MADRASAHDIGITAL.CO, Oleh: Wahid Kurniawan, Mahasiswa Jurusan Sastra Inggris Universitas Teknokrat Indonesia
Konflik yang melibatkan pemerintah dan kelompok pemberontak di Aceh tidak terlepas dari tragedi berdarah. Kita membaca di buku-buku, periode itu termasuk dalam masa-masa kelam negeri ini. Tragedi itu bersebelahan dengan daftar hitam lainnya: Peristiwa Talang Sari 1989, G-30-S/PKI, ataupun Reformasi 1998. Namun, kejelasan soal wajah daerah setempat yang diriwayatkan kerap masih disesaki kesimpangsiuran. Bagaimana keadaan masyarakat sekitar ketika tragedi itu berlangsung? Seperti apa wajah desa-desa yang menjadi tempat pertempuran antara prajurit pemerintah dan kelompok pemberontak? Bagaimana tanggapan masyarakat sekitar di daerah-daerah yang dilanda konflik?
Tentu, kita bisa mencari jawaban itu dari buku-buku sejarah yang ada. Kita bisa menelisik sekian tanya itu dengan riset kecil baik lewat tinjauan pustaka ataupun wawancara. Dan, bila kita ingin meninjaunya dari buku-buku, daftar yang datang dari jenis karya sastra tidak bisa kita abaikan. Di daftar itulah, kita bisa menyebut novel garapan Arafat Nur yang berjudul Kawi Matin di Negeri Anjing ini, sebagai rekaman yang cukup baik dalam menggambarkan potret daerah yang dilanda konflik berdarah itu.
Kawi Matin di Negeri Anjing ditulis sekitar tahun 2019. Novel ini kemudian memenangi Sayembara Novel Basabasi di tahun yang sama. Novel sukses menyabet juara kedua. Terlepas dari latar belakang jebolan sebuah kompetisi, novel ini senyatanya bukan kisah yang biasa saja. Novel terasa dituturkan dengan kemarahan. Ia tidak lagi berdiri sebagai bentuk kesatiran belaka, yang dibungkus secara halus; lebih dari itu, ia ditunjukkan dengan kemarahan si penulis, yang dinarasikan secara blak-blakkan.
Secara garis besar, penulis menyoroti hiruk-pikuk Kampung Kareung di Aceh. Mula-mula, pembaca dikenalkan dengan keluarga Kawi Matin dengan segala dinamika kemiskinan mereka. Tokoh utama novel, Kawi Matin, lahir dengan kaki sebelah yang cacat. Sejak kecil ia sudah menjadi sasaran perisakkan di sekolahnya. Lalu, ketika ia sudah beranjak remaja, datang sepasukan tentara ke kampung demi memburu seorang lelaki bernama Suman. Lelaki itu ditengarai sebagai kepala pemberontak.
Sejak saat itu, kehidupan keluarga Kawi Matin dan warga Kampung Kareung berubah total. Sekian aturan diberlakukan oleh tentara-tentara itu. Bahkan, hampir tidak ada penduduk di Aceh yang tidak merasakan pukulan, tendangan lars, dan hantaman pangkal bedil tentara, seolah-olah tugas utama serdadu di negara ini hanya untuk memukuli dan menyiksa rakyat, karena mereka memang tidak pernah menemukan lawan seimbang dalam sebuah pertempuran melawan pasukan dari negara lain. Sedangkan tugas pemerintah sipil, terkesan hanya untuk membuat rakyat yang sudah menderita dipukuli serdadu semakin teraniaya lagi (hlm 40).
Penderitaan warga itulah yang dipotret habis-habisan oleh penulis. Titik utama itu kemudian ada dalam diri Kawi Matin. Dari seorang anak yang dirisak sejak kecil, Kawi Matin menjadi pemuda yang tangguh. Ia berulang kali menjumpai nasib yang tak mujur, dari kehilangan abangnya, ayahnya, hingga mendapati kekasihnya diperkosa tentara. Sekian kejadian itu menumbuhkan kebencian dalam dirinya. Ia benar-benar menjadi representasi korban yang berbalik melawan penindasnya.
Kesalahan itu tentu terdapat pada sistem. Kisah ini menunjukkan bahwa perintah yang datang dari pemerintah pusat diambil tanpa mempertimbangkan dampak buruk terhadap daerah yang dilanda konflik. Kesewenang-wenangan itu senyatanya ditunjukkan oleh para tentara. Sikap kasar serdadu dan ketidakpedulian pemerintah, membuat orang-orang semakin memihak pada pejuang untuk mendirikan negara Aceh yang sah dan berdaulat (hlm 77). Kepelikan konflik itu lantas berimbas ke mana-mana: Tentara yang semakin kalap, warga yang memusuhi tentara, dan pemborantak yang kian menunjukkan kemarahannya.
Konflik itu pun terus berlangsung. Bergabungnya Kawi Matin dengan kelompok pemberontak adalah puncak dari kebenciannya. Penulis menarasikan bagaimana peran Kawi menjadi penting dalam lingkaran konflik di Kampung Kareung. Ia membuat repot pasukan musuh, dan menjadi sosok yang diandalkan kelompoknya. Berbulan-bulan ia ikut bergerilya, bolak-balik antara medan perang dan rumah. Ia tetap menjalankan peran itu sampai konflik berakhir setelah Aceh diterpa bencana tsunami.
Namun, perjuangan Kawi Matin tidak berhenti sampai di sana. Bila dahulu ia berjuang di sisi pemberontak, kini ia berjuang menuntut haknya sebagai mantan pejuang. Mengingat mantan penjuang kala itu mendapat kompensasi dari pemerintah sebagai wujud balas jasa dan permintaan maaf, Kawi Matin berusaha menuntut haknya. Semua itu ia lakukan tentu bukan untuk dirinya seorang, melainkan demi kebaikan keluarganya: ibunya yang sakit-sakitan dan adiknya yang masih kecil.
Sayangnya, usahanya itu menemukan jalan buntu. Betapapun kerasnya ia berusaha menuntut haknya, oknum pemerintah di sekitarnya terkesan menutup mata. Mereka hanya mementingkan diri masing-masing. Dari situ, tumbuhlah lagi sakit hatinya. Sakit hati dan kebenciannya tidak habis-habis. Bila dulu dia begitu dendam pada serdadu yang telah membunuh ayah, memerkosa kekasihnya, dan menyakiti orang-orang Aceh, sekarang dia begitu sakit hati dan dendam pada orang-orang bekas pejuang yang hanya memikirkan kepentingan perutnya sendiri (hlm 144).
Kondisi itu menjadi serba runyam. Kawi Matin seperti berjuang sendirian. Terlahir miskin di tempat yang dilanda konflik sungguh menyulitkan dirinya. Ia benar-benar wujud kritikan penulis atas sekian ketidakadilan di negeri ini. Ia adalah pihak yang kalah sejak memulai berjuang sebab terdapat kesalahan dan ketidakadilan di sekitarnya. “Negeri ini memang negeri anjing,” desisnya marah (hlm 86).
Anjing. Kata itu dipilih sebagai representasi dari kebiadaban sekian pihak yang kelewat keterlaluan. Perlakuan kejam tentara, oknum pemerintah yang mementingkan diri sendiri, dan negara yang terkesan menutup mata, menjadi kenangan hitam yang melingkupi konflik Aceh. Semua itu secara jelas digambarkan dalam lika-liku kehidupan Kawi Matin. Oleh karena itu, barangkali, kisah ini akan sedikit mengganggu bagi sebagian orang. Bahkan, bisa dikatakan, terlalu suram untuk sebuah cerita. Namun, mengingat latar kisah yang diambil dari tragedi yang betulan terjadi, kisah ini menawarkan sesuatu yang lain: Suara korban yang menuntut keadilan. Sebab, toh, keadilan itu masih kerap dipertanyakan sampai hari ini, bukan?
Identitas Buku
Judul : Kawi Matin di Negeri Anjing
Penulis : Arafat Nur
Penerbit : Basabasi
Terbit : 2020
Tebal : viii + 172 hal
ISBN : 978-623-7290-68-1