MADRASAHDIGITAL.CO,- Oleh Shasa Apriva Rustam
“Hatiku adalah lautan dan kau ada di dalamnya,” Suara itu menggema memenuhi pendengaranmu.
Bersamaan dengan suara lembut namun terdengar samar itu, kau melangkahkan kaki lusuhmu menuju bibir pantai. Butiran pasir pantai memenuhi sela jemari kakimu. Tergopoh-gopoh kau melangkah menjejaki ombak yang pecah di tepi. Buih-buihnya berhamburan seperti perasaanmu yang tak kunjung reda. Seperti cintamu yang telah tercecer dan terpencar entah hingga ke samudera yang mana, entah ke lautan di sudut mana, entah di teluk di bagian mana di belahan dunia ini. Namun kau tahu pasti, bahwa kau mencintai belahan hatimu dengan sepenuh dan setulus yang mampu kau beri.
“Lusa, abang akan menaiki kapal menuju Jakarta, abang tak bisa begini saja membusuk di antara ikan-ikan busuk. Abang harus melihat dunia, mencari pundi kehidupan untuk kita kelak,” ujarnya saat diam-diam kalian bertemu di dermaga saat semua kapal telah bersandar dan hanya tersisa kalian berdua bersama desau angin yang membawa bau garam.
Kau hanya termenung mendengar ucapan itu. Angan indah memiliki keluarga kecil di rumah panggung sederhana di sudut kampung dengan deretan cabai, butur, pare, dan apa saja yang bisa ditanam untuk keluarga kecilmu pun sirna seketika.
“Tapi, Abang berjanji untuk meminangku akhir bulan Syawal. Bagaimana Abang bisa lupa?” Kau menatap lelaki di hadapanmu ini dengan nanar. Bagaimana mungkin ia melupakan begitu saja pengharapan yang selalu kautunggu.
“Sungguh, abang tidaklah lupa. Sabarlah sedikit lebih lama, Nong. Abang janji, abang hanya ingin bersamamu. Sebelum Syawal tahun depan, abang pasti sudah kembali. Abang ingin bekerja dengan sungguh di Jakarta kelak demi kita. Abang tak ingin kau hidup melarat. Abang ingin kenduri kita dihadiri oleh banyak orang. Abang ingin umbul-umbul memenuhi jalanan saat kenduri kita nanti. Sabarlah sedikit lebih lama, Nong.”
Dadamu terasa sesak dan matamu terasa panas. Namun dengan bersusah payah kau menenangkan perasaanmu yang bergejolak. Kau menggenggam ujung baju kurungmu dengan sangat erat seakan amarahmu mampu teredakan dengan hal itu.
“Abang janji akan pulang dengan segera setelah uang cukup bukan?” Kau berusaha menepis perasaan ragu dan menelan bulat-bulat kepercayaan dan memasukkannya ke dalam salah satu celah di hatimu.
“Iya. Abang hanya sedang memperjuangkan penghidupan untuk kita kelak dan kau hanya perlu percaya, Nong.” Lelaki di hadapanmu ini menggenggam tanganmu yang dingin karena rasanya seluruh darah di dalam tubuhmu telah lenyap dan menguap terbawa angin laut dan melebur entah ke mana.
Kau tak menjawab apa-apa. Kau menatap lelaki di hadapanmu ini. Lelaki dengan perawakan yang mengingatkanmu akan guru agama di madrasahmu dulu. Rambutnya hitam pekat dan ikal. Alisnya tebal namun berantakan. Dengan mata jenaka yang selalu menyenangkan hatimu.
“Jika sampai nanti abang tak pulang, kau jangan khawatir, Nong. Kau tak akan pernah abang biarkan sendiri. Akan selalu ada abang dalam setiap tapakmu. Hatimu adalah peta terbaik untuk menemukan kita,” ujarnya dengan senyum yang menenangkan hatimu.
Namun ternyata ia ingkar. Ia tak pernah kembali.
Kau bak orang gila, berlari dengan kaki telanjang menuju balai kampung saat kau mendengar kabar bahwa kapal yang membawa lelakimu itu karam dan tenggelam di selat.
Duniamu terasa runtuh. Orang-orang berusaha menenangkanmu yang berteriak. Namun rasanya teriakanmu tak terdengar oleh lelakimu. Kau hanya ingin ia kembali bersamamu di dunia ini. Orang-orang melihatmu dengan iba. Namun orang-orang itu tak mampu melihat cintamu yang melimpah ruah menyesaki dadamu dan berceceran di jalan setapak. Kau berusaha memungut cintamu yang berceceran itu namun yang ada malah air matamu tumpah tak terbendung.
Di saat kau sibuk membendung air matamu, sebuah suara muncul seakan disiarkan oleh langit, “Hatiku adalah lautan dan kau ada di dalamnya.”
Sejak saat itu kau sibuk menjelajahi lautan. Menyicip asin garam dan kau berpendapat bahwa setiap laut memiliki rasa asinnya tersediri. Kau selalu haus. Kau selalu ingin kembali ke laut dan minum dengan tenang di sana.
Orang-orang kini memanggilmu Miak Laot, namun kau tak menggubris atau membantah. Kau membiarkan orang-orang bercerita tentangmu, membiarkan orang menyiarkan cerita duka seakan kau adalah seorang gadis mati laki. Seoarang gadis yang cintanya kandas bahkan sebelum diikat.
Dalam hatimu kau tak pernah kesepian seperti yang mereka bicarakan. Hatimu penuh oleh rasa cinta yang tak terbendung. Kau merasa hidupmu cukup karena cinta itu mengajarimu rasa syukur.
Tak ada lagi tangis yang berceceran dan bersusah payah kau pungut setiap kali kau menapak. Kepalamu dipenuhi puisi-puisi cinta yang selalu kau sampaikan saat sore hari di dermaga yang menghantarkan cinta kalian menuju keabadian yang kini berbeda alam.
***
“Perempuan tua itu selalu ke dermaga setiap petang. Apakah kau menyadarinya?” ujar seorang nelayan yang baru saja balik dari bagannya di tengah laut sana saat kau baru saja melintasinya. Ia mengangkat berbalok-balok ikan hasil tangkapan.
“Orang bilang ia selalu begitu sejak masih muda. Mati laki,” ujar nelayan lainnya berbisik sambil membenarkan benang pukat yang saling melilit dan kusut.
Kau tersenyum dan tertawa geli. Sepertinya mereka tidak mengenal cinta, pikirmu.
Ahh. Untuk apa ombak-ombak di dunia ini jika ternyata masih ada orang yang tak mampu mendengarkan bahwa ombak sebetulnya bertugas mengantarkan rasa rindu dan mengirimkan rindu tersebut ke belahan semesta yang luas ini. Kasian sekali mereka yang tak mampu melihat bahwa nyanyian laut adalah kasih sayang yang tak pernah putus.
Rambut putihmu tak kau gelung hari ini. Terurai dan mulai kusut tersisir angin laut yang terasa lengket di kulit wajahmu yang kian keriput. Namun kau tahu, perasaanmu tak pernah menua walau ragamu kalah oleh dunia.
Perasaanmu masih sama. Senyum dengan mata jenaka itu mungkin perlahan mengabur dalam ingatanmu namun hangatnya cinta masih mampu kau rasa.
Bisikan laut kembali membawamu menuju dermaga ini. Dengan perasaan yang rasanya akan pecah di dada, kau terjun menuju laut. Tubuhmu kini direngkuh oleh lautan.
Samar terdengar suara teriakan dua lelaki tadi. Kau tak menghiraukan teriakan mereka. Kau hanya menuju lautan yang hangat itu kian dalam. Sesuai dugaanmu, laut memang terasa seperti rumah. Tenang dan hangat.
Rambutmu terbelai oleh arus yang membawamu ke penghujung hidup. Kini kau tersenyum abadi.
Biodata Penulis
Shasa Apriva Rustam, menulis cerita pendek. Aktif di komunitas Prosatujuh.