Wacana hilirisasi pertambangan semakin menguat akhir-akhir ini, apalagi revisi Undang-Undang Mineral dan Batubara melalui skema UU Cipta Kerja/Omnibus Law. Keuntungan terbesar tentu didapatkan oleh oligarki dan konglomerat yang memiliki modal untuk mengoperasikan pertambangan bagi akumulasinya, dan masyarakat tetap menjadi yang paling dirugikan atas kebijakan ini. Selain dampak buruk untuk kualitas lingkungan hidup, UU Minerba menjadi problematis yang amat merugikan, antara lain: pertama, sentralisasi kewenangan dari pemerintah daerah beralih ke pemerintah pusat; kedua, resiko kriminalisasi bilamana menolak perusahaan tambang; ketiga, perusahaan tambang tetap bisa beroperasi meskipun terbukti merusak lingkungan; dan terakhir, perusahaan tambang dapat mengeruk keuntungan sebanyak mungkin dan mendapat jaminan royalty 0%.
Hilirisasi pertambangan mineral kritis seperti nikel telah menyebabkan deforestasi hingga 25.000 hektar dalam 20 tahun terakhir dan akan terus meningkat, mengingat data WALHI Nasional mengatakan pemberian luas konsesi pertambangan nikel di dalam kawasan hutan mencapai 765.237 hektar yang diperkirakan akan menambah 83 juta ton emisi CO2. Selain itu, merujuk data Global Energy Monitor, sektor pertambangan batu bara faktualnya telah menghasilkan metana. Indonesia telah menghasilkan metana sebesar 58 juta ton CO2e20 per tahun yang menempatkan Indonesia menjadi negara penghasil metana terbesar ke-8 di dunia. Kondisi ini tentu semakin parah jika ekstraktivisme terus dijalankan tanpa henti. Hal ini, makin diperparah dengan disahkannya revisi Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara guna memuluskan kepentingan rezim memperbolehkan organisasi masyarakat (ormas) keagamaan melakukan aktivitas pertambangan. Dalih pemerintah memberikan izin tambang kepada ormas keagamaan adalah faktor kepemdulian supaya ormas keagamaan mampu mandiri.
Dalih ini sungguh problematik karena seakan menidurkan ormas keagamaan untuk menormalisasi keadaan krisis sosial-ekologis maupun krisis iklim akibat dari ekstraktivisme pertambangan. Selain itu, kebijakan ini bukan bentuk kedermawanan negara, melainkan sebagai bentuk respon atas krisis legitimasi industri ekstraktif di Indonesia. Artinya, ini semacam suatu bentuk penjinakan saja. DPD IMM DIY memandang juga memandang bahwa problem ini sebagai bentuk upaya adu domba antara organisasi lingkungan atau orang yang peduli terhadap lingkungan dan masyarakat terdampak dengan ormas keagamaan.
Temuan dan data DPD IMM DIY yang diolah dari Minerba One Data Indonesia (MODI), telah terdapat jumlah Izin Usaha Pertambangan (IUP) di Indonesia mencapai 4.135 IUP per tanggal 10 Juni 2024. Kemudahan mengobral IUP, rendahnya pengawasan, dan penegakan hukum di lapangan menjadikan daya rusak pertambangan semakin masif. Dampak destruktif yang dihasilkan dari pertambangan telah membuat banyak komunitas di sekitar area pertambangan merasakan dampak negatif, antara lain: kesehatan; ketidakadilan sosia; dan kerusakan lingkungan yang signifikan. Sementara, keuntungan tinggi dari pertambangan cenderung dinikmati oleh segelintir individu atau kelompok elit, sehingga meninggalkan masyarakat untuk menanggung beban kerugian.
Kebijakan pemberian konsesi terhadap ormas selain dari merusak lingkungan juga berpotensi memicu konflik internal di dalam ormas keagamaan. DPD IMM DIY khawatir kebijakan ini akan mengakumulasi permusuhan di antara elit ormas karena ketegangan dapat timbul dari perebutan kekuasaan dan keuntungan yang dihasilkan oleh konsesi pertambangan. Mengingat industri pertambangan sangat menggiurkan bagi akumulasi kekayaan. Oleh karena itu, bukan hanya menimbulkan kerusakan ekologis dan masyarakat, tetapi kestabilan internal ormas keagaman menjadi terancam.
Seluruh agama tentu memiliki seruan untuk gencar menyuarakan etika, tetapi ini akan kehilangan legitimasinya jika ikut menjadi aktor dalam pengrusakan lewat pertambangan. Pandangan agama melalui keputusan lembaga hingga fiqih yang mewajibkan merawat kualitas lingkungan yang baik dan sehat akan menjadi bahan tertawaan dan olok-olokan. Ajaran agama dari organisasi keagamaan yang berorientasi pada kemaslahatan makin tidak relevan jika turut andil dalam industri yang menghasilkan ketidakadilan bagi masyarakat dan lingkungan hidup.
Berdasarkan temuan dan pandangan tersebut, DPD IMM DIY merekomendasikan: 1) Seluruh ormas keagamaan untuk menolak pemberian konsesi pertambangan; 2) Melakukan pembatalan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2024 melalui jalur hukum yang telah ditentukan; dan 3) Pemerintah Indonesia untuk berhenti melakukan praktik industri ekstraktif
Narahubung: Bidang Lingkungan Hidup DPD IMM DIY (082242036172/081350316126)