangunan yang tampak raksasa dengan tangga-tangga masuk dan keluar. Bangunan itu tampak sungguh rumit dan melelahkan. Tidak jauh dari sana, ada sebuah gerbang terbuka dengan gambar seorang gadis yang sedang melarikan diri dengan seekor anjing. Setelah kuperhatikan dengan lebih dekat lagi, ternyata bukan anjing. Hampir seperti kecoa atau laba-laba.
“Ini sangat aneh, kan? Akan lebih baik aku menerima sebuah surat misterius karena lebih mungkin untuk dibaca daripada gambar tidak jelas semacam ini.”
Aku hanya mengangguk.
“Menurutmu, gambar ini bercerita tentang apa? Andaikan saja kamu seorang penikmat lukisan di sebuah pameran. Kamu pura-pura untuk melihat setiap detilnya, untuk kemudian menceritakan apa yang kamu dapatkan dari gambar itu …” saranku kemudian.
“Aku tidak tahu. Menurutmu pengirimnya punya tujuan tertentu?”
“Kurasa iya. Meskipun pengirimnya melakukannya secara tidak sengaja?”
“Apakah itu mungkin? Melakukan sesuatu yang jelas-jelas tindakan nyata, tetapi tidak sengaja?”
“Mungkin saja. Jika pengirimnya seseorang yang mengalami momen tidur berjalan, misalnya.”
“Kamu terlalu banyak menonton film. Pasti karena Behind Her Eyes, kan?”
Aku hanya tertawa karena tebakan Cadas benar.
“Tapi hampir semua tokoh di film itu melakukan aktivitas dalam mimpinya secara sadar.”
“Setelah mereka tahu mimpi bisa dikendalikan.”
“Dan aku benar-benar merasa tak berdaya mengetahui akhir cerita itu setelahnya. Tidak terlalu buruk, dan aku hampir meleset mengikuti tiap-tiap jalan ceritanya. Tapi sebenarnya setiap ‘tanda’ sudah disisipkan di adegan-adegan sebelumnya. Dan mungkin demikian pula dengan gambar itu.”
Cadas tampak berpikir serius, seperti sedang menebak-nebak. Aku tahu, kejadian ini terlalu misterius untuknya.
***
Satu minggu kemudian, Cadas menerima kiriman gambar ke-dua. Kali ini wajahnya lebih murung daripada sebelumnya.
“Gambarnya seperti apa?”
“Seorang gadis yang sedang memainkan akrobat. Buah-buahan menghambur di hadapannya, hampir seperti melingkar. Gadis itu tampak berkonsentrasi dengan benda itu. Ada angka 2 dan simbol koin di bawahnya. Dan kenapa gambarnya selalu seorang gadis?”
“Itu hanya pemeran, kan? Tidak selalu menunjukkan sesuatu. Seperti tokoh dalam cerita-cerita monolog. Bisa hanya seorang laki-laki atau perempuan. Tergantung siapa yang berminat.”
“Tapi kamu yakin bahwa gambar gadis tidak berarti apa-apa?”
“Mungkin saja. Toh, kita hanya bisa menebak-nebak …”
“Bagaimana cara untuk memecahkan semuanya?”
“Barangkali tidak setiap hal harus dipecahkan, atau dipikirkan. Ia cukup untuk dialami.”
Cadas tampak tidak mengerti dengan yang kukatakan. Dia seperti sedang memikirkan bahwa aku tidak berniat membantu sama sekali. Aku hanya tidak ingin membuatnya terus menerus berpikir.
“Tapi gambar ini seperti teka-teki yang harus dikerjakan.”
“Bagaimana jika itu hanya simbol? Pengirimnya hanya ingin memberitahumu mengenai hal-hal yang sedang terjadi padamu. Dan kamu bukannya harus memecahkannya, tetapi cukup memperhatikan polanya. Jika sudah, kamu akan tahu dengan sendirinya.”
“Aku tidak mengerti yang kamu katakan.”
“Tidak semua hal harus dimengerti, Cadas.”
“Tapi, Bia. Kamu tidak memahami kecemasanku …”
“Ya, baiklah. Aku tidak memahai kecemasanmu. Dan itu sulit untuk diredakan. Semua hal memang tergantung padamu. Aku tidak bisa melakukan apa-apa.”
Cadas mendengus. Dia tampak sangat kesal dan ingin berlari dariku sejauh-jauhnya. Bahkan jika dia melakukannya, aku hanya akan membiarkannya. Itu pilihannya.
#Babak Ke-tiga
Cadas mendapatkan kiriman gambar ke-tiga lebih cepat daripada saat dia mendapatkan gambar ke-dua. Masih seorang gadis, berdiri di tengah sebuah labirin yang melingkar. Gadis itu mengenakan sebuah gaun berwarna merah muda sehingga hampir menyerupai bunga mawar berwarna merah muda yang sedang mekar. Seperti sebuah istana yang menjulang. Di bawah labirin itu, ada pintu berbentuk lubang kunci. Tidak jauh dari pintu itu, seorang kurcaci memegang kunci dan berpaling dari sana. Berbeda dari gambar pertama dan ke-dua, gambar ini memiliki angka berbentuk romawi, XX.
“Sekarang kamu percaya kan, Bia. Ini bukan hanya sekadar gambar. Bukan sesuatu yang dikirim secara kebetulan. Teka-teki ini pasti punya maksud.”
“Aku percaya.”
“Jadi, sekarang kamu tahu apa yang harus kulakukan?”
Pertanyaan itu tidak pernah terjawab. Dan itu sesuai dengan keinginanku. Juga keinginan Cadas. Sebenarnya aku bisa menceritakan sedikit dari gambar-gambar yang diterima Cadas.
Saat gambar pertama diterima, sudah jelas. Badai itu datang. Bertubi-tubi. Dia menghabiskan banyak sekali tenaga untuk mengatasinya. Tetapi dia terus menerus memikirkannya. Pertama, kekasihnya pergi, lalu ayahnya tiba-tiba menghubunginya karena kehilangan pekerjaan. Lelaki itu menginginkan uang darinya, dan tidak peduli bahwa mereka berada pada situasi yang sama sulitnya. Di tempat kerja, dia hampir memikul semuanya sendiri. Rekan kerjanya tak terlalu ambil peduli dengan bagiannya dan hanya bermain game setiap harinya. Tidak hanya pikiran, fisiknya pun mulai memperlihatkan tanda-tanda perlawanan. Dia mulai jarang masuk kuliah karena pekerjaannya tidak bisa ditinggalkan. Setiap malam dia menjalani jam-jam insomnia. Aku tahu karena sebisa mungkin menanyakan kabarnya.
Gambar ke-dua menggambarkan setiap upaya yang dilakukannya untuk menjaga segala situasinya tetap seimbang. Tetapi dia sudah tidak mampu menampung semuanya. Segalanya seolah kota runtuh yang tiba-tiba menjatuhkan diri ke tubuhnya. Dan gambar ke-tiga … itu adalah sebuah permulaan baru yang terjadi padanya. Begitulah, Cadas tidak perlu memikirkan cara-cara mengakhiri hidup, karena pada akhirnya dia mendapatkannya tanpa bersusah payah. Kali ini Cadas melupakan sesuatu bahwa hanya aku teman yang selalu terhubung dengannya, yang mengetahui setiap hal-hal yang dia kerjakan, hal-hal yang menimpanya. Dia lupa berpikir dari mana gambar-gambar itu berasal.[]
Tentang Penulis
Fina Lanahdiana, lahir dan tinggal di Kendal. Beberapa tulisannya bermukim di www.filadina.my.id, bisa ditemui melalui akun IG/Twitter @filadina.