MADRASAHDIGITAL.CO, – oleh: Kiki Sulistyo
Di kota tempat Marlon tinggal, terdapat sebuah kuil kecil. Letaknya di ujung jalan yang mengarah ke pantai. Kuil itu sudah berusia nyaris seratus tahun, dibangun pada masa ketika pelabuhan masih beroperasi dan kota kecil itu ramai oleh kegiatan perdagangan. Bangunan kuil beratap rendah dan didominasi warna merah. Ada relief naga di gerbangnya, naga itu juga berwarna merah. Kuil selalu kelihatan sepi seperti tak ada orang yang mau berkunjung, namun keadaannya yang bersih menunjukkan bahwa selalu ada orang yang menjaganya. Kadang-kadang Marlon lewat di depan kuil dan memperhatikan bangunan itu. Setelah gerbang depan ada gerbang lain terbuat dari besi yang dibuka dengan cara digeser yang membatasi halaman dan ruang dalam. Dari balik gerbang itu tampak guci-guci besar dengan batang-batang dupa tertancap di dalamnya. Kadang ujung dupa itu masih mengepulkan asap tipis, meliuk di sekitar relief seorang pandita. Marlon suka melihat pemandangan dalam kuil itu, seperti ada rahasia yang bersembunyi di sana. Tapi tak pernah sekalipun Marlon memberanikan diri masuk ke dalam kuil. Lelaki penjaga kuil yang bertampang murung sesekali berdiri di depan dan pada saat seperti itu Marlon akan mempercepat langkah seakan-akan dia sedang berniat melakukan kejahatan dan niat itu sudah terendus.
Di sebelah kuil ada bangunan yang bentuknya memanjang. Pintu, jendela, dan dindingnya dicat kuning. Sepanjang bangunan ada lima pintu. Semuanya tertutup, yang terbuka hanya satu jendela yakni yang letaknya paling timur. Marlon senang menyusuri teras bangunan itu dan bila dia sampai pada jendela yang terbuka dapat dilihatnya dari jendela itu suasana di dalam bangunan yang mirip kantor. Terdapat meja dan kursi-kursi, semuanya berwarna kuning. Tetapi yang menarik perhatian Marlon adalah sebuah lukisan besar yang terpajang di dinding. Memang ada dua lukisan dalam ruangan tapi lukisan dengan sosok balerina tak menarik perhatian Marlon. Lukisan yang menarik perhatiannya adalah lukisan yang satu lagi, lukisan yang menampakkan sosok lelaki telanjang sedang bertarung dengan seekor monyet besar dengan latar belakang langit dan awan seakan pertarungan itu berlangsung di angkasa. Lukisan itu sungguh menakjubkan bagi Marlon sebab selain ukurannya yang besar, lelaki dalam lukisan itu mirip sekali dengan lelaki penjaga kuil yang bertampang murung. Marlon tak pernah berbicara dengan lelaki itu sebagaimana dia juga tak pernah berkata-kata pada satu-dua orang yang kadang dilihatnya duduk dalam ruangan tempat lukisan itu berada.
Usai memandang lukisan biasanya Marlon akan menyeberang, menghampiri sebuah bus yang diparkir entah sejak kapan. Bus berdiri miring seakan setiap saat bisa terguling karena diparkir terlalu tengah ke badan jalan sehingga roda-roda bagian kanan ada di aspal yang lebih rendah ketimbang trotoar. Bus itu berwarna hijau. Di kaca belakang tertulis “Israel-Palestina” entah apa maksudnya. Pintu bus terbuka sehingga siapa saja bisa masuk dan duduk di kursi-kursinya.
Hari itu ketika Marlon masuk ke dalam bus dia terkejut karena tak seperti biasanya di dalam bus sudah ada orang lain. Marlon hendak mengurungkan diri duduk tapi orang itu sudah lebih dulu memanggilnya. Orang itu memakai seragam kuning seperti warna bangunan berbentuk panjang itu.
Marlon duduk dengan jarak dua kursi dengan orang yang duduk di tengah-tengah bus. “Boy,” kata orang itu. “Tadi kamu lewat di sana, apakah di dalam ada kelihatan orang?” Marlon mengangguk. “Bisakah kau membantuku, Boy?” Marlon menatap orang itu, lalu berkata, “Namaku bukan Boy. Namaku Marlon.”
“Baiklah, Marlon. Bisakah kau masuk ke dalam dan membantu saya menyerahkan surat?” Orang itu menunjukan sebuah amplop dengan tepi-tepi bergaris merah dan biru. “Apa yang harus saya katakan?” tanya Marlon. “Tak perlu mengatakan apa-apa. Serahkan saja.”
“Kenapa tak menyerahkan sendiri?” tanya Marlon lagi.
“Ah, kau. Kalau aku yang mengantar bukankah akan terlihat aneh? Aku bisa datang mengantar surat, lantas kenapa tak bisa datang untuk bekerja?”
Marlon mengambil surat. Bau apak menguar, bau yang diakibatkan hujan dan panas yang silih berganti merebus badan bus. Melihat Marlon diam saja dengan surat di tangan, orang itu merogoh sakunya dan menyodorkan dua keping uang logam. Marlon tak langsung mengambil uang, dia memperhatikan amplop seolah masih bingung dengan tugasnya. Namun ketika sinar matahari dari luar membuat uang-uang logam itu berkilauan Marlon segera meraihnya dan beranjak turun dari bus. “Boy!” panggil orang itu. “Jangan langsung ke sana, berputarlah dulu supaya kau kelihatan datang dari arah timur.” Marlon tak menjawab, tapi diturutinya permintaan itu. Dia berjalan agak jauh ke arah timur; melewati gudang kayu, kios penjahit, penjual balon, dan penyewaan video. Setelah itu Marlon menyeberang dan berjalan kembali ke arah barat. Ketika sampai di seberang bus Marlon melihat orang itu tak ada lagi dalam bus. Mungkin dia bersembunyi di bawah, atau dia sudah pergi. Marlon melangkah ke arah bangunan panjang lantas berjalan menuju satu-satunya jendela yang terbuka. Tak ada siapa-siapa dalam ruangan. Marlon menunggu sebentar sebelum mengetuk-ngetuk jendela yang terbuka. Tidak ada orang yang muncul. Marlon kemudian mengetuk pintu. Mula-mula satu pintu, lama-lama -karena tak ada orang yang muncul- semua pintu dan jendela diketuknya. Tapi tetap saja tak ada orang yang muncul. Karena bosan Marlon berniat melempar saja surat itu dari luar jendela ke salah satu meja. Tadi Marlon tak begitu memperhatikan orang itu, sekarang dia mencoba mengingat-ingat tampangnya. Semakin dia ingat wajah lelaki itu semakin mirip dengan wajah penjaga kuil, dan karena itu mirip juga dengan sosok telanjang dalam lukisan yang sedang berkelahi dengan seekor monyet besar.
Marlon tak mau berpikir lebih panjang. Dia tak suka terlibat dalam urusan semacam ini. Alangkah baiknya urusan ini segera diselesaikan dan dia berharap takkan pernah lagi bertemu orang itu. Marlon segera melempar surat melalui jendela yang terbuka. Dia membidik salah satu meja yang letaknya agak terpisah dengan meja-meja lain. Marlon mengambil ancang-ancang sebelum melempar. Surat berputar dan meluncur di udara sebelum mendarat tepat di meja. Surat itu teronggok persis di tengah-tengah meja. Marlon merasa aman. Namun ketika dia berbalik seorang lelaki sudah berdiri di belakangnya. Dia adalah penjaga kuil.
“Apa yang kamu lempar?” tanya penjaga kuil.
“Surat,” jawab Marlon.
“Surat apa?”
“Tadi saya diminta seorang lelaki untuk mengantar surat ke dalam. Karena ndak ada orang, saya lempar saja. Saya sudah ketuk semua pintu dan jendela dan tetap ndak ada orang.”
“Sebetulnya kamu bisa masuk lewat sana,” kata penjaga kuil sambil menunjuk gang kecil di sela antara bangunan kuil dan kantor. “Ayo, ikut saya,” lanjutnya. Marlon menurut. Baru disadarinya penjaga kuil membawa sangkar kecil dari bambu tempat seekor burung meloncat-loncat. Marlon tak tahu itu burung apa. Mereka masuk ke gang kecil yang lebarnya cuma bisa menampung seorang dewasa. Gang itu lumayan panjang sehingga Marlon merasa sedang memasuki suatu lubang menuju dunia yang lain. Lepas dari gang tampaklah sebuah pelataran, beberapa orang kelihatan duduk-duduk sambil berbincang. Semuanya berseragam kuning. Melihat Marlon dan penjaga kuil semua orang menyapa seakan-akan mereka sudah lama menunggu. Seseorang menjentik-jentikkan jari di depan sangkar yang diletakkan di atas meja. “Kikki, Kikki,” seru orang itu. Si burung meloncat-loncat tak senang. Marlon memperhatikan orang yang menjentikkan jari. Bukankah itu orang dalam bus tadi? “Surat sudah saya serahkan. Memang cuma saya lempar ke meja. Soalnya ndak ada orang di dalam,” ujar Marlon. Orang itu menatap Marlon. “Iya. Surat sudah saya baca.”
“Maksudnya? Kok dibaca sendiri?” tanya Marlon.
“Sepertinya ada kesalahan dalam penyusunannya. Isinya membingungkan. Saya tak betul-betul paham.”
Marlon mengangguk-angguk. “Saya juga,” katanya.
“Kamu juga sudah baca, Boy?” tanya lelaki itu.
“Belum,” jawab Marlon sambil menjentik-jentikkan jari ke arah sangkar. Burung dalam sangkar meloncat-loncat sambil bercericit seakan-akan dialah yang paling bingung. Saat itu Marlon baru menyadari kalau semua orang di tempat itu memakai seragam kuning, termasuk dirinya sendiri.***
Kekalik, 27 Maret 2021
Kiki Sulistyo, lahir di Kota Ampenan, Lombok. Meraih Kusala Sastra Khatulistiwa 2017 untuk kumpulan puisi Di Ampenan, Apalagi yang Kau Cari? (Basabasi, 2017) dan Buku Puisi Terbaik Tempo 2018 untuk Rawi Tanah Bakarti (Diva Press, 2018). Kumpulan puisinya yang terbaru berjudul Dinding Diwani (Diva Press, 2020).
Redaktur : Rumadi