MADRASAHDIGITAL.CO,- oleh Arianto Adipurwanto
Ia selalu duduk di pintu, memandang ke arah Sungai Keditan seolah-olah ia tidak buta. Beberapa ekor lalat mengerumuninya. Terbang di sekitar kepala, mendekat ke lubang telinga, hidung, mulut, dan hinggap di wajahnya. Kedua matanya terbuka. Sesekali bergerak ke kiri dan ke kanan. Sedikit pun tidak menunjukkan tanda-tanda bahwa ia tidak bisa melihat.
Ia satu dari segelintir orang yang masih tersisa di Lelenggo dan hanya ia seorang yang membuat rumah di dekat Sungai Keditan. Diam di rumah yang pelan-pelan menuju kehancuran. Atap dari daun kelapa telah lapuk dan berlubang di banyak tempat. Daun-daun dan bunga dadap berjatuhan ke bagian dalam rumah. Mendarat di lantai tanah yang selalu lembap dan di atas dipan bambu yang telah reot; miring ke kiri, jatuh di atas pakaian berbau apak yang digantung di seutas tali rapia yang dibentangkan dari satu tiang ke tiang lainnya, bertumpuk menjadi sarang aneka serangga dari yang berbisa sampai yang teramat busuk baunya.
Dinding rumah ini dari bambu yang juga telah berlubang di sana-sini. Ayam, kadal, dan juga anak-anak anjing peliharaannya bebas keluar masuk rumah lewat lubang-lubang yang dibiarkan menganga.
Orang-orang yang kebetulan mampir di rumahnya sering mengungkapkan keinginan mereka untuk membantu ia memperbaiki rumah tetapi tak satu pun dari mereka benar-benar melaksanakan apa yang mereka niatkan. Dan si buta tidak pernah meminta tolong kepada siapa pun untuk memperbaiki rumahnya. Ia hanya terkekeh-kekeh dan kedua matanya berbinar tatkala mendengar orang-orang mengungkapkan niat luhur mereka.
Di depan rumah ini, dipisahkan beberapa pohon kopi, ada jalan setapak kecil. Setiap hari hanya beberapa orang yang lewat. Pengangkut kayu, orang yang datang mengambil tuak, pedagang untuk-untuk, dan warga yang pergi meminum tuak ke rumah warga lainnya di seberang sungai. Tetapi, kemudian diketahui ada pemandangan lain yang kerap ia saksikan: hantu-hantu hutan yang menimbulkan suara gemerincing seperti ada ratusan uang logam dan juga suara bocah-bocah pemburu babi yang berasal dari suatu tempat yang tidak terlihat oleh manusia biasa.
Para pengangkut kayu selalu menyempatkan diri berhenti di Sungai Keditan, terkadang mereka mandi atau sekadar berhenti untuk melepas lelah. Dan selalu saja ada di antara mereka yang melihat ke arah rumah si buta dan bertanya tentangnya. Bagaimana cara ia mendapatkan makanan, apa yang ia lakukan sepanjang waktu, apa gerangan yang ia tunggu dan sebagainya. Dan seingat mereka selama lewat di jalan setapak depan rumahnya mereka selalu melihat si buta tengah duduk di pintu, memandang ke arah sungai. Tidak jarang kedua mata itu melihat persis ke arah mereka dan memaksa mereka harus mengangguk atau menyampaikan sapaan-sapaan karena merasa telah tertangkap basah berbuat kesalahan.
“Epe ndak mandi?” begitu terkadang salah seorang dari mereka menyapa dan yang lain menyusul dengan bertanya, “Ada dagang untuk-untuk lewat di sini tadi?” atau sekadar mengajak minum tuak hanya untuk berbasa-basi.
Selama itu laki-laki buta hanya memandang kosong ke arah mereka. Menggeleng-geleng kecil dan kadang mengangguk-angguk. Tidak ada suara yang keluar dari mulutnya. Respon serupa yang ia berikan kepada pedagang untuk-untuk yang setiap lewat di depan rumahnya selalu berteriak ‘untuk-untuk’ beberapa kali. Ia juga hanya terbatuk-batuk kepada warga yang lewat di depan rumahnya dan mengajaknya pergi minum tuak. Hanya ketika mendengar gemerincing uang logam dan nyanyian bocah-bocah pemburu babi ia akan bangkit dari tempat duduknya dan berjalan mondar-mandir di halaman kecil rumahnya. Kegelisahan seperti tiba-tiba jatuh menimpa tubuhnya.
Dari seorang warga dari kampung di utara Lelenggo yang suatu hari terlambat pulang dari hutan tersebar cerita kalau si buta sebenarnya tidak buta. Si buta duduk sepanjang waktu di pintu adalah untuk menunggu anak-anaknya yang hilang ratusan tahun lalu. Warga itu mengungkapkan sebuah fakta bahwa tak seorang pun yang benar-benar tahu kapan persisnya si buta dilahirkan. Ia telah ada di Lelenggo jauh sebelum sekelompok orang datang dan menamai tanah itu dengan nama Lelenggo.
Cerita warga yang terlambat pulang dari hutan itu menarik perhatian seorang laki-laki yang tadinya terlihat tidak mengetahui apa-apa. Laki-laki itu mengaku pernah berguru pada si buta dan ia melontarkan kata-kata yang membuat orang-orang terperangah. “Dia bisa melihat kalau dia mau melihat, tapi yang dia lihat cuma orang perang di tengah-tengah kebun kopi yang sangat luas,” katanya. “Guru saya sedang lihat dirinya perang,” lanjutnya.
Seolah sebuah sumbat telah terbuka di suatu tempat di dalam diri laki-laki itu, cerita yang panjang lebar kemudian mengalir begitu lancar, bahkan tidak sanggup dijeda oleh siapa pun. Cerita itu kemudian menyebar begitu cepat sampai-sampai orang-orang ragu si buta sendiri tidak mendengar cerita tentang dirinya itu. Orang-orang yang akan berangkat ke hutan dan melewati jalan setapak depan rumah si buta akan selalu cemas dan mereka selalu saling mengingatkan supaya tidak menyebut-nyebut cerita itu, bahkan mengingatkan diri mereka sendiri supaya tidak lancang mengingat cerita itu di dalam kepala mereka, seolah si buta dapat mengintip langsung isi kepala mereka.
Si buta disebutkan tengah melakoni sebuah perang dahsyat melawan sekelompok orang sakti yang tiba-tiba saja datang merebut tanah luas miliknya. Tanah yang telah ia garap selama bertahun-tahun dengan penuh kerja keras, yang adalah hutan belantara pada awalnya. Ia menanami tanah itu dengan kopi sampai ketika musim kopi datang nasi yang ia masak menguarkan aroma bunga kopi. Ia tinggal berdua dengan istrinya. Tanah itu ia dapatkan dengan mengorbankan dua orang anaknya. Direnggut darinya oleh para penunggu hutan. Dan anak-anaknya yang telah hidup di dunia jin, sesekali lewat di depan rumahnya menggotong babi hasil buruan mereka.
Pertarungan itu tidak pernah berakhir. Dirinya terperangkap di sana, menjalani pertarungan abadi melawan musuh-musuh yang begitu tangguh. Setiap kali kedua matanya bisa melihat, ia akan muncul di tanah luas itu dengan kesaktian-kesaktian baru. Kesaktian yang ia dapatkan langsung, diantarkan oleh penghuni-penghuni gunung sakti di dunia, dan diantarkan pula senjata-senjata sakti kepadanya. Sepotong kayu yang bisa meluncur melawan arus dan membuatnya kebal api. Keris yang harus diberi makan setiap malam suci yang konon milik seorang nabi. Cambuk yang darinya sungai-sungai di dunia bermula.
Seluruh senjata itu ada di dalam rumahnya dan karena itulah ia tidak pernah beranjak dari pintu. Arwah penghuni Lelenggo yang mati dalam keadaan tidak bahagia seringkali menyeberangi Sungai Keditan dan berdiri di jebak rumahnya, meminta satu senjatanya untuk menjalani kehidupan di dunia mereka. Mereka terisak-isak dan memohon-mohon kepadanya. Seluruh orang-orang itu ia kenal. Di antara yang paling sering datang adalah Maq Colaq, laki-laki yang mati dibunuh oleh orang yang ingin merebut hartanya. Maq Colaq datang kepadanya untuk meminta keris sakti untuk membalaskan dendamnya.
Tak satu pun keinginan itu ia penuhi. Ia harus menyiapkan diri untuk menghadapi pertarungan demi pertarungan yang akan ia jalani. Kebun kopi miliknya harus dipertahankan dan anak-anaknya harus dikembalikan ke dunianya. Mereka harus kembali, membantunya menggarap kebun kopinya. Istrinya yang telah lama mati dan hidup di Gunung Rinjani harus segera kembali dan menemaninya memetik kopi. Pertarungan itu benar-benar harus ia menangkan.
Ia tidak berguru pada siapa-siapa. Kesaktian begitu saja ia miliki. Sebaliknya, begitu banyak orang menderita di dunia datang ke rumahnya dan meminta sedikit kesaktian kepadanya. Sudar Gana, si raja maling, pernah datang kepadanya dan dengan hanya disentuh kepalanya Sudar Gana telah bisa terbang dan tidak bisa mati. Seorang dukun sakti dengan hanya mencium kaki si buta dapat menyembuhkan aneka macam penyakit. Ada yang kebal api dan ada pula yang mendapat kekuatan luar biasa, sehingga dapat menyelesaikan apa pun jenis pekerjaan seorang diri.
Laki-laki yang darinya bersumber cerita ini konon adalah murid ke sekian, yang kepadanya dijanjikan seluruh kesaktian si buta akan diturunkan. Setelah sumbat di dalam dirinya terbuka, setiap hari ia berkeliling dari satu kampung ke kampung lain menceritakan tentang kesaktian gurunya. Ia tidak lagi mengenakan baju dan orang-orang dapat melihat tubuhnya yang kekar. Ia mengaku pada suatu malam diberikan kemampuan untuk melihat peperangan di kebun kopi itu dan ia melihat dengan mata kepalanya sendiri gurunya menghalau sekelompok orang berbadan kekar dan bertampang bengis yang ingin merebut tanahnya.
“Kebun kopi itu sangat luas,” katanya. “Seluas dunia.”
Catatan Kaki:
Epe : Kamu (sopan);
Untuk-untuk : Jajan dari tepung dengan sepotong pisang di dalamnya;
Jebak : Gerbang.
Biodata Penulis
Arianto Adipurwanto lahir di Selebung, Lombok Utara, 1 November 1993. Kumpulan cerpennya berjudul Bugiali (Pustaka Jaya, 2018) masuk 5 besar prosa Kusala Sastra Khatulistiwa tahun 2019. Aktif di Komunitas Akarpohon, NTB.