MADRASAHDIGITAL.CO,- Oleh Satria Nugraha Adiwijaya
Kholis agaknya sudah kepayahan dengan apa yang ia lakukan hari ini. Lima lubang ia gali untuk mengubur mayat-mayat yang meninggal dengan tiba-tiba. Sejak pagi, ia sudah dibangunkan warga yang meminta bantuan tenaganya. Bukan kali ini saja ia dibuat kewalahan menggali lahat. Kemarin, ia hanya berdua, dengan Besan Bu Lurah menggali sepuluh lahat. Namun, beliau seperti menyerah ketika hendak menggali kuburan yang ketiga. Besan Bu Lurah mengupah dua orang yang sedang pulang dari sawah untuk membantu Kholis. Meski demikian, Kholis merasa kelelahan. Ia butuh istirahat. Untung ada langgar dekat kuburan yang bisa membuat matanya tidur dan pinggangnya kembali sedikit segar. Di sana, ia selalu beristirahat ketika selesai menggali, atau sehabis menggarap sawah orang.
“Lis, bangun, Lis. Ada pesan dari Bu Lurah.” suara salah seorang kerabat Bu Lurah membangunkannya.
Baru sejam Kholis terlelap. Ia agak kaget saat dibangunkan. Bahkan, celana kolor yang ia kenakan masih agak lembap oleh keringat. Bagaimana tidak? Lima mayat ia kubur hari ini. Waktunya hampir bersamaan. Sekarang, ia sudah dibangunkan dengan teriakan dan digoyangkan tubuhnya. Matanya masih merah karena kantuk yang tak tertuntaskan.
“Besan Bu Lurah meninggal, Lis. Tadi disiarkan di masjid besar.” Belum sempat Kholis bertanya, orang itu sudah nyeletuk. Kholis yang masih sempoyongan segera meraih sebatang rokok. Namun begitu tahu, yang meninggala adalah Besan Bu Lurah, ia sedikit tergeragap. Ia meraih korek gas di sakunya. Setidaknya, menghisap rokok bisa sedikit menenangkannya.
Kepulan asap rokok sudah keluar dari mulut Kholis. Pertanda ia sudah siap bekerja. Pikirannya terlempar pada hari kemarin, ketika ia menggali liang lahat bersama beliau. Kakinya mulai beranjak meninggalkan langgar. Diraihnya cangkul dan bagor tanah. Kedua alat yang selalu diasahnya ketika selesai menggali lahat. Ditujunya titik kubur untuk besan Bu Lurah, dekat dengan lampu tengah kuburan, berdampingan dengan makam suaminya.
Baru kemarin siang Kholis berbincang dengan Besan Bu Lurah. Mereka bersama-sama menggali kuburan untuk warga yang meninggal. Tenaganya masih kuat untuk sekadar Senin-Kamis. Agak megap-megap memang untuk lelaki seumuran beliau.
Kemarin, mereka masih membicarakan perihal warga yang meninggal. Tak ada angin, tak ada hujan, tiba-tiba siaran tentang kematian di masjid terus datang silih berganti. Mereka masih menerka-nerka penyebabnya.
Entah kenapa bulan ini, banyak warga yang meninggal. Tak ada yang tahu penyebabnya. Mereka tak sempat merasakan bau rumah sakit. Bukan karena jauh dari rumah sakit. Tapi mereka enggan jauh dari ternak dan ladang garapan mereka tak ada yang mengurus. Bagi warga, ternak dan ladang bagaikan anak bontot yang harus terus diperhatikan.
Pernah ada berita, desa ini terkena penyakit kolera karena perilaku warga yang tak mau meninggalkan kebiasaan mandi dan mencuci menggunakan air kali.
Satu kabar lain mengatakan kalau desa ini diazab Tuhan karena perilaku Besan Bu Lurah yang suka meramal, meskipun ramalannya tak pernah meleset. Salah seorang pemuka agama, dengan lantang, setiap kali berkhotbah, selalu mengatakan, mungkin Tuhan murka dengan penduduk desa yang mudah mempercayai ramalan. Haram hukumnya mempercayai ramalan, siapa yang mempercayainya, akan dikutuk Tuhan. Seperti yang terjadi di desa ini.
Pada kenyataannya, banyak penduduk yang lebih percaya dengan ramalan Besan Bu Lurah. Semua ramalan yang dikeluarkan beliau, menjadi perintah yang harus dilakukan meskipun beliau memberikan mereka pilihan untuk percaya atau tidak.
Pernah ada sepasang suami istri yang datang ke rumah besan Bu Lurah. Mereka datang dari kota. Mereka mengetuk pintu rumah besan Bu Lurah. Tak lama, muncullah lelaki tua sambil membawa pisang goreng. Disilakannya mereka masuk.
Sekitar sejam, mereka di dalam rumah. Tiba-tiba ada teriakan pria dan wanita. Tak lama kemudian pria dan wanita itu buru-buru keluar rumah sambil membanting pintu dengan sangat keras.
“Kamu gila. Ramalan macam apa yang kau keluarkan. Gila. Dukun gila.”
Warga mengerubung rumah itu seketika, penasaran dengan apa yang terjadi. Mereka menonton sepasang lelaki dan wanita menghardik Besan Bu Lurah. Tak ada yang menenangkan keadaan. Mereka juga tak kaget dengan keadaan seperti itu. Bahkan pernah ada yang melemparkan batu ke rumah itu karena ramalan yang buruk dari Besan Bu Lurah. Beliau tak bereaksi apa pun. Beliau tetap diam dan tenang menghadapi pasien-pasiaennya yang datang meminta diramal.
Kholis masih berusaha menggali liang lahat. Digalinya tanah itu sesuai ukuran tubuh Besan Bu Lurah, ketika tiba-tiba datang kerabat Bu Lurah yang menyerahkan bambu hasil pengukuran tubuh beliau. Tubuh beliau agak gemuk dan tinggi sehingga ukurannya pun berbeda dengan lainnya. Diukurnya berulang kali menggunakan bilah bambu yang diukur sesuai dengan lebar dan tinggi beliau. Ia tak mau kalau sampai salah ukuran. Akan ada kabar-kabar tak enak tentang keluarga-keluarga beliau kalau hal semacam itu terjadi.
Warga di kuburan ikut membantu Kholis. Mereka menggali kuburan untuk Besan Bu Lurah. Di tengah-tengah penggalian, tetap ada canda, sekardus Aqua, dan seslop Gudang Garam signature. Dihisapnya dalam-dalam rokok itu dan mengepulkannya demi menghindari kejenuhan. Tanpa adanya rokok, lidah mereka terasa asam. Warga agaknya sedikit enggan membantu, jika tak ada seslop rokok, dengan merk apa pun itu, jika mereka diminta bantuan.
Satu jam berlalu, mereka selesai juga menggali kubur. Napas Kholis agak terengah karena warga lebih banyak berkelakar dibanding membantunya menggali tanah untuk makam Besan Bu Lurah. Seseorang yang di atas liang lahat, mengulurkan tangannya, berniat membantu Kholis naik dari liang lahat. Namun Kholis tersenyum, dan ia memberi isyarat dengan tangannya tanda ia masih kuat untuk melakukannya sendiri.
Kholis masih memikirkan penyebab besan Bu Lurah meninggal. Ia sama sekali tak ada firasat tentang hal itu. Dalam benaknya, Besan Bu Lurah selalu tampak sehat, tidak ada tanda-tanda sakit macam apa pun. Mereka sama-sama pernah main jatilan untuk tanggapan di kecamatan.
Pikirannya mulai menerka penyebab kematian besan Bu Lurah. Memikirkan kabar dari warga tentang azab untuk besan Bu Lurah.
“Sudah siap, Lis?” tanya Tri, anak dari Bu Lurah. Agak pongah memang. Dia tak pernah mau memanggil Kholis dengan nama Pak, Pak Lek, atau Pak De yang menandakan bahwa Kholis lebih tua. Ia merasa kedudukannya sebagai anak lurah lebih tinggi dari siapa pun. Bukan hanya kepada Kholis, tetapi Tri juga memanggil banyak orang yang lebih tua darinya di desanya hanya dengan nama.
“Sudah. Simbahmu mau dikubur kapan?” Dihisapnya dalam-dalam rokok di mulutnya. Tangan kirinya tak lepas dari gelas Aqua yang sudah peyot karena Kholis meminum sambil menekan gelas itu sampai tandas.
“Mungkin setengah jam lagi. Mbah sedang dimandikan.” jawab Tri sambil memainkan ponselnya, bahkan menoleh ke arah Kholis pun tidak.
Kholis tak menghiraukan jawaban yang dianggapnya masih bocah itu. Diambilnya lagi sebatang rokok yang masih utuh, kemudian menyalakannya. Warga yang lain sedang duduk di sekitar liang lahat. Mereka memakan pisang goreng yang disediakan sambil tertawa-tawa.
Namun Kholis masih mengawasi Tri. Ia tak mau luput dari langkah anak Bu Lurah itu. Ia perhatikan sambil mulutnya terus mengepul asap rokok. Sayup-sayup suara tahlil mulai merayap di telinga orang-orang yang sedang berkumpul di pemakaman. Pertanda mayat hampir dekat. Semakin keras suara tahlil. Tak dapat dihitung langkah pemikul keranda. Langkah mereka agak berderap tapi tak seirama. Nampaknya agak buru-buru. Mereka agak tergopoh-gopoh, mereka bergantian posisi sambil agak menyeringai karena beban yang terlalu berat di pundak.
Tiba di pemakaman, Bu Lurah memberikan payung kepada Tri, anak semata wayangnya. Kholis mengamati, ia bahkan tidak tampak bersedih. Tri merapat ke samping kepalanya simbah, memayunginya sebagai pengabdian terakhirnya, sampai simbah diangkat dengan hati-hati sampai masuk ke dalam liang lahat yang telah disiapkan. Langkahnya agak terburu-buru mengikuti langkah pemikul lainnya.
Kholis turun kembali ke liang lahat. Ia bersiap menerima jenazah Besan Bu Lurah. Kholis dan beberapa orang yang berada di liang lahat, mengangkat tubuh beliau dengan sangat hati-hati.
Jenazah besan Bu Lurah mulai diturunkan ke liang lahat. Pelan-pelan memang karena agak berat. Ada lima orang di atas membopong tubuh besan Bu Lurah. Mereka tampak tergopoh-gopoh karenanya. Di bawah, sudah ada Tri, Kholis, dan seorang warga yang siap menerima tubuh besan Bu Lurah. Di turunkannya pelan-pelan menghadap kiblat. Ukuran liangnya sesuai dengan tubuh besan Bu Lurah. Tidak terlalu sempit dan tidak terlalu panjang.
Tri didesak melantunkan azan di telinga simbahnya untuk terakhir kali. Namun Tri menolak. Akhirnya, salah seorang dari penduduk mengumandangkan azan. Ia meminta agar Kholis bergeser sedikit ke samping untuk memberinya ruang.
Terakhir kali, ibunya menyuruhnya untuk melantunkan iqamat. Namun ia masih menolak. Ia bahkan menggeleng dengan sangat keras. Warga mendesah hampir bersamaan. Kemudian seseorang yang mengumandangkan azan untuk melakukan iqamat.
Mereka membuka tali kain mori yang membungkus tubuh Besan Bu Lurah. Ada tujuh ikat. Dimiringkan ke kanan tubuh besan Bu Lurah. Wajahnya disengaja mencium tanah. Jari kakinya pun sama. Tali-tali dikumpulkan lalu disusupkan di selah-selah antara tubuh beliau dan tanah. Bagian-bagian yang masing longgar diganjal menggunakan gumpalan tanah. Jumlahnya harus sesuai, tujuh buah. Diletakkan dan ditata pelan-pelan agar mampu mengganjal tubuh beliau.
Bambu-bambu disusun menutup tubuh besan Bu Lurah. Bilah bambu pengukur tubuh juga dimasukkan ke liang. Semua bunga yang ada di keranda juga ditumpuk di atas bambu. Tak boleh ada benda yang tertinggal. Kholis beranjak naik dan mengambil cangkul. Ia masukkan galian tanah di sekitar pemakaman agar masuk ke liang lahat. Tri masih tetap di bawah sembari meratakan timbunan tanah. Digunakannya kaki-kakinya untuk meratakannya. Warga pun ikut bergotong royong membantu Kholis.
Kali ini napas Kholis berbeda dengan biasanya. Cepat dan pendek. Ia terlihat sesak napas. Matanya mulai kunang-kunang. Bibirnya memucat. Tubuhnya mulai sempoyongan hendak roboh. Bruukkk. Kholis jatuh. Ia terjerembab ke depan menindih kuburan Besan Bu Lurah yang mulai menggunduk. Warga kaget dan melotot dan langsung mendekati tubuh Kholis yang tergeletak dan tak sadarkan diri. Berkali-kali warga memanggilnya, tetapi tak ada jawaban. Cepat-cepat warga menggotong dan meminggirkan tubuh Kholis. Mereka berusaha menepok pipinya, menuangkan air aqua yang tersisa, dan Kholis masih belum juga sadarkan diri.
Salah seorang penduduk mendesak maju. Ia adalah salah seorang pegawai Puskesmas. Ia ingin mengecek keadaan Kholis. Ia cek tubuh Kholis. Masih hangat. Ia cek napasnya. Hening. Dadanya tak bergerak. Hidungnya tak mengembang dan mengempis. Ia cek pastikan lagi keadaannya. Masih sama. Ia mundur.
“Innalillahi wa innaillaih rajiun. Kholis meninggal.” Warga kaget. Tak ada yang menyangka dengan kepergian Kholis yang baru saja menggali liang lahat untuk Besan Bu Lurah. Mereka mengangkat tubuh Kholis menjauh dari liang besan Bu Lurah. Mereka segera mencari tempat berbaring yang bersih. Daun-daun dan ranting disingkirkan agar tubuh Kholis dapat direbahkan.
Warga bergantian mencangkul dan menguruk liang lahat besan Bu Lurah. Dua nisan di tanam di ujung kepala dan kaki besan Bu Lurah sebagai penanda. Pak Kiai langsung memandu mendoakan beliau.
“Saya akan menyiarkan kematian, Kholis.” usul Tri. Warga bingung mendengar pernyataan itu. Mereka kebingungan, jika kelak, keluarga mereka mati, adakah di antara penduduk yang mau menggantikan Kholis sebagai penggali kubur?
Biodata Penulis
Satria Nugraha Adiwijaya, dosen Bahasa Indonesia di Institut Agama Islam Negeri Metro Lampung. Lahir di Pekalongan dan bekerja di Metro Lampung. Lulusan S2 Unnes Prodi Pendidikan Bahasa Indonesia mulai menekuni dunia cerpen semenjak SMP. Buku antologi puisi Aku dan Kamu menjadi buku terbitan pertama di tahun 2015.
Get real time update about this post categories directly on your device, subscribe now.