Madrasah Digital
Ketentuan Kirim Tulisan
Buat Akun
  • Berita
    • Rilis
    • Komunitas
    • Surat Pembaca
  • Gaya Hidup
    • Tips
    • Hobi
    • Life Hack
  • Wawasan
    • Analisis
    • Wacana
    • Tadarus Tokoh
    • Resensi
    • Bahasa
  • Sastra
    • Cerpen
    • Puisi
    • Esai Sastra
  • Ruang Madrasah
    • Materi Pelajaran
    • Online Learning
    • Ruang Konsultasi
Rabu, Agustus 17, 2022
No Result
View All Result
  • Berita
    • Rilis
    • Komunitas
    • Surat Pembaca
  • Gaya Hidup
    • Tips
    • Hobi
    • Life Hack
  • Wawasan
    • Analisis
    • Wacana
    • Tadarus Tokoh
    • Resensi
    • Bahasa
  • Sastra
    • Cerpen
    • Puisi
    • Esai Sastra
  • Ruang Madrasah
    • Materi Pelajaran
    • Online Learning
    • Ruang Konsultasi
No Result
View All Result
Madrasah Digital
No Result
View All Result
Home Cerpen

Cerpen : Gelombang Pasang di Dada Ibu

Gelombang Pasang di Dada Ibu

admin by admin
Juli 8, 2022
in Cerpen, Sastra
6 min read
0
57
SHARES
89
VIEWS
Share on FacebookShare on Twitter

MADRASAHDIGITAL.CO,- Oleh Helmy Khan

Dengan wajah-wajah yang panik, akhirnya mereka membantu mencari keberadaan ayahmu. Sampan-sampan kecil menerjang pasang yang mengamuk garang. Perempuan-perempuan berwajah pucat berdiri di bibir pantai. Matahari merayap di atas kepala. Air mata ibumu kembali pecah. Ia tak bisa menyembunyikan kegelisahannya.

***

Baru kali ini kau menyaksikan wajah ayahmu terlihat keruh selepas pulang melaut. Biasanya tak pernah seperti ini. Jikalau tak banyak mendapat tangkapan, wajahnya tak pernah menyiratkan kekesalan. Tak juga berbuat kasar pada ibumu yang tak bisa berbuat apa-apa selain setia menanti di bibir pantai. Lebih-lebih padamu yang selalu merengek meminta uang jajan. Juga pada juragan sampan yang ditumpangi melaut pun selalu lapang dada menerima upah, meski kadang hanya cukup untuk makan sehari karena dipotong ongkos membeli solar.

 

Guratan-guratan kecil di tangan ayahmu adalah simbol bagaimana kerasnya bergantung hidup pada laut. Kau teringat ucapan ayahmu di suatu malam yang sedikit bergerimis, “Melaut adalah proses menempah hidup. Karena bukan tak mungkin suatu saat ujian datang serupa badai. Menjadi nelayan harus memiliki tekad yang kuat untuk mengarungi luasnya samudra. Sekali jangkar diangkat, maka ada dua kemungkinan besar yang harus ditabahkan dan diikhlaskan. Kembali dalam keadaan selamat atau pulang menjadi mayat,” Dalam sekejap ingatan itu berkelebat dalam kepalamu.

 

Setiap mengingat hal itu, kau pasti bertanya pada ibumu. Berapa lama lagi ayahmu akan datang? Maka pelan-pelan kecemasan yang berkelindan di dadanya seketika berhenti. Dari tarikan napasnya, kau dapat merasakan bahwa ibumu tiada henti melayangkan doa agar ayahmu diberi keselamatan.

 

“Sebentar lagi,” ucapnya sambil menyuapkan nasi kemulutmu yang mungil.

 

“Apa aku boleh ikut melaut?” Kau bertanya ketika ibumu hendak menuangkan satu sendok kuah kelor ke dalam piring. Kening ibumu mengerut. Tangannya urung menyiram nasi dengan kuah.

 

Perkataanmu sedikit menggores luka purba di dadanya. Ketika kau berada dalam kandungan tujuh tahun lalu, hampir saja ayahmu meregang nyawa di tengah laut. Kabar itu bermuara ketika salah satu nelayan melihat perahu ayahmu dihantam ombak setinggi empat meter. Tak ada yang selamat dari peristiwa mencekam itu. Bahkan kapal si nelayan tadi nyaris karam ketika ombak menelan sampan ayahmu ke dasar laut.

 

Tiga hari berlalu, desas-desus terdengar dari para nelayan bahwa kecil kemungkinan ayahmu akan selamat. Dugaan itu semakin kuat ketika tanpa sengaja Pak Saleh menemukan topi ayahmu ketika majang¹ di sekitar Pulau Raas.

 

Dengan lapang dada ibumu menerima kabar itu. Meski tanpa jasad ayahmu setiap malam tahlil digelar sebagai simbol penghormatan jikalau benar ayahmu telah kembali ke rahmatullah. Diakhir doa yang dipimpin oleh Kiai Durahman, ibumu selalu berharap ayahmu hanya andhun².

 

Malam ketiga sebelum tahlil digelar, kemenyan kembali ditabur di atas bara api serabut kelapa. Asapnya mengudara menyeruduk hidung para pelayat. Anak-anak berlarian kecil sambil menenteng kue kocor yang diambil di atas nampan. Ibumu duduk terpekur dekat pilar dengan raut wajah suram. Sanak saudara ayah-ibumu datang menabahkan.

 

Sinar rembulan menyapu daun siwalan. Pantulan bayangannya berderet di antara pelayat yang duduk bersila di atas lincak. Di tengah kekhusyukan, mereka dikejutkan dengan kedatangan ayahmu yang tiba-tiba menyembul dari balik cemara. Pak Saleh yang semula sibuk menyilakan para pelayat pun tergeragap, berdiri dengan kaki gemetar, terkencing-kencing melihat ayahmu berdiri di sampingnya.

 

Perempuan-perempuan yang sibuk menyiapkan hidangan berteriak histeris menyebut hantu. Anak-anak kecil pun menangis di pangkuan ibunya. Hanya ibumu yang berani mendekat, memeluk ayahmu, memastikan bahwa suaminya tak benar-benar mati.

 

Setiap ingat cerita bagaimana ayahmu bertahan seorang diri di tengah laut, ibumu selalu menitikkan air mata. Berkali-kali mulutnya menyebut istigfar. Matanya pejam, ibumu tak bisa membayangkan bagaimana ayahmu menahan haus dan lapar di tengah laut kala itu. Untung saja waktu itu ada perahu yang tak sengaja menemukan dan mengantar ayahmu pulang.

 

Angin berembus menghempas asap dari dapur. Usai melepas napas yang panjang, tatapannya mendarat di wajahmu seolah menyelami pikiranmu yang dangkal, berusaha menanam sebuah harapan besar agar kelak kau terhindar dari amukan badai.

 

“Buatlah cita-cita yang tinggi. Nasibmu harus lebih baik ketimbang ayahmu,” bibirnya ditarik ke samping. Senyum merekah mengambang di wajahnya yang sedikit berkeriput.

***

Di depan teras kau tak melihat ayahmu bergerak barang sebentar. Rokok yang diapit kedua jarinya pun telah lama padam. Ayahmu mengeras layaknya batu karang. Angin berembus dari arah laut membuat ayahmu membelitkan sarung pada tubuhnya yang legam.

 

Barulah kau mengerti saat tak sengaja mendengar cerita ayahmu bahwa sebentar lagi pantai di depan sana akan dialihfungsikan sebagai tempat wisata, penginapan, dan pusat perbelanjaan. Jelas itu melukai dada orang pesisir. Laut adalah ladang tempat para nelayan mengangkis benih-benih rezeki yang ditabur Tuhan di lautan. Dan pantai tak ubahnya kasur tempat perempuan-perempuan berselonjor kaki menunggu suaminya datang.

 

Mendengar itu, dari ceruk mata ibumu seperti ada mendung yang hampir pecah. Hendak membasahi dada ayahmu yang tiba-tiba gersang. Perlahan kekhawatirannya menjorok pada nasib para nelayan. Kemana lagi sampan mereka akan diparkir jikalau benar pembangunan itu digarap dalam jangka waktu dekat ini?

 

“Apa iya kita harus merantau ke kota?” tanya ibumu.

 

“Entahlah, Bu.” desah ayahmu terdengar putus asa.

***

“Bagaimana, apa perahu Haji Sukam masih ada di sana?”

 

“Tidak ada. Semuanya telah pindah ke desa sebelah.”

 

Sejak kabar rencana pembangunan ramai diperbincangkan, setiap harinya selalu ada satu-dua sampan yang pindah ke desa sebelah. Akibatnya, ayahmu tak bisa ikut melaut karena terkendala ongkos pick up pulang pergi selama menuju tempat di mana sampan Haji Sukam ditambatkan.

 

Berselang seminggu alat-alat berat mulai berdatangan disusul truk bermuatan material yang didatangkan dari kota. Mulanya banyak warga protes, bahkan rela bermalam di sana agar pembangunan itu tidak benar-benar berdiri. Namun apalah daya, orang-orang berdasi itu terlalu kuat. Mereka dilindungi aparat berseragam.

 

“Saya tidak akan datang jika tak punya surat izin,” ucap salah seorang berdasi.

 

“Jadi tolong jangan ganggu pembangunan ini,” Lelaki itu melepas kacamata hitamnya, menyapu pandang pada warga yang mulai geram.

 

“Kami tidak berniat mengganggu, tapi menyelamatkan tanah kami,” Pak Saleh berteriak lantang.

 

“Betul.” sahut yang lain membenarkan.

 

Imbas dari perselisihan itu tiga warga diamankan pihak berwajib karena ditengarai sebagai provokator. Termasuk Pak Saleh, lelaki bertubuh tambun itu mendekam dalam jeruji selama seminggu.

 

Berselang beberapa hari setelah peristiwa itu alat-alat berat mulai beroperasi. Tangan-tangan besi mengeruk pasir dengan gagah. Sementara truk-truk besar datang memuntahkan batuan gunung dan ditata rapi serupa lapangan sepak bola. Sejauh mata memandang bibir pantai dipagari seng setinggi lima meter. Di sisi barat dan timur terdapat dua pintu masuk-keluar, tak sembarang orang boleh ke sana.

 

Proyek pembangunan itu telah menyita tempat bermain anak-anak. Setiap sore bak truk disesaki pohon kelapa dan cemara. Puluhan truk dengan kepulan asap menghitam beriringan meninggalkan desa. Anak-anak terbatuk, sedang tangan mereka sibuk mengipas-ngipaskan debu yang berhamburan. Sesekali matanya dikucek dengan ujung kaus. Mereka hanya terdiam menyaksikan berbilah-bilah pohon dijauhkan dari pantai.

***

“Aku mau nyoloh³,” tegas ayahmu setelah beberapa lama terdiam.

 

Ibumu tak menjawab. Debar-debar di dadanya meletup serupa air mendidih. Dua hari terakhir selalu terdengar perdebatan keras ibumu yang tak kunjung memberi jawaban ketika ayahmu mengutarakan diri mau menyoloh.

 

Jika punya ongkos pulang pergi naik pick up ke tempat sampan Haji Sukam, ibumu lebih setuju ayahmu majang. Menyoloh bukan perkara mudah, jelas risikonya lebih besar karena untuk mendapatkan ikan harus menceburkan diri ke laut sedalam dada. Apalagi ketika harus berjalan menyisir ombak dengan posisi tangan merentangkan jaring, jelas itu menyiksa. Selain bertahan menahan dingin, kaki pun harus melangkah hati-hati. Jika lengah bisa-bisa terseret arus.

 

Bulan melengkung selaksa celurit. Sekungkung janur melambai pelan diterpa angin. Debur ombak terdengar riuh. Jauh di sana, satu-dua cahaya senter mengerlip di tengah laut. Ayahmu sedang bertarung melawan dingin.

***

Kepala ibumu hampir pecah. Sejak semalam, ayahmu belum tiba. Entah berapa kali ibumu bolak-balik ke pantai dan mampir ke rumah-rumah warga dan menanyai para nelayan, barangkali mereka melihat ayahmu sewaktu menyoloh.

 

Tak ada kabar gembira. Semalam, salah seorang nelayan melihat ayahmu di sekitar pantai yang dikeruk pasirnya. Ia sempat melarang karena di area itu tekstur pasirnya tidak rata dan dalam.

Dengan rupa panik, akhirnya mereka membantu mencari keberadaan ayahmu. Sampan-sampan kecil menerjang pasang yang mengamuk garang. Perempuan-perempuan berwajah pucat berdiri di bibir pantai. Matahari merayap di atas kepala. Air mata ibumu kembali pecah. Ia tak bisa menyembunyikan kegelisahannya.

 

Kau duduk di samping ibumu. Sementara perempuan dan nelayan yang membantu mencari ayahmu telah banyak yang pergi. Pikiranmu hinggap pada suatu ingatan bahwa apa yang ditakutkan ayahmu kini telah terjadi.

 

Sejak pantai disolek paving dan keramik, tak pernah lagi terlihat anak-anak bermain layangan. Tak ada lagi aktivitas perempuan pembawa bakul bertelanjang kaki berteriak-teriak menjajakan ikan. Sejak itu pula, tak ada lagi perayaan rokat tase’, hari besar para nelayan yang melakukan syukuran dengan menyembelih satu ekor sapi dan menaruh sesajen dalam sampan ghitek beserta air kembang tujuh rupa.

 

Tak ada lagi keceriaan anak-anak menyanyikan lagu Tonduk Majang. Tak ada lagi lenggak-lenggok lucu mereka yang berjoget mengikuti suara saronen⁴. Semua turut lenyap tertimbun batuan gunung. Dan entahlah, di mana ayahmu sekarang?

 

Kau menghadap ke arah laut. Sederet bangunan itu telah memuntahkan jutaan sampah. Kau menatapnya dengan mata kosong. Kau satu-satunya anak lelaki ibumu, haruskah kau juga melaut saat ikan-ikan mejauh dari laut? (*)

 

Catatan:

Majang            : Menangkap ikan

Andhun           : Menepi di suatu pulau karena badai.

Nyoloh            : Mencari ikan di sekitar pantai pada malam hari dengan menggunakan alat bantu penerang

Saronen           : Alat musik khas Madura

 

Biodata Penulis 

Helmy Khan, lahir di Batang-Batang Sumenep Madura. Menempuh pendidikan di perguruan tinggi INKADHA Madura dan pernah menyantri di PP. Sabilul Muttaqin. Keseharian mengisi waktu luangnya dengan belajar menulis cerpen dan puisi. Beberapa karyanya telah tayang di media baik cetak atau online. Saat ini berproses di Komunitas Semenjak dan Bhisat Sumenep.

Share23Tweet14SendShare

Get real time update about this post categories directly on your device, subscribe now.

Unsubscribe
Previous Post

Puisi: Tubuh Capung

Next Post

Keteladanan Nabi Ibrahim untuk Kesalehan Keluarga

admin

admin

Related Posts

by admin
Agustus 12, 2022
0
136

MADRASAHDIGITAL.CO,- Oleh Pasini   Semestinya aku senang, tetapi kenyataannya aku sedih, setiap kali istriku Kenanga masih mengenang puisi yang kutuliskan...

Cerpen : Ericko dan Pedomannya di La’ Caffeina

by admin
Agustus 5, 2022
0
74

MADRASAHDIGITAL.CO,- Oleh Sakti Ramadhan   Sepeda motor roda tiga yang terparkir itu pastilah milik Ericko, teman Don yang doyan nyengir...

Puisi: Fasal-Fasal Ihwal Guru

by admin
Agustus 2, 2022
0
61

MADRASAHDIGITAL.CO, Puisi-Puisi oleh Imam Budiman Fasal-Fasal Ihwal Guru dari para guru aku bermula, segenap cahaya pewaris Nabi Guru...

Cerpen : Meja Kecil Jelek di Ruang Tamu

by admin
Juli 29, 2022
0
137

MADRASAHDIGITAL.CO,- Oleh Aliurridha Aku ingat pertama kali bertemu denganmu. Saat itu aku hanyalah seorang bocah yang tidak mengerti apa-apa tentang hidup,...

Cerpen : Lengkingan Suara Murni

by admin
Juli 22, 2022
0
69

MADRASAHDIGITAL.CO,- Oleh Teni Ganjar Badruzzaman  Bukan kokok ayam yang membangunkanku sedini ini. Bukan pula kumandang azan dari musala milik Haji...

Cerpen : Kematian – Kematian Tak Terduga

by admin
Juli 15, 2022
0
87

MADRASAHDIGITAL.CO,- Oleh Satria Nugraha Adiwijaya  Kholis agaknya  sudah kepayahan dengan apa yang ia lakukan hari ini. Lima lubang ia gali...

Next Post
Sumber: Dokumentasi Khutbah Idul Adha

Keteladanan Nabi Ibrahim untuk Kesalehan Keluarga

Matinya Gerakan Intelektual IMM

Sumber ; kabarbisnis.com

Qurban: Ibadah Ritual atau Ibadah Sosial?

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No Result
View All Result

Pos-pos Terbaru

  • Senior Juga Penyebab IMM Mati
  • Akar bawah dari korupsi
  • Meneropong Peran Perempuan dalam Memperjuangkan Pendidikan Di Kampung Gedong
  • Dosen FISIP Uhamka Adakan Pelatihan Menulis Esai, Kepada Angkatan Muda Muhammadiyah
  • Pendidikan Moral Bangsa Diatas Merdeka

Komentar Terbaru

  • Pg pada Dampak Politik Uang Buat Rakyat
  • Danang Tergalek pada Cerpen : Tak Jadi ke Nevşehir
  • Muhammad Putra Ramadhan pada Jack dan Seorang Teman Lugu
  • XerXes pada Kisah di Balik Senyum Indah Jofi
  • Esti P.J pada Cerpen: Luka yang Indah

Arsip

  • Agustus 2022
  • Juli 2022
  • Juni 2022
  • Mei 2022
  • April 2022
  • Maret 2022
  • Februari 2022
  • Januari 2022
  • Desember 2021
  • November 2021
  • Oktober 2021
  • September 2021
  • Agustus 2021
  • Juli 2021
  • Juni 2021
  • Mei 2021
  • April 2021
  • Maret 2021
  • Februari 2021
  • Januari 2021
  • Desember 2020
  • November 2020
  • Oktober 2020
  • September 2020
  • Agustus 2020
  • Juli 2020
  • Juni 2020
  • Mei 2020
  • April 2020
  • Maret 2020
  • Februari 2020
  • Januari 2020
  • Desember 2019
  • November 2019
  • Oktober 2019
  • September 2019
  • Agustus 2019
  • Juli 2019
  • Juni 2019
  • Mei 2019
  • April 2019
  • Maret 2019
  • Februari 2019
  • Januari 2019

Kategori

  • Analisis
  • Bahasa
  • Berita
  • Cerpen
  • Esai Sastra
  • Event
  • Gaya Hidup
  • Hobi
  • Komunitas
  • Life Hack
  • Materi Pelajaran
  • Opini
  • Pemikiran Tokoh
  • Puisi
  • Resensi
  • Rilis
  • Ruang Konsultasi
  • Ruang Madrasah
  • Sastra
  • Surat Pembaca
  • Tadarus Tokoh
  • Tips
  • Umum
  • Wacana
  • Wawasan

Meta

  • Masuk
  • Feed entri
  • Feed komentar
  • WordPress.org

Madrasah Digital

Madrasah Digital

Madrasah Digital

Kategori

  • Analisis
  • Bahasa
  • Berita
  • Cerpen
  • Esai Sastra
  • Event
  • Gaya Hidup
  • Hobi
  • Komunitas
  • Life Hack
  • Materi Pelajaran
  • Opini
  • Pemikiran Tokoh
  • Puisi
  • Resensi
  • Rilis
  • Ruang Konsultasi
  • Ruang Madrasah
  • Sastra
  • Surat Pembaca
  • Tadarus Tokoh
  • Tips
  • Umum
  • Wacana
  • Wawasan

Sekretariat

Learning Center Madrasah Digital

Alamat
Graha Inkud Lt. 6, Jln. Warung Buncit Raya No. 18-20, Jakarta Selatan, 12740.

Telp
0817123002/085717051886

E-mail
redaksimadrasah@gmail.com

  • Redaksi

© 2019 Madrasah Digital

No Result
View All Result
  • Masuk / Daftar
    • Tulis Postingan
    • Tulisan Saya
  • Berita
  • Wacana
  • Gaya Hidup
  • Komunitas
  • Opini
  • Sastra
  • Umum

© 2019 Madrasah Digital

Login to your account below

Forgotten Password?

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In