MADRASAHDIGITAL.CO,- Oleh Helmy Khan
Dengan wajah-wajah yang panik, akhirnya mereka membantu mencari keberadaan ayahmu. Sampan-sampan kecil menerjang pasang yang mengamuk garang. Perempuan-perempuan berwajah pucat berdiri di bibir pantai. Matahari merayap di atas kepala. Air mata ibumu kembali pecah. Ia tak bisa menyembunyikan kegelisahannya.
***
Baru kali ini kau menyaksikan wajah ayahmu terlihat keruh selepas pulang melaut. Biasanya tak pernah seperti ini. Jikalau tak banyak mendapat tangkapan, wajahnya tak pernah menyiratkan kekesalan. Tak juga berbuat kasar pada ibumu yang tak bisa berbuat apa-apa selain setia menanti di bibir pantai. Lebih-lebih padamu yang selalu merengek meminta uang jajan. Juga pada juragan sampan yang ditumpangi melaut pun selalu lapang dada menerima upah, meski kadang hanya cukup untuk makan sehari karena dipotong ongkos membeli solar.
Guratan-guratan kecil di tangan ayahmu adalah simbol bagaimana kerasnya bergantung hidup pada laut. Kau teringat ucapan ayahmu di suatu malam yang sedikit bergerimis, “Melaut adalah proses menempah hidup. Karena bukan tak mungkin suatu saat ujian datang serupa badai. Menjadi nelayan harus memiliki tekad yang kuat untuk mengarungi luasnya samudra. Sekali jangkar diangkat, maka ada dua kemungkinan besar yang harus ditabahkan dan diikhlaskan. Kembali dalam keadaan selamat atau pulang menjadi mayat,” Dalam sekejap ingatan itu berkelebat dalam kepalamu.
Setiap mengingat hal itu, kau pasti bertanya pada ibumu. Berapa lama lagi ayahmu akan datang? Maka pelan-pelan kecemasan yang berkelindan di dadanya seketika berhenti. Dari tarikan napasnya, kau dapat merasakan bahwa ibumu tiada henti melayangkan doa agar ayahmu diberi keselamatan.
“Sebentar lagi,” ucapnya sambil menyuapkan nasi kemulutmu yang mungil.
“Apa aku boleh ikut melaut?” Kau bertanya ketika ibumu hendak menuangkan satu sendok kuah kelor ke dalam piring. Kening ibumu mengerut. Tangannya urung menyiram nasi dengan kuah.
Perkataanmu sedikit menggores luka purba di dadanya. Ketika kau berada dalam kandungan tujuh tahun lalu, hampir saja ayahmu meregang nyawa di tengah laut. Kabar itu bermuara ketika salah satu nelayan melihat perahu ayahmu dihantam ombak setinggi empat meter. Tak ada yang selamat dari peristiwa mencekam itu. Bahkan kapal si nelayan tadi nyaris karam ketika ombak menelan sampan ayahmu ke dasar laut.
Tiga hari berlalu, desas-desus terdengar dari para nelayan bahwa kecil kemungkinan ayahmu akan selamat. Dugaan itu semakin kuat ketika tanpa sengaja Pak Saleh menemukan topi ayahmu ketika majang¹ di sekitar Pulau Raas.
Dengan lapang dada ibumu menerima kabar itu. Meski tanpa jasad ayahmu setiap malam tahlil digelar sebagai simbol penghormatan jikalau benar ayahmu telah kembali ke rahmatullah. Diakhir doa yang dipimpin oleh Kiai Durahman, ibumu selalu berharap ayahmu hanya andhun².
Malam ketiga sebelum tahlil digelar, kemenyan kembali ditabur di atas bara api serabut kelapa. Asapnya mengudara menyeruduk hidung para pelayat. Anak-anak berlarian kecil sambil menenteng kue kocor yang diambil di atas nampan. Ibumu duduk terpekur dekat pilar dengan raut wajah suram. Sanak saudara ayah-ibumu datang menabahkan.
Sinar rembulan menyapu daun siwalan. Pantulan bayangannya berderet di antara pelayat yang duduk bersila di atas lincak. Di tengah kekhusyukan, mereka dikejutkan dengan kedatangan ayahmu yang tiba-tiba menyembul dari balik cemara. Pak Saleh yang semula sibuk menyilakan para pelayat pun tergeragap, berdiri dengan kaki gemetar, terkencing-kencing melihat ayahmu berdiri di sampingnya.
Perempuan-perempuan yang sibuk menyiapkan hidangan berteriak histeris menyebut hantu. Anak-anak kecil pun menangis di pangkuan ibunya. Hanya ibumu yang berani mendekat, memeluk ayahmu, memastikan bahwa suaminya tak benar-benar mati.
Setiap ingat cerita bagaimana ayahmu bertahan seorang diri di tengah laut, ibumu selalu menitikkan air mata. Berkali-kali mulutnya menyebut istigfar. Matanya pejam, ibumu tak bisa membayangkan bagaimana ayahmu menahan haus dan lapar di tengah laut kala itu. Untung saja waktu itu ada perahu yang tak sengaja menemukan dan mengantar ayahmu pulang.
Angin berembus menghempas asap dari dapur. Usai melepas napas yang panjang, tatapannya mendarat di wajahmu seolah menyelami pikiranmu yang dangkal, berusaha menanam sebuah harapan besar agar kelak kau terhindar dari amukan badai.
“Buatlah cita-cita yang tinggi. Nasibmu harus lebih baik ketimbang ayahmu,” bibirnya ditarik ke samping. Senyum merekah mengambang di wajahnya yang sedikit berkeriput.
***
Di depan teras kau tak melihat ayahmu bergerak barang sebentar. Rokok yang diapit kedua jarinya pun telah lama padam. Ayahmu mengeras layaknya batu karang. Angin berembus dari arah laut membuat ayahmu membelitkan sarung pada tubuhnya yang legam.
Barulah kau mengerti saat tak sengaja mendengar cerita ayahmu bahwa sebentar lagi pantai di depan sana akan dialihfungsikan sebagai tempat wisata, penginapan, dan pusat perbelanjaan. Jelas itu melukai dada orang pesisir. Laut adalah ladang tempat para nelayan mengangkis benih-benih rezeki yang ditabur Tuhan di lautan. Dan pantai tak ubahnya kasur tempat perempuan-perempuan berselonjor kaki menunggu suaminya datang.
Mendengar itu, dari ceruk mata ibumu seperti ada mendung yang hampir pecah. Hendak membasahi dada ayahmu yang tiba-tiba gersang. Perlahan kekhawatirannya menjorok pada nasib para nelayan. Kemana lagi sampan mereka akan diparkir jikalau benar pembangunan itu digarap dalam jangka waktu dekat ini?
“Apa iya kita harus merantau ke kota?” tanya ibumu.
“Entahlah, Bu.” desah ayahmu terdengar putus asa.
***
“Bagaimana, apa perahu Haji Sukam masih ada di sana?”
“Tidak ada. Semuanya telah pindah ke desa sebelah.”
Sejak kabar rencana pembangunan ramai diperbincangkan, setiap harinya selalu ada satu-dua sampan yang pindah ke desa sebelah. Akibatnya, ayahmu tak bisa ikut melaut karena terkendala ongkos pick up pulang pergi selama menuju tempat di mana sampan Haji Sukam ditambatkan.
Berselang seminggu alat-alat berat mulai berdatangan disusul truk bermuatan material yang didatangkan dari kota. Mulanya banyak warga protes, bahkan rela bermalam di sana agar pembangunan itu tidak benar-benar berdiri. Namun apalah daya, orang-orang berdasi itu terlalu kuat. Mereka dilindungi aparat berseragam.
“Saya tidak akan datang jika tak punya surat izin,” ucap salah seorang berdasi.
“Jadi tolong jangan ganggu pembangunan ini,” Lelaki itu melepas kacamata hitamnya, menyapu pandang pada warga yang mulai geram.
“Kami tidak berniat mengganggu, tapi menyelamatkan tanah kami,” Pak Saleh berteriak lantang.
“Betul.” sahut yang lain membenarkan.
Imbas dari perselisihan itu tiga warga diamankan pihak berwajib karena ditengarai sebagai provokator. Termasuk Pak Saleh, lelaki bertubuh tambun itu mendekam dalam jeruji selama seminggu.
Berselang beberapa hari setelah peristiwa itu alat-alat berat mulai beroperasi. Tangan-tangan besi mengeruk pasir dengan gagah. Sementara truk-truk besar datang memuntahkan batuan gunung dan ditata rapi serupa lapangan sepak bola. Sejauh mata memandang bibir pantai dipagari seng setinggi lima meter. Di sisi barat dan timur terdapat dua pintu masuk-keluar, tak sembarang orang boleh ke sana.
Proyek pembangunan itu telah menyita tempat bermain anak-anak. Setiap sore bak truk disesaki pohon kelapa dan cemara. Puluhan truk dengan kepulan asap menghitam beriringan meninggalkan desa. Anak-anak terbatuk, sedang tangan mereka sibuk mengipas-ngipaskan debu yang berhamburan. Sesekali matanya dikucek dengan ujung kaus. Mereka hanya terdiam menyaksikan berbilah-bilah pohon dijauhkan dari pantai.
***
“Aku mau nyoloh³,” tegas ayahmu setelah beberapa lama terdiam.
Ibumu tak menjawab. Debar-debar di dadanya meletup serupa air mendidih. Dua hari terakhir selalu terdengar perdebatan keras ibumu yang tak kunjung memberi jawaban ketika ayahmu mengutarakan diri mau menyoloh.
Jika punya ongkos pulang pergi naik pick up ke tempat sampan Haji Sukam, ibumu lebih setuju ayahmu majang. Menyoloh bukan perkara mudah, jelas risikonya lebih besar karena untuk mendapatkan ikan harus menceburkan diri ke laut sedalam dada. Apalagi ketika harus berjalan menyisir ombak dengan posisi tangan merentangkan jaring, jelas itu menyiksa. Selain bertahan menahan dingin, kaki pun harus melangkah hati-hati. Jika lengah bisa-bisa terseret arus.
Bulan melengkung selaksa celurit. Sekungkung janur melambai pelan diterpa angin. Debur ombak terdengar riuh. Jauh di sana, satu-dua cahaya senter mengerlip di tengah laut. Ayahmu sedang bertarung melawan dingin.
***
Kepala ibumu hampir pecah. Sejak semalam, ayahmu belum tiba. Entah berapa kali ibumu bolak-balik ke pantai dan mampir ke rumah-rumah warga dan menanyai para nelayan, barangkali mereka melihat ayahmu sewaktu menyoloh.
Tak ada kabar gembira. Semalam, salah seorang nelayan melihat ayahmu di sekitar pantai yang dikeruk pasirnya. Ia sempat melarang karena di area itu tekstur pasirnya tidak rata dan dalam.
Dengan rupa panik, akhirnya mereka membantu mencari keberadaan ayahmu. Sampan-sampan kecil menerjang pasang yang mengamuk garang. Perempuan-perempuan berwajah pucat berdiri di bibir pantai. Matahari merayap di atas kepala. Air mata ibumu kembali pecah. Ia tak bisa menyembunyikan kegelisahannya.
Kau duduk di samping ibumu. Sementara perempuan dan nelayan yang membantu mencari ayahmu telah banyak yang pergi. Pikiranmu hinggap pada suatu ingatan bahwa apa yang ditakutkan ayahmu kini telah terjadi.
Sejak pantai disolek paving dan keramik, tak pernah lagi terlihat anak-anak bermain layangan. Tak ada lagi aktivitas perempuan pembawa bakul bertelanjang kaki berteriak-teriak menjajakan ikan. Sejak itu pula, tak ada lagi perayaan rokat tase’, hari besar para nelayan yang melakukan syukuran dengan menyembelih satu ekor sapi dan menaruh sesajen dalam sampan ghitek beserta air kembang tujuh rupa.
Tak ada lagi keceriaan anak-anak menyanyikan lagu Tonduk Majang. Tak ada lagi lenggak-lenggok lucu mereka yang berjoget mengikuti suara saronen⁴. Semua turut lenyap tertimbun batuan gunung. Dan entahlah, di mana ayahmu sekarang?
Kau menghadap ke arah laut. Sederet bangunan itu telah memuntahkan jutaan sampah. Kau menatapnya dengan mata kosong. Kau satu-satunya anak lelaki ibumu, haruskah kau juga melaut saat ikan-ikan mejauh dari laut? (*)
Catatan:
Majang : Menangkap ikan
Andhun : Menepi di suatu pulau karena badai.
Nyoloh : Mencari ikan di sekitar pantai pada malam hari dengan menggunakan alat bantu penerang
Saronen : Alat musik khas Madura
Biodata Penulis
Helmy Khan, lahir di Batang-Batang Sumenep Madura. Menempuh pendidikan di perguruan tinggi INKADHA Madura dan pernah menyantri di PP. Sabilul Muttaqin. Keseharian mengisi waktu luangnya dengan belajar menulis cerpen dan puisi. Beberapa karyanya telah tayang di media baik cetak atau online. Saat ini berproses di Komunitas Semenjak dan Bhisat Sumenep.
Get real time update about this post categories directly on your device, subscribe now.