MADRASAHDIGITAL.CO,- Oleh Diana Rustam
Hari ini sudah hari keempat, dan ia masih belum menemukan anaknya. Di balik pintu, di kolong ranjang, di dalam lemari, di dalam peti kayu besar tempatnya menyimpan bahan makanan, sampai di kolong rumah sudah ia periksa, tetapi Indo Rappe, anaknya perempuannya, tidak ada di sana.
Bacce duduk bersimpuh di depan kandang ayam yang ada di bawah kolong dapur rumahnya. Putus asa, perasaan bersalah, dan kesedihan yang sulit untuk dikatakan, menumpuk jadi satu, ketika di tempat terakhir itu Indo Rappe juga tidak ada.
Ia pergi ke sumur dengan sempoyongan, kemudian menimba air lantas mengguyur tubuhnya dengan air itu dari atas kepala, seolah-olah air sumur itu bisa menenangkan kecemasannya. Dari mulut perempuan itu keluar kata-kata, “O Tallu Ana’, kasih pulang Indo Rappe.” Terus ia ulang-ulang, dan air dalam timba dari sumur di sebelah rumahnya itu juga terus ia guyurkan ke tubuhnya.
Lama Bacce berdiri di sumur itu seperti orang yang kehilangan ruh, ia tidak menghiraukan sekitarnya, lalu kembali ke dalam rumah dengan berlari menaiki tangga dalam keadaan basah kuyup. Ia mulai lagi dari dapur: memeriksa peti kayu, menengok sudut pintu, mengintip kolong tempat tidur, kolong meja, kolong kursi, membuka lemari satu-satunya yang ia miliki di rumah itu dan, sekali lagi ia kecewa.
“O Indo Rappe, O anakku ….” Ia meraung seperti lolong anjing di tengah malam.
***
Dengan berkain sarung dan kaki yang telanjang Bacce menggendong Indo Rappe. Langkahnya terburu-buru menuju belakang rumah, pergi ke arah hutan di waktu menjelang magrib.
Semakin jauh ia menyibak belukar, semakin dekat ia kepada hutan itu, dan kabut turun kian pekat. Saat itulah Bacce tahu sudah saatnya. Segera ia turunkan Indo Rappe dari gendongan, mendudukkan anak perempuan enam tahun itu di balik sebuah pohon, lantas dengan tergesa ia membalikkan badan.
Ia tidak ingin berbalik lagi, kebenciannya pada Indo Rappe saat itu membuatnya putus iba. Bacce kembali memacu kakinya menuju rumah, tidak dihiraukannya erangan Indo Rappe. Kemudian erangan itu lenyap sama sekali, kaki Bacce terhenti. Saat itu ia yakin, Tallu Ana’ sudah datang dan membawa pergi Indo Rappe.
Di rumahnya sepi, hanya ada dirinya dan lampu minyak yang menyala kerdil. Tidak tampak Saipuddin. Ia sudah pergi sejak kemarin, di hari mereka bertengkar. Suaminya itu sudah tidak bisa menahan diri, dan mengutuk dirinya akan sial seumur hidup bila beristrikan Bacce.
Tidak ada yang bisa dikatakan Bacce ketika Saipuddin membungkus semua barangnya dan berkata, “Saya baru akan pulang kalau Indo Rappe bisa berjalan, bisa bicara! Jangan bilang saya ini bapaknya kalau anakmu itu masih bodoh!” Tapi Bacce tahu itu mustahil.
Ucapan terakhir Saipuddin membuat Bacce marah. Marah kepada Saipuddin karena Saipuddin menghina Indo Rappe. Marah kepada dirinya, karena tidak bisa melahirkan anak yang normal. Dan menjadi marah pula kepada Indo Rappe karena lahir tidak sempurna, yang membawa malu bagi Saipuddin, dan membuat Saipuddin ingin pergi meninggalkannya.
***
“Tidak jadi lagi, Bacce?! Perut apa perutmu itu sampai tidak bisa ditinggali anak!”
Bacce menunduk. Tidak berani mengangkat muka untuk meladeni tatapan Saipuddin. Baru saja ia menemukan darah ketika mandi pagi, padahal sudah dua bulan terlambat haid. Saipuddin yang senang karena kabar kehamilan tempo lalu, langsung naik pitam setelah mendengar pengaduan Bacce. Segala kegembiraan yang mekar di hati Saipuddin dua bulan lalu, mendadak rontok tak bersisa.
“Barangkali belum waktunya, Daeng.” Bacce menjawab dengan takut-takut.
“Jadi kapan waktunya?! Sudah tujuh kali keguguran, itu artinya kamu memang perempuan maleere! Sekalinya melahirkan anak, anak yang kamu lahirkan itu tidak berguna, cuma bikin malu saja!” Akhirnya caci maki tidak terelakkan lagi, yang disambung dengan tangan Saipuddin yang melayang ringan di wajah Bacce.
Harus diakui Bacce bahwa benar, menikah tiga belas tahun dengan Saipuddin, sudah tujuh kali dari delapan kehamilannya ia mengalami keguguran. Semuanya di usia kandungan yang masih muda. Di kehamilan ketujuh, kehamilannya bertahan, sampai melahirkan bayi perempuan yang mereka beri nama “Indo Rappe” yang bermakna tersangkut atau tertahan, bahwa bayi itu berhasil lahir ke dunia.
Tetapi, apa yang hendak dikata Bacce dan Saipuddin, ketika Indo Rappe tidak tumbuh seperti anak-anak lain. Indo Rappe tidak bisa berjalan, Indo Rappe tidak bisa bicara, kecuali suara meraung-raung yang keluar dari mulutnya.
Di mana ia akan kencing maka di situlah Indo Rappe kencing. Di mana ia akan buang air besar, maka di situlah ia akan buang air besar. Indo Rappe tidak bisa berhenti makan, Indo Rappe tidak kenal kenyang. Dan senyum anak perempuan itu, atau tawa anak itu yang memamerkan giginya yang buruk, juga tangisnya, membuat Saipuddin benci kepada Indo Rappe.
Dan saat itu, ketika Saipuddin memaki dan menamparnya, Bacce mendadak merasa benci dengan Indo Rappe yang hanya bisa merayap ke sana ke mari. Terbayanglah di matanya seluruh rumah yang penuh tumpahan makanan, bau pesing dan kotoran yang tercecer tidak pernah ada habisnya. Teringat lelahnya yang harus membawa Indo Rappe ke mana-mana apabila ia bepergian: ke sawah, ke ladang, dan ke pasar untuk berjualan. Teringat pula olehnya, Indo Rappe yang selalu jadi sasaran mata sinis orang-orang. Semuanya itu tiba-tiba menjadi soal untuk Bacce sebab kekecewaan Saipuddin padanya, padahal mula-mula Bacce tidak pernah mengeluh dengan keadaan anaknya.
Itu bukan satu-satunya yang membuat Bacce ingin membuang Indo Rappe, tetapi juga karena tudingan “Cilaka” dari mulut mertua dan saudara iparnya. Tidak kecuali ibunya. “Makunrai macilaka!” perkataan itu melompat dari mulut keluarganya sendiri ketika Bacce ketahuan keguguran lagi di kehamilannya yang kedelapan. Dan kata-kata itu menetap di kepalanya.
Demikianlah, sehingga hal buruk itu akhirnya tega dilakukan Bacce. Bacce berpikir bahwa, Tallu Ana’, makhluk gaib berwujud perempuan yang tinggal di hutan, yang katanya suka menculik anak-anak itu akan mengambil Indo Rappe, bila ia pergi ke hutan dan meninggalkan Indo Rappe di sana. Dengan begitu, Bacce berharap Tallu Ana’ tidak mengembalikan Indo Rappe hidup-hidup, sebab tahu Bacce tidak lagi menginginkan Indo Rappe, karena dia mengantarkan sendiri anaknya dengan sukarela.
Memang, dipercayai orang-orang desanya bahwa, Tallu Ana’ akan datang setiap magrib saat kabut tebal turun untuk menculik anak-anak dan membawa anak-anak itu ke hutan untuk disembunyikan. Oleh Tallu Ana’ anak-anak itu akan dikembalikan setelah tiga hari tiga malam ke rumah mereka sendiri. Namun, tidak semua anak dikembalikan hidup oleh Tallu Ana’, ada yang ditemukan meninggal dan ada yang ditemukan dalam keadaan linglung. Karenanya, orang-orang desa turun-temurun selalu menjaga anak-anak mereka di waktu magrib itu, tidak membolehkan anak-anak mereka bermain jika rona merah telah tampak di langit dan kabut pekat turun. Mereka mengunci pintu-pintu dan jendela rumah rapat-rapat saat magrib datang.
Namun, di hari keempat perasaan Bacce berubah. Kesendirian membuatnya menyadari arti kehadiran Indo Rappe. Ia mulai merindukan anak perempuannya itu. Kerinduannya kepada Indo Rappe kian berat dan menyiksa. Di pelupuk matanya, hadir wajah anaknya itu yang meminta makan dan meminta untuk digendong. Ia menyadari, hanya Indo Rappelah yang ia miliki, dan karena Indo Rapellah ia merasa dimiliki.
***
Bacce masih berkeliling di dalam rumah dengan lampu minyak yang menyala di tangannya padahal malam sudah larut, lalu ia turun ke bawah, pergi ke balai-balai bambu di bawah kolong rumah, ke kandang ayam, lantas ke sumur. Ia masih terus mencari Indo Rappe, dan hari itu sudah menjelang hari ke lima.
Ia tidak peduli, hari sudah begitu pekat. Tidak peduli bahwa hanya dirinya yang masih terjaga. Dengan obor yang menyala di tangannya, Bacce berjalan ke belakang rumah, pergi ke hutan di mana terakhir kali ia meninggalkan Indo Rappe.
Tidak peduli semak yang melukai kakinya, tidak peduli kepada ular atau babi hutan yang mungkin saja datang menyerangnya, Bacce terus berjalan. Sementara api dari obor yang digenggamnya erat, meliuk-liuk tidak keruan diembus angin malam.
Ia tiba di tepat itu, tetapi tidak dilihatnya Indo Rappe, kecuali pohon-pohon yang rapat dan berdiri tegak. Pecah tangis Bacce, lagi-lagi seperti lolongan anjing.
“O Tallu Ana’! kasih pulang Indo Rappe. Kasih pulang anakku!”
Apa yang datang ke benak Bacce kemudian, tidak lain adalah ia berprasangka bahwa Tallu Ana’ tidak ingin mengembalikan Indo Rappe, Tallu Ana’ sudah mengambil Indo Rappe untuk selamanya. Bacce panik karena pikirannya sendiri, maka ia berteriak-teriak kencang memanggil Tallu Ana’ dan nama anaknya, sampai parau sampai sakit kerongkongannya.
Bacce masih berkeliling di hutan itu, sementara malam sudah hampir lewat, tapi belum juga ada tanda-tanda Indo Rappe. Perempuan itu masih terus berteriak-teriak memanggil nama anaknya. Dan teriakan itu lama-kelamaan diselingi tawa dan tangisan.
Teriakan, tawa, dan tangis Bacce tidak pernah berhenti sejak hari itu, sampai ia menjadi tua. Dan semenjak kejadian itu pula, Bacce menjadi senang berkeliling kampung setiap menjelang magrib saat kabut turun. Anak-anak kecil yang masih berkeliaran di luar rumah di waktu petang saat kabut tebal, yang luput dari penjagaan orang tuanya, ditangkap oleh Bacce dan dibawa pulang ke rumahnya. Anak yang ia bawa pulang itu ia mandikan, ia beri makan, dan ia panggil “Indo Rappe”. []
Makassar, Agustus 2022.
Keterangan:
Maleere: Perempuan yang tidak bisa memiliki anak.
Makunrai macilaka : Perempuan sial.
Biodata Penulis
Diana Rustam, lahir di Kolonodale, Sulawesi Tengah. Saat ini bertempat tinggal di Gowa, Sulawesi Selatan. Alumni Diploma Tiga Fakultas Pertanian dan Kehutanan Universitas Hasanuddin. Cerpennya ada yang telah dimuat di koran lokal dan media online, dan beberapa yang lain ditulis di media sosial.